Arsip Blog

Jumat, 12 Desember 2008

Rahasia Tersebarnya Mazhab Ahlussunnah





Orang yang meneliti kitab-kitab sejarah dan apa yang dicatat oleh para penghulu, niscaya akan mendapatkan sesuatu yang tidak dapat diragukan bahwa terbesarnya mazhab-mazhab yang empat di masa itu adalah karena kehendak penguasa yang memerintah dan pengarahannya, oleh karena itu mendapat pengikut yang banyak, sebab manusia umumnya mengikut agama penguasa. Sebagaimana yang didapati oleh peneliti bahwa di sana puluhan mazhab yang telah punah dan musnah, karena penguasa tidak berkenan padanya, seperti mazhab Auza’i, mazhab Hasan Bashri, Abu Uyainah, Ibnu Abi Dzuaib, Ssufyan as-Sauri, Ibnu Abi Daud, dan Laits bin Sa’ad serta lain-lainnya banyak sekali.

Sebagai misalnya, bahwa Laits bin Sa’ad adalah teman akrabnya Malik bin Anas dan dia lebih berilmu dan lebih faqih darinya sebagaimana yang telah diakui oleh Syafi’i.*1 Tetapi mazhabnya telah punah dan fiqihnya musnah dan lenyap karena penguasa tidak berkenan padanya. Dan Ahmad bin Hambal telah menyatakan, “Ibnu Abi Dzuaib adalah lebih utama dari Malik bin Anas, hanya saja Malik orang yang ketat pemilihannya tentang rijal.

Bila kita kembali memerinytah sejarah, maka kita dapayi Malik pemilik mazhab tersebut telah mendekat pada kekuasaan dan pemerintah dan ia menerima mereka serta berjalan dalam program mereka maka dengan demikian ia menjadi tokoh yang disegani dan ulama yang mashur, dan berkembanglah mazhabnya dengan jalan paksaan dan rayuan khususnya di Andalus yang mana muridnya Yahya bin Yahya telah bekerja di dalam perwalian penguasa Andalus, sehingga ia menjadi orang terdekat dan ia diberi oleh penguasa pertanggungan jawab dalam penentukan para hakim, dan tidak ada yang menguasai pengadilan selain kawan-kawannya dari kelompok Malikiyah.

Demikian pula kita dapati sebab-sebab tersebarnya mazhab Abu Hanifah setelah wafatnya, yakni bahwa Abu Yusuf dan Syaibani yang keduanya itu adalah pengikut Abu Hanifah dan orang yang paling setia padanya, keduanya di waktu itu termasuk orang yang paling dekat dengan Harun Rasyid, Khalifah Abasiyah. Keduanya itu mempunyai peranan besar dalam pengukuhan kekuasaan penentang dan pembelaannya, sehingga Harun tidak mengizinkan seseorang untuk menguasai pengadilan dan fatwa kecuali setelah mendapat kesepakatan keduanya.

Maka kedua orang itu tidak mau mengangkat seorang Qadhi kecuali orang yang mengikuti mazhab Hanafi, dengan demikian Abu Hanifah menjadilah ulama terbesar dan mazhabnya menjadi mazhab termasyhur yang fiqihnya diikuti, betapa pun para ulama di masanya telah mengkafirkannya dan menganggap dirirnya sebagai orang zindiq, termasuk mereka yang mengkafirkan ialah Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu al-Hasan al-Asy’ari. Begitu juga mazhab Syafi’i telah terbesar dan menjadi kuat setelah hampir musnah, yang demikian itu setelah dikuatkan oleh penguasa yang zalim, dan setelah seluruh Mesir tadinya mengikuti Syi’ah di masa Shalahuddin al-Ayubi yang telah membunuh orang-orang Syi’ah dan menyembelih mereka seperti menyembelih kambing.

Begitu juga mazhab Hambali, ia tidak akan dikenal jikalau tidak karena didukung oleh kekuasaan Abasiyah di masa al-Mu’tashim ketika Ibnu Hanbal mau menarik kembali pendapatnya bahwa Al-Qur’an itu adalah mahluk dan bintangnya menjadi cemerlang di masa al-Mutawakkil si Nashibi (pembenci Ahlulbait). Dan ia menjadi kuat dan meluas ketika penguasa penindas memberi bantuan kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di abad yang lalu, dan yang terakhir ini bekerjasama dengan keluarga Saud dan mereka menguatkannya mazhabnya di Hijaz dan jazirah Arab.

-------------------------------------------

1. Lihat Manaqib Syaafi’i, hal. 524.

Dan menjadikan mazhab Hambali itu merujuk pada tiga Imam, yang pertama Ahmad bin Hanbal yang dia sendiri tidak pernah mengaku sebagai seorang ahli fiqih, ia hanyalah seorang ahli hadis, kemudian Ibnu Taimiyah yang digelari sebagai Syekh Islam dan Pembaru sunah yang telah dikafirkan oleh pada ulama sezamannya karena ia telah menghukumkan seluruh kaum Muslimin dengan syirik kerena mereka bertabarruq dan bertawassul pada Nabi saww, selanjutnya di abad yang lalu datanglah Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan boneka ciptaan penindas/penjajah Inggris di Timur Tengah. Maka yang terakhir ini telah melakukan pembaharuan mazhab Hambali dengan dasar pengambilan dari fatwa Ibnu Taimiyah, sehingga Ahmad bin Hambal hanyalah tersebut dalam riwayat, karena mazhab mereka sekarang ini dinamakan mazhab Wahabi.

Tidak dapat diragukan lagi bahwa tersebarnya mazhab-mazhab itu dan termasyhurnya serta meningginya kedudukannya adalah karena bantuan dan pengorbitan para penguasa. Dan juga tidak diragukan lagi bahwa mereka para penguasa seluruhnya tanpa kecuali adalah memusuhi para imam dari Ahlulbait karena mereka selamanya berperasangka bahwa para imam itu membahayakan kedudukan mereka dan dapat menghancurkan kekuasaan mereka. Maka mereka selamanya berusaha untuk mengucilkannya dari kalangan umat dan menghinakan kedudukannya serta memusnahkan orang yang mengikutinya.

Maka sangatlah perlu bagi para penguasa itu untuk mengangkat sebagian ulama yang mendekat pada mereka dan yang berfatwa sesuai dengan peraturan dan kebenaran mereka. Yang demikian itu demi memenuhi kebutuhan manusia yang berkelanjutan terhadap pemecahan masalah-masalah syariat. dan tatkala para penguasa di setiap zaman tersebut tidak mengenal sedikit pun tentang syariat dan tidak memahami fiqih, maka nama mereka dan mereka menamakan pandangan pada manusia bahwa politik itu sesuatu yang lain dari agama.

Maka khalifah yang berkuasa itu adalah seorang politikus sedang faqih (ahli fiqih) itu adalah tokoh agama, sebagaimana hal itu yang dilakukan sekarang ini oleh seluruh pemerintahan diseluruh negara Islam, sehingga Anda dapat lihat pemerintah menentukan Negara atau dengan lambang lain yang menyatakan hal itu. Lalu membebaninya dengan penelitian tentang masalah fatwa, ibadah dan syi’ar agama.

Akan tetapi pada kenyataannya, orang itu boleh berfatwa atau menentukan hukum kecuali yang sesuai dengan kemauan penguasa dan yang disepakati oleh pemerintah atau setidak-tidaknya yang tidak bertentangan dengan politik penguasa dan kebijaksanaan peraturannya. Kenyataan ini sebenarnya telah nampak dari masa ketiga khalifah yakni Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka betapapun tidak memisahkan antara agama dan kekuasaan hanya saja mereka itu telah menguasakan diri mereka sendiri hak membuat syariat sejalan dengan kepentingan kekhalifahan dan jaminan pengaruhnya serta kelestariannya. Karena para khalifah yang ketiga itu telah mengalami masa Nabi saww dan persahabatan maka mereka telah mengambil daari beliau sebagian sunah yang tidak bertentangan dengan politik negara.

Sedang Muawiyah tidaklah masuk Islam kecuali pada tahun kesembilan Hijrah menurut riwayat masyhur yang tershahih. Maka ia tidak menyertai Nabi saww, kecuali hanyalah sebentar dan ia tidak mengetahui sunah sesuatu pun yang layak disebutkan. Sehingga terpaksa ia menentukan Abu Hurairah dan Amr bin Ash serta sebagian sahabat yang mereka itu dibebani tugas untuk mengelurkan fatwa sesuai dengan apa yang ia inginkan. Lalu diikuti oleh Bani Umayah dan Bani Abas setelah sunah yang baik tersebut atau bid’ah hasanah itu, maka seluruh penguasa itu selalu didampingi oleh Qadhi yang diberi tugas dalam periodenya unutk mentukan para qadhi (hakim) yang dipandang baik menurutnya bagi kekuasaan dan mereka mau bekerja untuk mengukuhkan dan membantunya.

Selanjutnya, setelah itu semua, tidak ada keperluan lain kecuali hanyalah agar Anda mengetahui kedudukan para qadhi itu yang telah mendatangkan kemurkaan Allah demi mencari keridhaan tuan mereka dan penjamin kesenangan mereka yang telah mengangkat mereka. Dan setelah itu agar Anda memahami rahasia pengucilan terhadap para imam yang maksum dari Ahlulbait yang suci, sehingga sepanjang masa-masa tersebut Anda tidak mendapatkan seorang dari mereka yang telah ditentukan dan diangkat sebagai qadhi dan diikuti fatwanya.

Dan jika menginginkan tambahan sebagai penguat tentang bagaimana terbesarnya mazhab sunah yang empat dengan perantara para penguasa tersebut, maka kita dapat mengambil satu contoh dari antara penyingkapan rahasia mazhab imam Malik yang terhitung mazhab terbesar dari yang terkenal serta paling meluas fiqihnya. Malik menjadi terkenal khususnya dengan kitab Muawatha’ yang ia tulis sendiri dan menurut Ahlussunnah dinyatakan bahwa ia itu adalah merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab Allah SWT dan ada sebagian ulama yang mengutamakannya dan menggunggulkannya di atas shahih Bukhari.

Kemasyhuran Malik itu sampai melampaui batas sehingga dikatakan, ‘Apakah boleh difatwakan sedangkan Malik masih ada di Madinah?” dan mereka menjulukinya dengan Imam Darul Hijrah. Dan kita tidak lewatkan untuk menyebutkan bahwa Malik telah berfatwah haramnya baiat secara paksa, lalu ia dipukul oleh Ja’far bin Sulaimaaan yang menjabat wali kota Madina dengan 70 kali pukulan. Inilah yang dijadikan hujah oleh pengikut Malik bahwa Malik memusuhi penguasa padahal itu adalah tidak benar, sebab orang yang meriwayatkan ketetapan tersebut adalah orang yang meriwayatkan hal berikut ini, kepada Anda saya utarakan penjelasan secara terperinci.

Ibnu Qutaibah telah berkata, “Mereka telah meriwayatkan bahwa tatkala telah sampai pada Abu Ja’far Manshur berita pemukulan terhadap Malik bin Anas dan apa yang dilakukan oleh Ja’far bin Sulaiman, ia murka dengan sangat dan menentangnya serta tidak rela, lalu ia menyingkirkan Ja’far bin Sulaiman dari Maddinah dan memerintahkan untuk dibawa ke Baqdad untuk dihardik. Kemudian ia meminta kepada Malik untuk menghadapkan kepadanya di Baghdad, tapi Malik tidak mau dan ia mengirim surat kepada Abu Ja’far agar memberikan maaf padanya tentang perkara itu dan ia mengutarakan beberapa alasan kepadanya. Maka Abu Ja’far pun mengirim surat kepadanya yang isinya, “Berilah aku kesempatan di waktu haji tahun depan insya Allah, karena aku akan menunaikan haji.”1

Jika Amirul Mukminin Abu Ja’far al-Manshur-khalifah Abasiyah itu telah mengasingkan anak pamannya Ja’far bin Sulaiman bin al-Abas dari perwalian Madinah karena memukul Malik, maka hal ini menumbuhkan suatu keraguan dan penelitian. Sebab pemukulan Ja’far bin Sulaiman terhadap Malik itu tidak lain hanyalah untuk menguatkan kekhalifahan anak pamannya dan mengukuhkan kekuasaan dan pemerintahannya, maka seharusnya bagi Abu Ja’far al-Manshur menghargai walinya itu dan memuliakannya bukan mengasingkan dan merendahkannya untuk menghadapkannya dengan cara yang hina yakni mengikatnya dengan belenggu, kemudian khalifah sendiri mengirim surat untuk menyampaikan alasan pada Malik agar mau merelakan! Sungguh ini sangat aneh!

Dari itu dapat difahami bahwa wali Madinah itu yakni Ja’far bin Sulaiman telah melakukan perbuatan orang-orang yang bodoh yang tidak mengetahui politik dan kelicikan sedikit pun. Dan ia tidak mengetahui bahwa Malik itu adalah tiangnya khalifah dan orang yang ditanamkan di Haramain (Mekah dan Madinah). Kalau tidak demikian mana mungkin ia akan mengasingkan anak pamannya dari perwalian karena telah memukul Malik yang sepantasnya mendapat hukuman itu lantaran fatwanya tentang pengharaman baiat secara paksaan.

Inilah yang terjadi disekitar kita sekarang ini sewaktu sebagian wali-wali negeri menjatuhkan martabat seseorang dan memenjarakannya demi mengkokohkan pemerintahan dan keamanannya.

----------------------------------------------------------------

1. Tarikh al-Khulafa’ oleh Ibnu qutaibah, II, hal. 149.

hal itu berlaku terhadap seseorang yang membuka pintu kejatuhannya betapapun itu dari kerabat tuan menteri atau dari kenalan istri seorang pemimpin. Maka bila terhadap seorang wali, ia dibebaskan dari jabatannya dan dipanggil untuk suatu kepentingan lain yang sering kali tidak diketahui oleh wali itu sendiri.

Hal inilah yang mengingatkan diri saya terhadap satu peristiwa yang pernah terjadi di zaman penjajahan Perancis terhadap negara Tunisia. Kala itu seorang Syeikh Thariqat Isawiyah dan jama’ahnya memukul tambur dan mengangkat tinggi suaranya dengan pujian ditengah malam melewati sebagian jalan-jalan sehingga sampai pada tempat perkumpulannya sebagaimana biasanya. Dan ketika mereka melewati pos penjagaan polisi Perancis, maka seorang polisi keluar dengan marah, lalu ia menghancurkan tambur-tambur mereka dan membubarkan jama’ah mereka lantaran mereka tidak mentaati peraturan untuk menghormati tetangga dan ketenangan setelah pukul sepuluh malam ke atas. Ketika penguasa kota mengetahui peristiwa tersebut dan ia sekedudukan wali menurut kita, maka ia pun marah dengan sangat kepada polisi itu dan memecatnya dari jabatannya serta memberi kesempatan selama tiga hari padanya untuk meninggalkan kota Qafshah. Kemudian ia memanggil Syekh Thariqah Isawiyah tersebut untuk mengemukakan alasan kepadanya atas nama pemerintahan Perancis, dan ia meminta kerelaannya dengan memberi harta yang banyak untuk membeli tabur-tabur dan peralatan baru dan ia memberikan ganti apa yang telah dirusakkan. Dan ketika ia ditanya oleh orang-orang terdekatnya, mengapa ia melakukan yang sedemikan itu? Ia menjawab, bahwa yang lebih baik bagi kita ialah membiarkan binatang-binatang liar itu memukul tambur dan sibuk dengan permainannya serta memakan kala jengiking, kalau tidak demikian niscaya mereka akan memusatkan perhatian mereka pada kita dan akan memangsa kita karena kita telah merampas hak milik mereka.

Kita kembali pada Imam Malik untuk kita perhatikan riwayatnya sendiri bagaimana pertemuannya dengan khalifah Abu Ja’far al-Manshur.

Tidak ada komentar: