Senin, 24 Agustus 2009

Fatwa Mati Salman Rushdi

18 tahun Fatwa Mati Salman Rushdi

Oleh: Saleh Lapadi

Penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw tidak pernah berhenti di Barat. Benar, Imam Khomeini pernah mengeluarkan fatwa hukuman mati atas Salman Rushdi. Namun, penghinaan terhadap Nabi Islam, Muhammad saw tidak pernah selesai. Permusuhan Barat terhadap Islam masih tetap berlangsung. Pemuatan karikatur yang menghina Nabi Muhammad saw di Denmark masih satu jalur dengan Ayat-ayat Setan Salman Rushdi. Sekalipun didemo di mana-mana, masih saja di sebagian negara-negara seperti Inggris, Azerbaijan dan terakhir Prancis yang proses pengadilannya tengah berlangsung, melakukan penghinaan.



Dengan nama-Nya Yang Maha Tinggi



Inna Lillahi Wa Inna Ilahi Rajiuun.

Saya beritahukan kepada kaum muslimin pemberani di seluruh dunia. Telah diterbitkan buku Ayat-ayat Setan yang menghina Islam, Nabi dan al-Quran. Penulis serta penerbit buku itu hukumannya adalah MATI!

Saya mengharap kepada seluruh kaum muslimin pemberani yang menemukan mereka di mana saja untuk membunuh mereka. Sehingga tidak ada lagi orang yang berani menghina hal-hal yang disucikan oleh kaum muslimin.

Siapa saja yang mati dalam usaha membunuh mereka, terhitung sebagai syahid Insya Allah. Perlu diketahui, bila seseorang mengetahui keberadaan si penulis buku, namun ia sendiri tidak dapat membunuhnya, maka ia harus mengabarkan kepada orang lain sehingga mereka yang akan melakukan pembunuhan itu dan ia dapat merasakan akibat dari amal perbuatannya.


Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,



25/11/1367 (14 Pebruari 1989)

Ruhullah al-Musawi al-Khomeini

Pendahuluan

Tanpa terasa, fatwa hukuman mati Salman Rushdi yang dikeluarkan oleh Imam Khomeini telah berumur 18 tahun. Pada masa dikeluarkannya fatwa tersebut tidak ada yang membayangkan Imam Khomeini akan menyikapi buku Ayat-ayat Setan sekeras itu. Karena pada waktu itu, Iran baru saja menerima resolusi PBB nomor 598 yang berarti gencatan senjata dengan Irak. Dengan itu, Iran tentu disibukkan dengan usaha untuk melakukan perdamaian.

Semua lupa akan prinsip-prinsip berpikir Imam Khomeini. Pikirannya melewati batas-batas teritorial Iran dan orang-orang Iran. Imam Khomeini dalam segala urusannya hanya untuk Allah dan agama. Ia senantiasa berusaha untuk itu dan tidak pernah menunjukkan keletihan dalam masalah ini. Ketika Imam Khomeini mengetahui isi buku Ayat-ayat setan, ia langsung menciap kebatilan buku ini. Ada rencana di balik penerbitan buku itu. Itulah yang membuat beliau mengeluarkan fatwa bersejarahnya.

Lebih jauh tentang Salman Rushdi
Salman Rushdi lahir di kota Devanegari, Bombai India pada tanggal 19 Juni 1947. Setelah Pakistan berdiri sendiri, ia bersama keluarganya pindah ke Karachi dan setelah itu berimigrasi ke Inggris. Ia ke Inggris ketika berumur 13 tahun dan menyelesaikan sekolahnya di sana. Setelah menyelesaikan kuliahnya di jurusan sejarah di universitas Cambridge, ia kembali ke Pakistan. Dengan menulis artikel selama di Inggris, ia dapat membayar sebagian biaya sekolahnya sendiri. Akhirnya ia pindah warga negara Inggris.

Tujuh tahun setelah menulis artikel ia akhirnya berhasil menulis novel berjudul Midnight’s Children tahun 1981. Dengan buku itu ia mendapat hadiah sastra Inggris Booker Prize. Buku ini isinya mengkritik perlawanan rakyat India untuk merdeka dari tangan Inggris. Sekitar setengah juta naskah terjual. Pada tahun 1983 ia menulis buku Shame tentang kondisi Pakistan. Buku The Jaguar Smile: A Nicaraguan Journey 1987 adalah hasil dari perjalanan 3 minggunya ke Nikaragua.

Gaya penulisannya adalah Realisme, namun dengan mengubah semua tokoh asli begitu juga tempat kejadian. Gaya penulisannya tidak mengikuti pakem yang ada selama ini. Dengan ini ia sesuka hati ia menulis apa saja dan menisbatkannya kepada siapa saja yang disukainya. Bukunya yang paling menyedot perhatian adalah The Satanic Verses yang dikenal dengan nama Ayat-ayat Setan. Buku ini ditulisnya pada tahun 1988.

Latar belakang penulisan buku Ayat-ayat Setan
Menganalisa cara berpikir Salman Rushdi dapat lacak dari keluarganya. Ibunya adalah seorang penari bernama Vanita. Pada masa remajanya ia disukai oleh seorang pemuda bernama Raju. Vanita beberapa kali lewat Salim Khan, gubernur Bombai, melakukan penghinaan terhadap masjid. Pernah ia meletakkan kepala babi di undak-undakan masjid kemudian lari menyembunyikan dirinya. Ia juga pernah membakar upacara orang-orang Hindu dan menyebarkan bahwa itu dilakukan oleh kaum muslimin. Setiap kali ia melakukan penghinaan, ia mendapat bayaran dari Salim Khan.

Rupanya Salim Khan juga tertarik dengan Vanita dan hendak mempersuntingnya. Sebagai jawabannya ia menjawab: “Aku menikah karena uang dan kalau engkau punya uang aku menjadi milikmu”. Setelah setuju, ia akhirnya menikah dan dibawa ke istana. Ia menghabiskan malamnya di istana Lord William dan sejak malam itu, ia tidak keluar-keluar dari istana.

Ketika Lord William dipanggil untuk kembali ke Inggris, ia berkata kepada Vanita: “Aku punya istri di Inggris dan ayahnya punya pengaruh kuat di sana. Aku tidak dapat membawamu ke sana”. Lord William pergi. Vanita kembali ke pelukan Raju yang masih menantinya. Setelah Vanita melahirkan anaknya ia meninggal. Raju membawa anak itu dan meninggalkannya di masjid. Seorang bernama Safdar menemukan bayi tersebut dan membawanya pulang ke rumahnya. Ia kemudian memberinya nama Salman. Ia besar di keluarga muslim.

Semenjak kecilnya ia terkenal nakal. Pada umur tiga belas tahun ia sudah tiga belas kali ditahan polisi. Pada masa itu, istri Lord William meninggal. Karena tidak punya anak dari istrinya, ia kemudian mengingat Vanita dan anaknya. Ia mengirim surat kepada Salim Khan untuk menemukan anaknya. Lewat Raju, Lord William menemukan Salman. Ketika tahu bahwa dia adalah anak dari seorang perwira inggris, ia sangat senang. Ia kembali ke rumah. Di rumah ia menemukan ibu angkatnya tengah menunaikan salat. Ketika sujud, ia menginjak kepala ibu angkatnya sehingga kepalanya terluka. Ia keluar dari rumah dan kemudian berangkat ke Inggris.

Ia kemudian di masukkan asrama melanjutkan sekolahnya di Inggris. Di sana ia berkenalan dengan Umar anak Mesir. Mereka kemudian menjalin percintaan dan sepakat untuk menikah. Mereka akhirnya membuka ajaran-ajaran agama yang memperbolehkan perkawinan sesama jenis. Mereka tidak menemukan ajaran yang memperbolehkan. Ketika Madame Rosa ibu asrama mengetahui gelagat ini, ia menyurati ayah Umar yang berpangkat jenderal. Ayahnya datang untuk membawa anaknya pulang ke Mesir. Umar yang begitu cinta kepada Salman akhirnya membakar dirinya. Setelah Umar meninggal, Salman sangat terpukul dan memutuskan untuk membalaskan dendamnya terhadap agama-agama.

Ayat-ayat Setan
Salman Rushdi menulis banyak buku. Bila jeli melihat karangan-karangannya, kebanyakan isinya menghina agama dan keyakinan masyarakat setempat. Dalam bukunya Grimus (1975), secara terang-terangan ia menghina keyakinan orang-orang India. Buku Shame (1983) ditulisnya juga dengan isi yang sama.

Midnight’s Children (1981) ditulis mengkritik perjuangan rakyat India untuk mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris. Bukunya The Jaguar Smile: A Nicaraguan Journey (1987) terkait dengan situasi politik di Nikaragua dan keyakinan masyarakatnya.

Puncak penghinaannya terhadap agama dengan menulis novelnya yang berjudul The Satanic Verses (1988). Ia menulis buku ini pada usia 47 tahun. Sebelum ia menulis buku ini, ia ikut hadir dalam sebuah pertemuan yang bermaksud untuk menghancurkan agama tidak lagi dengan senjata, tapi dengan tulisan. Tujuan itu terealisasikan dengan diterbitkannya buku ini.

Untuk pertama kalinya ketika dicetak dalam 547 halaman. Buku ini dicetak oleh penerbit Viking anggota jaringan penerbit Penguin. Salman Rushdi menulis buku ini karena pesanan pimpinan Viking, seorang Yahudi, dengan bayaran gila-gilaan 850 ribu pound.

Buku Ayat-ayat Setan bukanlah buku ilmiah, melainkan hanya sekedar fantasi penulis. Sekalipun demikian, penghinaannya terhadap keyakinan yang disucikan oleh kaum muslimin tidak dapat dibiarkan begitu saja.

Untungnya, Imam Khomeini cepat tanggap rencana besar dibalik penerbitan buku ini. Beliau kemudian mengeluarkan fatwa hukuman mati yang bersejarah. Fatwa ini membuat skenario besar itu prematur. Umat Islam tersadar dan ini membuat Barat lebih berhati-hati. Inggris sebagai pembela nomor satu Salman Rushdi mencoba menekan Iran dengan ancaman ekonomi dan politik agar Imam Khomeini menarik kembali fatwanya. Tidak cukup itu saja, dengan menggerakkan 12 negara lainnya mereka kemudian memburukkan citra Iran dan Imam Khomeini.

Di balik tekanan dari negara-negara Barat, keteguhan Imam Khomeini membuat mereka lelah dan kemudian pasif menerima. Di sisi lain, ini seperti meniupkan semangat baru ke dalam dunia Islam. Penerbit buku Ayat-ayat Setan, Viking, langsung mengeluarkan pernyataan: “Penerbit dan penulis tidak punya maksud menyakiti kaum muslimin. Kami sangat menyesal dengan kejadian ini. Penerbitan buku Ayat-ayat Setan dilakukan karena ditulis oleh seorang penulis top dan isinya fiktif. Penerbitannya karena menghormati kebebasan berekspresi. Salah satu prinsip demokrasi”.

Salman Rushdi sendiri dalam wawancaranya dengan CBS mengatakan:

“Buku ini punya dua khayalan yang coba saya hubungkan dengan munculnya sebuah agama yang mirip dengan Islam. Tapi ini sebuah Islam khayalan. Tokoh yang berkhayal dalam buku itu, pada intinya akalnya telah hilang, gila. Bila seorang berkhayal semacam ini, sangat aneh bila tulisan ini dianggap menghina Islam. Sama sekali saya tidak berniat itu”.

Sempat muncul bisik-bisik di Iran, bahwa bila Salman Rushdi bertobat, mungkin saja tobatnya diterima. Namun, hal ini ditolak oleh kantor Imam Khomeini. Bahkan disebutkan seandainya Salman Rushdi kemudian menjadi orang paling zuhud di muka bumi pun, membunuhnya adalah wajib.

Hukuman mati telah dihapus?
Imam Khomeini pada tahun itu juga, 1987, berbicara di hadapan para rohaniwan:

“Masalah buku Ayat-ayat Setan adalah rencana yang telah disiapkan dengan baik untuk menghancurkan akar ajaran Islam dan keberagamaan umat Islam. Puncak dari semua itu adalah Islam dan rohaniwan”.

Ketika fatwa Imam Khomeini tidak lagi diulang-ulangi, Barat mulai berani mengeluarkan isu bahwa fatwa Imam telah ditarik kembali. Isu ini dimunculkan tidak hanya sekali, tetapi dimuat berulang-ulang. Ayatullah sayyid Ali Khamene’i bereaksi dengan keras.

Pada musim haji dua tahun lalu beliau mengeluarkan pernyataan:

“Hukuman mati yang dikeluarkan oleh Imam Khomeini terhadap Salman Rushdi berlandaskan ayat-ayat al-Quran. Sebagaimana ayat-ayat lain yang kokoh dan tidak dapat dihapus, hukum ini tetap dan tidak dapat dihapus”.

Penutup
Penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw tidak pernah berhenti di Barat. Benar, Imam Khomeini pernah mengeluarkan fatwa hukuman mati atas Salman Rushdi. Namun, penghinaan terhadap Nabi Islam, Muhammad saw tidak pernah selesai. Permusuhan Barat terhadap Islam masih tetap berlangsung. Pemuatan karikatur yang menghina Nabi Muhammad saw di Denmark masih satu jalur dengan Ayat-ayat Setan Salman Rushdi. Sekalipun didemo di mana-mana, masih saja di sebagian negara-negara seperti Inggris, Azerbaijan dan terakhir Prancis yang proses pengadilannya tengah berlangsung, melakukan penghinaan.

Masihkah Barat tidak ingin mengambil pelajaran dari fatwa ulama Islam seperti Imam Khomeini? Bila ditanya, mengapa kalian melindungi dan membiarkan orang-orang menghina keyakinan orang lain? Jawabannya adalah kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi yang selalu dijajakan untuk menghina keyakinan orang lain. Pertanyaannya, adakah kebebasan yang memperbolehkan menghina keyakinan orang lain?.[]



Penulis: Pimred Islam Alternatif

Qom, 24 Pebruari 2007

Dan Teks Agama Islam pun Tidak Mendukung Pluralisme Agama

Oleh: Muchtar Luthfi

Pada masa kenabian Musa (as) agama taslim ada pada agama Yahudi, pada zaman kenabian nabi Isa (as) agama taslim ada pada agama Nasrani sehingga semua pengikut Yahudi harus mengikutinya. Sedang pada masa kenabian Muhammad saww, agama taslim terdapat pada agama Islam Muhammadi dan umat Yahudi-Nasrani pun harus mengikutinya. Dengan kata lain, setiap orang dari agama apa pun “harus menyesuaikan diri” terhadap agama nabi setiap zamannya. Orang-orang yang hidup pasca pengutusan Muhammad wajib untuk mengikuti agama Nabi Muhammad karena dia adalah nabi terakhir dan ajarannya merupakan penyempurna dari seluruh ajaran para nabi pendahulunya.
-------------------------------------------------------

Dalam kitab Fathul-Bari (syarah Sahih Bukhari) karya Ibnu Hajar disebutkan satu hadis yang diriwayatkan dari Jabir ra. Dalam hadis tersebut, Jabir mengatakan: “Umar (bin Khatab) telah menyalin tulisan (yang diambil) dari Taurat dengan berbahasa Arab. Lantas ia membawa dan kemudian membacanya di hadapan Rasulullah saw. (Mendengar itu) wajah Rasulullah saww tampak berubah. Lalu, berkatalah seorang dari kaum Anshar kepadanya (Umar), “Celakalah engkau wahai putera (Ibnu) Khatab! Tidakkah engkau melihat wajah Rasulullah?” Lantas Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian menanyakan kepada Ahli Kitab tentang sesuatu apapun. Karena mereka tiada akan pernah[1] memberi petunjuk (hidayah) kepada kalian. Dan karena mereka telah sesat. Sedang kalian, (jika kalian membenarkannya) maka berarti kalian telah membohongkan kebenaran, atau berarti kalian telah membenarkan kebatilan. Demi Allah, jika (nabi) Musa ada di tengah-tengah kalian, niscaya ia tiada akan memposisikan (dirinya) kecuali dengan mengikutiku”[2].

Sedikitnya ada enam poin yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah dalam hadis tersebut, yaitu sebagai berikut.

1- Hadis ini menjelaskan tentang larangan Rasulullah terhadap umatnya untuk menanyakan sesuatu (masalah keagamaan) apapun kepada Ahli Kitab. Dalam pembahasan ushul fiqih[3], asal pelarangan dengan menggunakan kata “laa” yang berarti “jangan” menunjukkan “pengharaman”[4]. Haram berarti harus dijauhi, dan melakukannya merupakan dosa. Hukum haram dalam kasus ini akan lebih terjelaskan lagi dalam poin-poin selanjutnya. Sedang kata “syaian” yang berarti “sesuatupun” memberikan arti kemutlakan sesuatu. Tentu, kemutlakan sesuatu dalam hadis ini tidak mencakup dengan hal-hal duniawi, misalnya masalah perdagangan. Indikasi (qorinah) yang ada dalam hadis ini menunjukkan bahwa “kemutlakan sesuatu” tadi berkaitan dengan pemberian petunjuk (hidayah). Hal ini menunjukkan bahwa kemutlakan itu berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan, baik menyangkut akidah (teology), hukum (Islamic laws), ataupun akhlak (ethic). Jadi obyek pelarangan Rasulullah tadi berkaitan langsung dengan ketiga hal yang menjadi bagian terpenting dari agama Islam tersebut.

2- Dalam hadis ini, jelas Rasulullah tidak memberi pengkhususan (qoyd) terhadap kelompok Ahli Kitab tertentu. Di dalam hadis ini tidak terdapat kata semisal “Ahli Kitab yang telah menyimpang” atau “Ahli Kitab yang fasik”. Kembali dalam kajian ushul fiqih disebutkan, jika dalam sebuah hadis Rasulullah tidak memberikan qoyd apapun, artinya beliau telah memutlakkannya. Dengan demikian, dalam hadis ini yang dimaksud oleh Rasulullah adalah semua Ahli Kitab. Berarti, pelarangan untuk bertanya tentang masalah-masalah keagamaan terhadap Ahli Kitab, mencakup Ahli Kitab mana pun, siapa pun, di mana pun dan kapan pun pasca pengutusan Muhammad.

3- Alasan pelarangan Rasulullah ini adalah karena Ahli Kitab tiada akan pernah dapat memberi petunjuk kepada kaum muslimin (pemeluk agama Islam Muhammadi). Walaupun hal ini tampak sebagai alasan pertama Rasulullah, namun alasan tersebut sebenarnya merupakan “akibat” dan konsekuensi logis dari alasan kedua yang akan disampaikan dalam poin ke-4 (dalam poin ke-4 disebutkan: Rasulullah menyatakan bahwa Ahli Kitab telah sesat). Akal sehat akan menetapkan bahwa, orang sesat tidak akan (baca: mustahil) mampu memberi petunjuk kepada orang lain sementara dirinya tetap dalam kesesatan. Dalam filsafat Islam disebutkan satu kaidah akal yang mengatakan, faaqidus syai’ laa yu’thi (ketiadaan sesuatu, tiada akan memberi (sesuatu)), maka ketidakpunyaan petunjuk pada diri Ahli Kitab meniscayakan kemustahilan kemampuan untuk memberi petunjuk kepada kaum muslimin.

4- Alasan kedua pelarangan Rasulullah kepada umatnya untuk bertanya kepada Ahli Kitab adalah karena Ahli Kitab telah sesat. Karena mereka sesat, tentu saja sesuai kaidah akal, mereka tidak mungkin bisa memberi petunjuk. Adapun bukti tekstual kesesatan mereka akan penulis bahas pada bagian “ketidakberlakuan syariat agama-agama samawi non-Islam pasca pengutusan Muhammad”.

5- Pelanggaran terhadap amanat Rasulullah tersebut meniscayakan dua kemungkinan yang keduanya sama-sama buruk: mengingkari kebenaran atau membenarkan kebatilan. Pengingkaran kebenaran dan pembenaran kebatilan tentu sangat bertentangan dengan akal sehat dan fitrah suci manusia.

6- Semua ajaran syariat para nabi terdahulu telah terhapus (mansukh) dengan diutusnya Muhammad Rasulullah saww. Hal ini telah disinggung dalam berbagai ayat dan riwayat sebagai argumen tekstual kaum muslimin. Oleh karenanya, jikalau semua nabi –dari Adam as hingga Isa al-Masih as- dihidupkan dan dikumpulkan kembali pada masa pasca pengutusan Muhammad saww sebagai Nabi dan Rasul, niscaya mereka (para nabi itu) akan diperintahkan oleh Allah swt untuk tunduk, taat, dan mengikuti syariat Muhammad. Jika para nabi dan Rasul pun diperintahkan untuk mengikuti syariat Muhammad, maka konsekuensinya adalah: umat yang mengaku sebagai pengikut ajaran para nabi dan Rasul tadi –sesuai dengan dasar hukum prioritas (qiyas awlawiyat)- pun juga diperintahkan untuk mengikuti ajaran dan syariat Muhammad. Jika tidak, maka kesesatan akan tetap menjadi label dari keyakinan umat tersebut.

Selain hadis di atas tadi, dalam tulisan ringkas ini akan dibahas sedikit tentang dalil-dalil tekstual agama Islam yang banyak dipakai sebagai pembenaran teori pluralisme agama, baik pluralisme agama yang diartikan ‘pengakuan akan kebenaran setiap agama’, maupun ‘setiap agama mampu menghantarkan pengikutnya menuju keselamatan abadi di akherat kelak’. Penulis akan membuktikan bahwa ternyata dalil-dalil tersebut bukan hanya sama sekali tidak condong terhadap wacana pluralisme agama, namun malah menentangnya. Dalam pembuktian masalah ini, sangat banyak teks yang harus disinggung, namun untuk menyingkat pembahasan, penulis akan membahas beberapa teks agama saja.

Bagi kaum muslimin, argumentasi Al Quran merupakan dalil primer yang kebenarannya tidak dapat diganggu gugat oleh argumen apapun. Karena itu, terlebih dahulu penulis akan membahas beberapa ayat yang membuktikan penentangan Islam terhadap konsep pluralisme agama. Setelah itu, baru akan disinggung dalil-dalil lain, yaitu hadis-hadis sebagai pendukung kekuatan argumentasi Al Quran. Oleh karenanya, jika terdapat hadis-hadis biasa yang bertentangan dengan apa yang telah dinyatakan oleh Al Quran, maka hadis-hadis tadi harus diartikan dengan makna lain (takwil) sehingga sesuai dengan Al Quran. Jika tidak mungkin untuk diadakan proses pentakwilan, maka sesuai dengan perintah Nabi Islam (Muhammad), kita tidak perlu segan-segan untuk membuang hadis-hadis seperti itu ke dalam tong sampah, karena bertentangan dengan kitab suci Al Quran.

A- Ayat Al Quran dan Pluralisme Agama

Dalam Al Quran, terdapat ayat-ayat yang membahas tentang adanya perubahan dalam kitab-kitab suci sebelum Al Quran yang mengakibatkan ajaran agama mereka (Ahli Kitab: Yahudi, Nasrani dan Sabi’in) tidak murni lagi. Allah swt dalam Al Quran berfirman: “…maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar”[5]. Hal ini dikarenakan firman Allah: “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan”[6]. Dalam ayat tadi dijelaskan akan adanya keharusan mengikuti ajaran yang dibawa oleh Muhammad saww yang diutus oleh Allah swt dimana semua ajarannya terangkum dalam kitab yang juga diturunkan bersamanya. Hal ini dikarenakan banyak dari hukum dan ajaran Allah yang telah disimpangkan oleh pengikut agama sebelum agama Muhammad (Islam). Lantas, bagaimana mungkin ajaran menyimpang akan dapat menjamin pengikutnya untuk mendapat keselamatan abadi?

Masih banyak lagi ayat-ayat Al Quran yang membahas tentang ruang lingkup pengangkatan Muhammad bin Abdulah saww sebagai utusan Allah. Allah swt memberitahukan bahwa Muhammad saww diutus untuk segenap manusia, yang berarti mencakup pengikut agama-agama terdahulu agar mereka pun mengikuti Muhammad Rasulullah saww dalam setiap ajarannya. Allah swt berfirman: “Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi….maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasulullahnya, Nabi yang ummi…dan ikutilah dia supaya kamu dapat petunjuk”[7]. Paling tidak, terdapat tiga poin yang dapat dijadikan dalil dari ayat tadi. Pertama, Muhammad saww diutus untuk segenap manusia; pengutusan Muhammad bersifat lintas kelompok dan kalangan manusia, termasuk lintas agama. Kedua, obyek keimanan adalah iman kepada Allah swt dan iman kepada kerasulan Muhammad (yang ummi) dengan berbagai konsekuensinya; dengan mengikuti segala perintah dan menjauhi semua larangannya. Ketiga, mengikuti ajaran Muhammad adalah kunci untuk mendapat petunjuk dan dengan petunjuk itulah manusia bisa mencapai keselamatan abadi.

Dalam ayat lain Allah swt berfirman: “Dan Kami tiada mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”[8]. Dari ayat tadi, minimalnya ada empat poin yang perlu digarisbawahi. Pertama, Muhammad diutus untuk segenap manusia, tanpa terkecuali, bahkan termasuk kaum Atheis. Karena itu, selama suatu makhluk masih bernama manusia, maka ia tercakup dalam “perintah Ilahi” tersebut. Kedua, Muhammad saww adalah pembawa gembira berupa kebahagiaan sejati dan abadi (sorga). Tentu, kabar gembira tersebut diperuntukkan bagi yang mengikuti ajarannya dengan baik dan benar, tanpa terpolusi oleh penyimpangan atau penyelewengan. Ketiga, Muhammad saww adalah pembawa “peringatan” berupa kesengsaraan abadi (neraka). Peringatan tersebut ditujukan kepada mereka yang tidak mematuhi perintah Allah swt untuk mengikuti Muhammad saww beserta ajarannya. Keempat, banyak orang yang tidak sadar dan tidak mengetahui point-point tadi sehingga masih saja banyak orang yang tidak mengikutinya, atau bahkan mengikuti agama lain selain agama yang dibawa oleh Muhammad saww.

Beberapa ayat Al Quran yang penulis ajukan tadi semuanya menjelaskan bahwa Muhammad saww adalah utusan Allah yang bersifat mendunia dan karenanya, kitab sucinya pun diperuntukkan bagi segenap umat manusia di dunia ini. Allah swt berfirman: “Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqon (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”[9]. Dalam ayat lain Allah swt berfirman: “Al Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam”[10]. Segenap manusia merupakan bagian dari alam semesta. Artinya, ayat-ayat tadi memberikan penjelasan bahwa Al Quran diturunkan agar umat manusia –apapun agamanya- mengikuti petunjuk yang ada di dalamnya. Dan otomatis, sewaktu seseorang mengikuti Al Quran yang diturunkan oleh Allah swt melalui Muhammad saww berarti ia telah memeluk agama Islam.

Dalam Al Quran, terdapat beberapa ayat yang menjelaskan bahwa kerasulan Muhammad saww dan perintah untuk mengikuti ajarannya telah tercantum dalam kitab-kitab suci lain sebelum penurunan Al Quran. Hal itu membuktikan dan memberikan konsekuensi bahwa setiba Muhammad saww, kaum Yahudi, Nasrani dan Shabi’in pun harus mengikuti ajaran Allah swt yang dibawa oleh Muhammad saww. Dalam hal ini Allah swt berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: “Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasulullah yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala Rasulullah itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: Ini adalah sihir yang nyata”[11]. Sebagaimana Isa al-Masih (as) di utus untuk meluruskan ajaran para nabi terdahulu yang telah disimpangkan oleh umatnya, demikian pula fungsi pengutusan Muhammad saww. Ajaran Muhammad tidak bertentangan dengan ajaran para nabi dan Rasulullah pendahulunya, dan bahkan membenarkan apa yang telah datang sebelumnya. Tentu, “kabar gembira” dalam ayat tadi bukan hanya sekedar kabar, namun memiliki konsekuensi, yaitu kewajiban untuk mengikuti segala ajaran (Nabi Muhammad), sebagaimana Isa (as) datang untuk diikuti oleh segenap Bani Israil yang yang semula mengikuti ajaran Musa al-Kalim (as).

Dalam ayat lain Allah swt berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Sesungguhnya apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasulullah yang membenarkan apa yang datang kepadamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya’. Allah berfirman, ‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman, ‘Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi pula bersama kamu’. Barangsiapa yang berpaling sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”[12] Kalimat “beriman kepadanya dan menolongnya” dalam ayat tadi memiliki dua kemungkinan makna. Pertama, keharusan para nabi terdahulu untuk mengimani karasulan Muhammad yang akan datang di kemudian hari, dan hal tersebut berfungsi sebagai keselamatan mereka pribadi terhadap ilmu yang diberikan oleh Allah swt kepada mereka. Kedua, para nabi sebelum Nabi Muhammad bertugas menolong Nabi Muhammad dengan cara mungumumkan kerasulan dan kebenaran ajarannya kepada segenap umat mereka. Dengan cara itu, umat para nabi tersebut akan mengikuti ajaran Muhammad. Ini sebagai bukti bahwa agama para nabi yang diturunkan oleh Allah swt adalah satu, yaitu Islam. Islam yang bersumber dari fitrah suci manusia yang selalu mengajak kepada ke-Esa-an Allah swt[13].

Sementara itu, adanya ayat-ayat yang menjelaskan akan celaan Allah terhadap para Ahli Kitab adalah disebabkan ulah mereka dalam mengubah ajaran dan menjadikannya terpolusi oleh keyakinan syirik yang dibenci oleh Allah swt. Kedatangan Muhammad saww telah disinggung dalam kitab-kitab suci mereka terdahulu sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Dengan demikian, perintah Allah untuk mengikuti ajaran dan agama Muhammad adalah kunci keselamatan dan kebahagiaan abadi bagi mereka. Jika perintah itu tidak mereka laksanakan, niscaya azab Allah akan tertuju kepada mereka. Allah swt berfirman, “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) Rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan, ‘Tidak ada datang kepada kami baik seseorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.’ Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[14] Ini sebagai bukti bahwa pengutusan Rasulullah saww adalah sebagai argumen (hujjah) Allah terhadap umat manusia. Selepas pengutusan Muhammad, tiada lagi alasan bagi umat manusia di hadapan Allah -di akherat kelak- untuk tersesat dengan tidak mengikuti ajaran Muhammad.

Dalam ayat lain Allah berfirman, “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi kitab yang kamu sembunyikan…”[15]. Juga ayat yang berbunyi: “Hai Bani Isarail, ingatlah akan nikmat-nikmat-Ku…dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janjiKu kepadamu dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus tunduk. Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya…”[16]. Ayat ini dengan tegas dan jelas memerintahkan umat agama lain untuk mengimani Muhammad saww, yang tentunya memberikan konsekuensi logis, yaitu mengikuti ajarannya. Tanpa mengikuti Muhammad saww, maka kebatilan dan kesesatan mereka akan semakin tampak dengan jelas. Oleh karenanya Allah swt berfirman: “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, padahal kamu mengetahui (kebenarannya). Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang batil dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui?”[17]

Dari penjelasan beberapa ayat di atas jelaslah bahwa Ahli Kitab diperintahkan oleh Allah swt untuk mengikuti ajaran yang dibawa oleh Muhammad saww, yang berarti mereka diperintah untuk memeluk agama Islam. Dan pengutusan Muhammad adalah sebagai argumen sempurna (hujjah taammah) agar mereka tidak dapat lagi beralasan untuk tidak mengenal kebenaran yang akan membawa mereka kepada keselamatan abadi nan sejati. Jika mereka tidak mengimani syariat dan ajaran Muhammad, niscaya keimanan mereka terhadap Allah swt layak untuk dipertanyakan. Allah swt berfirman: “Wahai manusia, telah datang Rasulullah (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang dilangit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah…”[18]. Dalam ayat lain Allah swt berfirman: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi… ”[19] Dari ayat ini jelas bahwa obyek keimanan adalah iman kepada para nabi. Para nabi satu sama lain saling membenarkan ajaran mereka, dan mereka semua pun memberitakan kerasulan Muhammad dan membenarkan ajarannya, yang berarti perintah untuk mengikuti ajaran yang dibawanya pasca pengutusannya.

Kesesatan Ahli Kitab

Meskipun ajaran asli para nabi adalah ajaran yang benar, yang bersumber dari Allah swt, namun sepeninggal para nabi itu, umatnya menyelewengkan ajaran tersebut. Terlampau banyak ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan kesesatan Ahli Kitab akibat penyimpangan mereka terhadap esensi dasar ajaran Ilahi -yaitu konsep tauhid (ke-Esa-an Tuhan)- sebagaimana yang disinyalir dalam ayat, “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah satu dari tiga’. Padahal sekali-kali tidak ada tuhan selain dari Tuhan Yang Esa…”[20] Dalam ayat lain disebutkan, ‘Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih putera Maryam…”[21] Atau ayat yang berbunyi, “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah… Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: ‘(Tuhan itu) tiga’, berhentilah (dari ucapan itu). (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa…”[22] Dari ayat-ayat tadi, ada dua pertanyaan yang mungkin bisa dilontarkan: adakah umat Nasrani sekarang ini yang tidak meyakini konsep trinitas dalam bertuhan? Dan jika mereka (yang meyakini trinitas) telah dihukumi kafir, yang berarti sesat, mungkinkah manusia yang sesat akan dapat menghantarkan pihak lain menuju keselamatan abadi? Mungkin saja ada sebagian kaum Kristiani yang tidak meyakini trinitas dalam ketuhanan, namun jumlahnya pastilah sangat minim. Atas dasar itu, Allah swt mengajarkan Muhammad saww untuk menjawab dakwaan-dakwaan kosong kaum Ahli Kitab dengan firman-Nya, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.’ Katakanlah, ‘Maka mengapa Allah menyiksa kamu atas dosa-dosamu?”[23]

Jika Yahudi dan Nasrani –pasca pengutusan Muhammad- adalah agama yang mampu menghantarkan kepada keselamatan abadi, lantas mengapa Muhammad saww diperintahkan Allah untuk menjawab pengakuan-pengakuan palsu kaum Yahudi dan Nasrani dengan jawaban semacam itu? Lebih dari itu, dalam salah satu ayat disebutkan bahwa, kaum Yahudi dan Nasrani –pasca pengutusan Muhammad- yang dikarenakan akidah mereka telah terpolusi dengan penyekutuan Allah (syirik), maka mereka pun akhirnya mendapat laknat Allah swt. Allah swt berfirman, “Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair itu putra Allah’. Dan orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih itu putra Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka itu meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?”[24] Dalam ayat lain Allah swt berfirman, “Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu’, sebenarnya tangan merekalah yang terbelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu…”[25].

Jika kaum Yahudi dan Nasrani dengan ucapan itu dihukumi oleh Allah swt sebagai orang kafir yang terlaknat oleh-Nya, maka mungkinkah pengikut agama yang dilaknat Allah swt akan dapat membawa pengikutnya menuju keselamatan abadi? Padahal keselamatan abadi di akherat kelak semuanya bersumber pada keridhoan Allah swt, Penguasa Seluruh Alam. Tanpa ridho Allah, mustahil keselamatan akan teraih. Mendapatkan laknat Allah artinya mendapat siksa dan azab Ilahi. Atas dasar kekafiran dan laknat Ilahi terhadap para pengikut Ahli Kitab –pasca pengutusan Muhammad- itulah akhirnya Allah swt memerintahkan manusia-manusia beriman dengan perintah-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(-mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”[26]

Banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan berkaitan dengan ayat tadi, misalnya, mengapa Allah melarang orang mukmin (muslim) mengambil pemimpin dari orang Yahudi dan Nasrani? Mengapa jika itu dilakukan oleh orang mukmin, lantas ia tergolong kaum Yahudi dan Nasrani? Lantas mengapa Allah mengancam tidak memberi petunjuk terhadap orang mukmin yang melakukan hal itu? Mengapa pelaku perbuatan tersebut tergolong pelaku kezaliman? Jika agama Yahudi dan Nasrani di zaman sekarang -pasca pengutusan Muhammad- juga mampu menghantarkan kepada kebahagiaan sejati, lantas mengapa datang larangan dan ancaman dari Allah swt? Jawaban dari beberapa pertanyaan tadi akan dapat ditemukan dalam ayat, “Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan…Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itu adalah petunjuk yang benar’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”[27] Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa ajaran Muhammad harus diikuti oleh kaum Yahudi dan Nasrani juga. Tentu dengan itu, maka seorang Yahudi dan Nasrani akan disebut dengan muslim. Karena hanya Islam-lah yang mampu menghantarkan kepada keselamatan dan kebahagiaan abadi. Allah swt hanya menjadi pelindung dan penolong bagi orang yang mengimani dan mengikuti ajaran Muhammad saja.

Dalam beberapa ayat juga dijelaskan bahwa tunduk patuh dan berserah diri penuh (taslim) merupakan syarat terkabulnya sebuah amalan. Lantas apa hakekat dan obyek serta tujuan penyerahan diri tersebut? Dalam sebuah ayat Allah swt berfirman, “Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang rugi”[28]. Dan dalam ayat lain Allah swt berfirman, “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”[29]

Ayatullah Murthadha Muthahari dalam kitab keadilan Ilahi-nya menyatakan bahwa, memang Islam yang dimaksud dalam ayat tadi adalah agama kepasrahan (taslim) yang mencakup semua agama para nabi terdahulu. Namun agama taslim itu pada setiap zaman kenabian memiliki bentuk yang tertentu. Pada masa kenabian Musa (as) agama taslim ada pada agama Yahudi, pada zaman kenabian nabi Isa (as) agama taslim ada pada agama Nasrani sehingga semua pengikut Yahudi harus mengikutinya. Sedang pada masa kenabian Muhammad saww, agama taslim terdapat pada agama Islam Muhammadi dan umat Yahudi-Nasrani pun harus mengikutinya. Dengan kata lain, setiap orang dari agama apa pun “harus menyesuaikan diri” terhadap agama nabi setiap zamannya. Orang-orang yang hidup pasca pengutusan Muhammad wajib untuk mengikuti agama Nabi Muhammad karena dia adalah nabi terakhir dan ajarannya merupakan penyempurna dari seluruh ajaran para nabi pendahulunya.[30]

Dikarenakan para Ahli Kitab tidak mengikuti Muhammad saww –yang secara otomatis berarti tidak taat terhadap para nabi mereka terdahulu- maka Allah pun mencela mereka. Celaan dari Allah itu dapat kita baca dalam ayat-ayat yang telah penulis sebutkan di atas. Islam Muhammad merupakan kelanjutan dari Islam para nabi terdahulu dan kunci untuk mendapat petunjuk Allah dan setiap nabi utusan Allah merupakan argumen sempurna (hujjah tammah) Allah terhadap makhluk-Nya. Karena itu, bila Ahli Kitab tetap tidak mau mengikuti ajaran Nabi Muhammad, maka Allah menjanjikan azab di akherat bagi mereka, “Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar. Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah karena dengki…Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah’, mereka berkata, ‘Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami.’ Dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah, ‘Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman’.”[31]

Jadi, obyek dan tujuan ketundukan dan keberserahdirian adalah Allah swt semata, sebagai konsekuensi logis dari konsep pengesaan-Nya. Dan dikarenakan Allah swt telah memerintahkan umat manusia untuk mengikuti ajaran Muhammad –yang terangkum dalam agama Islam- maka berarti Islam adalah syarat utama untuk diterimanya suatu amal kebajikan bagi para Ahli Kitab (Yahudi, Nasrani dan Shabi’in). Melalui syarat utama inilah mereka akan mendapat petunjuk yang dapat mengantarkan mereka menuju keselamatan abadi. Tanpa mengikuti Islam niscaya mereka tiada akan mendapat petunjuk menuju kebahagiaan abadi (sorga). Dalam hal ini Allah swt berfirman: “…Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasulullah, nabi yang ummi yang (namanya) tercantum dalam Taurat dan Injil ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar…Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung. Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua…maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasulullah-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia supaya kamu mendapat petunjuk.”[32]

Dari ayat-ayat di atas, jelas sekali bahwa petunjuk untuk mendapat keselamatan abadi bagi segenap umat manusia –di alam semesta ini setelah diutusnya Muhammad—adalah mengimani dan mengikuti semua apa yang diajarkannya. Dengan mengamalkan semua ajarannya berarti manusia tersebut layak disebut sebagai manusia yang beriman dan bertakwa (baca: berperilaku baik). Perilaku baik dalam arti berbuat makruf dan menjauhi mungkar sesuai dengan ridho Allah swt. Atas dasar itu, Allah swt dalam ayat lain memerintahkan Rasulullah untuk menjawab pengakuan pengikut Yahudi dan Nasrani yang mengatakan, “Dan mereka berkata, ‘Hendaklah kamu menjadi pengikut agama Yahudi dan Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.’ Katakanlah, ‘Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang yang musyrik.’”[33] Ayat ini dengan jelas menolak pernyataan bahwa petunjuk berasal dari ajaran Yahudi dan Nasrani. Keselamatan abadi sudah pasti berasal dari petunjuk yang benar dan sesuatu yang salah mustahil akan memberi keselamatan bagi pemiliknya.

Allah swt dalam ayat lain lebih menegaskan bahwa Ibrahim bukan pengikut keyakinan syirik yang telah menyelewengkan agama Yahudi dan Nasrani. Dalam ayat tersebut Allah swt juga menafikan kepemilikan Yahudi dan Nasrani atas petunjuk. Allah swt berfirman: “Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yakqub dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani? Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan”[34].

Jika apa yang didakwahkan oleh para pendukung pluralisme agama adalah benar, yaitu “bahwa setiap agama mampu menghantarkan kepada keselamatan sejati”, lantas mengapa dalam ayat ini Allah swt mempermasalahkan pengakuan kaum Yahudi dan Nasrani bahwa para nabi adalah dari golongan mereka? Allah swt –sebagaimana yang telah disinggung pada ayat-ayat yang lalu- telah menetapkan bahwa syarat utama untuk menuju kebahagiaan abadi (sorga) di kehidupan akherat kelak adalah dengan memeluk Islam (Islam Muhammadi yang merupakan kelanjutan dari Islam para nabi sebelumnya). Atas dasar tersebut Allah swt berfirman: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, ‘Apakah kamu (mau) masuk Islam.’ Jika mereka masuk Islam, sesunguhnya mereka mendapat telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan…”[35]

Dalam ayat tadi jelas disebutkan adanya seruan dan ajakan kepada para pengikut Ahli Kitab agar mereka mengikuti Islam supaya mereka mendapat petunjuk. Lantas, apakah tidak bertentangan jika dihubungkan dengan anggapan bahwa semua agama –pasca pengutusan Rasulullah- memiliki saham dalam menghantarkan pengikutnya untuk meraih keselamatan abadi? Jika semua agama mampu menghantarkan kepada keselamatan abadi yang sebagai dambaan dan tujuan akhir bagi setiap manusia, lalu apa tujuan penurunan ayat di atas tadi? Bukankah Allah swt disucikan dari segala bentuk keburukan, yang salah satunya berupa pelaksanaan perbuatan sia-sia?

Sekali lagi, jika agama Yahudi dan Nasrani –pasca pengutusan Muhammad- mampu menghantarkan kepada keselamatan abadi dengan syarat iman dan amal saleh, lantas mengapa Allah masih swt bersikeras agar mereka mengimani Al Quran yang dibawa Muhammad yang berarti menyuruh mereka masuk Islam Muhammadi? Apa hubungan antara iman dan membunuh para nabi?[36] Bukankah ini membuktikan bahwa keimanan kepada nabi-nabi yang diutus oleh Allah swt memiliki peran yang sangat penting dalam mengantarkan manusia menuju kepada keselamatan abadi?

Adanya perintah untuk mengikuti ajaran agama Muhammad bagi segenap manusia, akan menjadikan agama Muhammad (Islam) tampil sebagai ajaran (baca: agama) pengganti bagi segenap ajaran terdahulu, termasuk ajaran agama Yahudi, Nasrani dan Shabi’in: “Dia-lah yang mengutus Rasulullah-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci”[37]. Dari ayat ini dapat direnungkan, apa hubungan antara agama yang dinyatakan sebagai pembawa petunjuk yang benar dan kemenangannya atas agama yang lain? Apa maksud dari dimenangkan atas segala agama? Mungkinkah agama yang lain –yang dikalahkan agama yang benar—juga memiliki muatan kebenaran pula? Mungkinkah dua agama yang ajarannya saling bertentangan (paradoks) –baik dari sisi teologi maupun hukum- maka keduanya dapat dihukumi benar, padahal berdasarkan pengakuan dari Allah swt Islam Muhammad adalah benar dan mampu menghantarkan kepada keselamatan abadi? Mungkinkah agama-agama lain yang akan dikalahkan dengan agama Muhammad juga mampu membawa pengikutnya menuju keselamatan abadi? Mungkinkah Allah swt akan menggunakan standar ganda dalam menilai kebenaran dan dalam menyelamatkan pengikut agama yang berbeda-beda padahal Allah swt telah menyatakan bahwa semua agama para nabi bertumpu pada satu pondasi utama yang bernama “ajaran tauhid”? Secara logis, jawaban dari pertanyaan di atas adalah “tidak mungkin”.

B- Sunah Rasulullah serta Ahlul Bayt-nya dan Pluralisme Agama

Dalam surat an-Najm ayat 3-4[38] dijelaskan bahwa apapun yang muncul–baik berupa kata-kata, perbuatan, maupun persetujuan—dari pribadi Rasulullah saww merupakan wahyu yang diturunkan Allah dan bukan berdasarkan hawa nafsunya sendiri. Untuk itu, semua yang terkeluar dari Rasulullah (sunnah) –yang memang benar terkeluar dari beliau- dapat dipastikan mustahil bertentangan dengan wahyu Allah (Al Quran). Dengan kata lain, akhlak Rasulullah sepenuhnya adalah bersumber dari Al Quran. Sebaliknya, pengejawantahan Al Quran pada wujud lahiriah terdapat pada diri Rasulullah. Begitu juga halnya dengan Ahlul Bayt Rasulullah. Hadis “ats-Tsaqolain” –yang diriwayatkan dalam kitab-kitab standar Sunni-Syiah—disebutkan bahwa antara Al Quran dan Ahlul Bayt tidak akan pernah berpisah untuk selamanya, merupakan salah satu bukti konkrit atas pernyataan tadi.

Dalam penjelasan di atas sudah penulis sebutkan dalil-dalil argumentasi bahwa Al Quran bukan saja tidak mendukung bahkan telah menentang konsep pluralisme agama. Selanjutnya, penulis akan menelaah tentang persesuaian antara Al Quran yang diam (Al Quran as-Shamith, yaitu Kitab Suci Al Quran) dan Al Quran yang berbicara (Al Quran an-Nathiq, yaitu Rasulullah dan Ahlul Baitnya) dalam kaitan penentangan terhadap pluralisme agama.

A - Rasulullah saww bersabda, “Aku adalah Rasul bagi orang yang hidup sezaman denganku ataupun yang terlahir setelahku.”[39]
Hadis ini jelas menjelaskan bahwa Rasulullah saww adalah pembawa wahyu Allah yang harus diikuti dan ditaati bagi orang yang hidup sezaman dengan beliau ataupun yang lahir pasca beliau, secara mutlak, baik orang tersebut beragama samawi (Yahudi, Nasrani atau Shabi’in) atau beragama apapun termasuk atheis sekalipun. Menaati Muhammad saww artinya harus beragama Islam.

B - Rasulullah saww bersabda, “Sesungguhnya Allah swt menjadikan kitabku (Al Quran) ini sebagai pelurus atas kitab-kitab mereka dan penghapus ajarannya (nasikh).”[40]
Jika semua agama –khususnya agama-agama samawi—adalah benar dan dapat menjamin pengikutnya untuk mendapat keselamatan abadi, lantas mengapa kitab suci dan perundang-undangan mereka, yang dijadikan standar ketaatan dan amal kebajikan, harus direvisi? Bukankah hadis ini penjelas terbaik tentang perevisian aturan syariat (syir’ah) dan metode (minhaj)[41] para nabi terdahulu yang selalu berubah sesuai dengan tuntutan zaman pengutusan para nabi dan Rasul? Lantas bagaimana jika mereka tidak mengikuti perevisian tersebut, apakah mungkin mereka akan selamat?

C - Selepas pengangkatan Muhammad sebagai Rasulullah dan beliau melakukan dakwah secara terang-terangan lantas beliau mengumpulkan segenap sanak familinya atas perintah ayat “wa andzir ‘asyirataka al-aqrabiin” (dan berilah peringatan terhadap keluarga terdekatmu). Beliau mengatakan kepada mereka, “…Aku diutus oleh Allah kepada kalian secara khusus dan buat segenap manusia secara umum.”[42]

D - Imam Ali as bersabda, “Allah swt setelah mengutus nabi Adam hingga seterusnya dari para nabi telah mengambil janji dari mereka semua bahwa, jika Ia telah mengutus Muhammad saw sedang mereka hidup maka mereka harus mengimani dan membantunya.”[43]

Berarti agama samawi apapun yang dibawa oleh nabi manapun –setelah pengutusan Muhammad—harus “melebur” ke dalam agama Muhammad. Dengan datangnya Muhammad saw, agama-agama samawi yaitu Yahudi yang dibawa Musa (as), Nasrani yang dibawa Isa (as) dan Shabi’in yang dibawa Yahya (as) syir’ah dan minhaj-nya tidak tidak berfungsi lagi, alias telah kadaluwarsa. Jadi ayat “likullin ja’alnaa minkum syira’atan wa minhaaja”[44] [untuk setiap umat di antara kalian (masing-masing) Kami berikan aturan dan jalan yang terang] tidak mungkin dijadikan dalil oleh kelompok agama lain untuk menolak agama Muhammad.

Dalam beberapa riwayat Ahlul Bayt Nabi disebukan tentang ‘celaan’ mereka terhadap ajaran dan para pengikut agama lain. Ini semua sebagai bukti bahwa para manusia suci dan mulia pun tidak meyakini kebenaran pluralisme agama. Jika tidak demikian, lantas mengapa mereka melakukan hal tersebut? Bukankah manusia suci nan mulia tidak mungkin melakukan ‘pelecehan’ terhadap ‘agama’ lain yang juga mampu membawa umatnya menuju kebahagiaan abadi?

E- Peristiwa Mubahalah

Dalam berbagai hadis disebutkan tentang sebab-sebab turunnya ayat mubahalah (QS 3:61). Peristiwa “mubahalah” adalah kisah “perang doa” (baca: saling laknat) antara kaum muslimin dan kaum Nasrani yang akhirnya dibatalkan oleh pihak tokoh Nasrani sendiri setelah mereka melihat wajah-wajah mulia dari kelompok Islam yang diwakili oleh Nabi dan Ahlul Bayt-nya. Jika keduanya (Islam dan Nasrani) benar dan masing-masing mampu menghantarkan kepada kebahagiaan sejati dan abadi, lantas buat apa mereka ber-mubahalah?

F- Surat-Surat Rasulullah Kepada Para Penguasa Non-Muslim

Salah satu sunnah yang dilakukan oleh Rasulullah saww adalah pengiriman surat kepada para penguasa dan raja yang menganut agama lain guna mengajak dan menyeru mereka kepada Islam. Jika semua agama mampu menghantarkan kepada keselamatan sejati dan abadi, maka apa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah sia-sia dan tidak berarti. Jika pluralisme adalah benar dan dilegalkan oleh Allah swt melalui Rasulullah saww yang agung, maka untuk apa Rasulullah bersusah-payah menyeru para penguasa Yahudi dan Nasrani untuk masuk Islam. Bukankah mereka juga akan bisa selamat dengan agamanya selama memiliki iman dan amal saleh sebagaimana yang diyakini oleh para pendukung pluralisme agama?

Pada kesempatan ini, penulis akan mengutip beberapa surat Rasulullah yang dilayangkan kepada para penguasa dan raja tersebut. Sedikit kutipan ini saja akan mampu menjawab akan persoalan pluralisme agama menurut pandangan Rasulullah. Surat-surat itu dikumpulkan dalam kitab yang berjudul “Makaatib ar-Rasul” (surat-surat Rasulullah) oleh Ayatullah Ahmadi Miyanaji.

(1) Dalam surat Rasulullah yang ditujukan untuk Zaid bin Jahur, penguasa Nasrani, beliau menyatakan, “Hendaknya agama yang dianut setiap manusia ditinggalkan kecuali Islam. Maka ketahuilah itu!”[45]

Surat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Rasulullah Islam saww menolak tegas konsep pluralisme agama. Rasulullah memerintahkan kepada penganut keyakinan lain –lebih umum dari sebuah keyakinan beragama- untuk menanggalkan semua keyakinannya untuk menuju agama Islam Muhammadi.

(2) Surat Rasulullah kepada Najasyi, raja Nasrani dari Habasyah (Etiopia) berbunyi, “Aku menyerumu untuk menuju Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya dan menjaga akan ketaatan kepada-Nya dan hendaknya engkau mengikutiku dan mengimaniku. Demi Dzat Yang telah mendatangkanku ketahuilah bahwa aku adalah utusan Allah.”[46]

Dalam surat ini Rasulullah saww kembali menekankan untuk mengimani Allah swt dengan cara menaati segala perintah-Nya, termasuk taat kepada segala yang diturunkan-Nya kepada beliau. Dalam surat ini, terlihat konsep bahwa ketaatan kepada Nabi Muhammad adalah manifestasi dari ketaatan kepada Allah swt. Tentu hal ini merupakan bukti bahwa utusan Allah mempunyai otoritas untuk diikuti, khususnya Nabi Muhammad sebagai pembawa syariat terakhir dan diutus untuk “segenap manusia”.

(3) Dalam surat Rasulullah yang ditujukan kepada Markus, penguasa Nasrani suku Qibthi (Mesir) dan Heraclius, Raja Romawi, dinyatakan, “Aku menyeru kalian (untuk masuk) ke dalam agama Islam. Jika kalian tidak menerimanya, maka dosa yang dilakukan oleh segenap penduduk Qibth dan Romawi akan kalian tanggung.”[47]

Mengapa dalam surat itu dinyatakan bahwa jika orang-orang Nasrani itu tidak mau menerima Islam yang dibawa oleh Muhammad saww mereka akan berdosa? Bukankah ini membuktikan bahwa ajaran Nasrani yang dibawa oleh nabi Isa (as) telah menyimpang sehingga mereka yang tetap meyakininya (baca: beriman) berarti telah menyimpang dan berbuat dosa? Mungkinkah pendosa akan dapat sampai kepada kebahagiaan abadi dan sejati (sorga) padahal ia sudah diingatkan oleh manusia sempurna seperti Muhammad saww sehingga tiada alasan lagi baginya untuk tidak mengenal Islam?

(4) Dalam surat yang dilayangkan kepada penguasa Nasrani wilayah Yamamah, Rasulullah menyatakan, “Ketahuilah bahwa agamaku (Islam) cepat atau lambat akan nampak (memenuhi dunia).”[48]

Surat ini merupakan bukti dan penjelas dari ayat yang menjelaskan bahwa Allah swt akan memenangkan agama yang lurus atas setiap agama di muka bumi.[49] Dengan kata lain, janji Allah swt untuk memenangkan ajaran Islam Muhammadi atas segala agama –termasuk agama-agama samawi yang telah menyimpang—cepat atau lambat akan diwujudkan oleh Allah swt.

Kesimpulan dan Penutup

Wacana pluralisme agama bukanlah wacana baru. Namun demikian, para pendukung wacana tersebut selalu berusaha untuk membungkusnya dengan berbagai kemasan sehingga terkesan baru. Dalam banyak tulisan telah dibahas berbagai kritikan terhadap wacana pluralisme ini dengan menggunakan argumen-argumen rasional sehingga terbukti bahwa wacana ini tidak didukung oleh argumen yang rasional. Bisa disimpulkan, hanya argumen emosional saja yang bisa memberikan dukungan kepada pluralisme, padahal argumen emosional tidak bisa dijadikan sandaran ilmiah bagi sebuah wacana.

Untuk itu, para pendukung wacana pluralisme berusaha mencari argumen teks yang dapat dijadikan dukungan keilmiahan atas wacana mereka. Mereka berusaha menafsirkan teks-teks yang bersifat ambigu (memiliki beberapa penafsiran) untuk disesuaikan dengan wacana yang ingin mereka pertahankan. Mereka lupa bahwa ada beberapa teks lain yang secara jelas dan tegas menolak pluralisme. Sebagaimana telah penulis jelaskan di atas, banyak ayat Al Quran –yang merupakan dalil primer kaum muslimin—yang menolak konsep dan wacana tersebut, begitu juga hadis dan riwayat sejarah Rasulullah. Dalam karya ringkas ini kembali dibuktikan bahwa pluralisme agama dengan kemasan baru yang dilekatkan oleh para pendukungnya (yang beragama Islam) bahkan ditentang oleh teks-teks yang terdapat di sekitar mereka sendiri.

Kesimpulan dari tulisan di atas adalah sebagai berikut.

1. Pengutusan Muhammad saww sebagai nabi untuk semesta alam telah ditentukan oleh Allah swt, serta sebelum kedatangannya pun telah dijelaskan oleh para nabi-nabi terdahulu.
2. Muhammad saww membawa ajaran Ilahi yang membenarkan ajaran para nabi terdahulu.
3. Allah swt memerintahkan segenap umat manusia dari agama manapun untuk menanggalkan ajarannya yang lalu dan mengikuti ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saww.
4. Penekanan Allah swt terhadap manusia agar mengikuti ajaran Muhammad saww tidak lain karena penerimaan ajaran Muhammad adalah kunci untuk mendapat keselamatan abadi dan sejati.
5. Sikap penolakan terhadap seruan untuk mengikuti ajaran Muhammad setelah datangnya bukti dan argumen yang jelas, dapat dikategorikan sebagai kekafiran yang nyata.
6. Kekafiran terhadap ajaran Muhammad tidak akan memberikan keselamatan apapun di akherat kelak.
7. Kemungkinan untuk mendapat keselamatan abadi bagi non muslim adalah bagi orang-orang yang memang benar-benar masuk dalam kategori pribadi yang tertindas (mustadh’afiin) di muka bumi.

Kami akhiri tulisan tentang pluralisme keselamatan agama ini dengan mengutip firman-firman Allah swt sbb:
“Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya Rasul-Rasul sebelum kamu pun telah didustakan (pula), mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.”[50] “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasulullah-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.”[51] “…barangsiapa menentang Allah dan Rasulullah-Nya, maka sesungguhnya neraka jahannam baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan besar.”[52]

Catatan

Namun dalam tulisan ringkas ini ada satu hal yang perlu dicatat dan ditegaskan. Tentu tidak bisa disamakan antara orang yang mengingkari (kafir) Islam atas dasar kesadaran dengan orang yang mengingkari Islam atas dasar ketidaktahuan (belum mendapat argumen sempurna). Orang yang mengingkari Islam padahal ia telah memiliki kesadaran penuh dan telah mendapat argumen sempurna (mu’anid), dapat dipastikan mustahil untuk mendapat keselamatan abadi. Sementara, “orang yang tidak mengetahui” sudah pasti akan tetap mendapatkan kasih sayang Allah swt. Argumen yang membuktikan hal ini adalah ayat Al Quran yang berbunyi, “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di (suatu) negeri.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah ke (belahan) bumi tersebut?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”[53]

Ampunan Allah terhadap orang-orang non muslim yang benar-benar tidak berdaya dan tidak tahu –sebagaimana yang disinggung di atas- juga sesuai dengan kaidah akal “qubhul iqob bilaa bayan” (jeleknya perbuatan menyiksa tanpa didahului penjelasan). Karena hal itu merupakan kejelekan, maka harus dijauhkan dari Dzat Yang Maha Baik dan Adil. Ayatullah Syahid Murtadha Muthahhari dalam karyanya yang berjudul “Keadilan Ilahi” telah memberikan berbagai argumentasi yang logis tentang kemungkinan orang kafir yang tidak mengetahui (belum mendapat argumen sempurna) untuk mendapat ampunan dari Allah swt sehingga mereka pun akhirnya diberi anugerah untuk mendapat keselamatan abadi di akherat kelak. Pembahasan mengenai hal ini lebih lanjut bisa dipelajari dalam teologi (kalam) Syiah pada bab “keadilan Ilahi”, sebagai cabang dari pembahasan rasionalitas baik-buruk. Tanpa ada keyakinan tentang rasionalitas baik-buruk niscaya akan sulit mencerna dan menganalisa dengan baik keyakinan mengenai hal ini.[]


----------------------------------------------------------
Penulis: Ketua umum Himpunan Pelajar Indonesia (HPI) Republik Islam Iran periode 2006-2007, Sekjen Badan Kerjasama Perhimpunan Pelajar Indonesia (BKPPI) se-Timur Tengah dan Sekitarnya.


________________________________________
Catatan Kaki:

[1] Dalam riwayat ini, Rasul menggunakan kata “lan” dalam kalimatnya yang berbunyi “lan yahduukum”. Sedang dalam tatanan bahasa Arab, kata “lan” menunjukkan arti “untuk selama-lamanya” (ta’bid), tanpa batas waktu.
[2] Fathul Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari jil:13 hal:525. Hadis semacam ini juga dapat dilihat dalam beberapa kitab Ahlusunah yang lain seperti: Shahih Bukhari, jil: 3 hal: 281-282, Musnad Ahmad bin Hanbal jil: 3 hal: 387 hadis ke-14859, Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi jil: 1 hal: 370 hadis ke- 1625, ad-Durul Mantsur karya as-Suyuthi jil: 6 hal: 470 dalam menafsirkan ayat 51 dari surat al-Ankabut. Tentu dari beberapa kitab yang ada terdapat perbedaan redaksi, namun menunjukkan makna yang sama. As-Suyuthi menukilkan hadis Rasul seperti ini; “Sesungguhnya aku hanya diutus sebagai pembuka dan penutup. Aku telah dianugerahi “segenap kalimat” (jawami’ al-kalim) dan segala pembukanya. Dan telah diringkaskannya untuk-ku sebuah ajaran (hadits) secara singkat (baca ringkas). Maka, jangan sampai kaum yang kebingungan (mutahawwiquun) akan menghancurkan kalian”. Hadis semacam ini pun dapat dijumpai dalam beberapa kitab Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah (Jakfari). Ayatullah Syahid Murtadha Muthahhari dalam memberikan komentar hadis ini menyatakan: “Hadis ini dengan jelas memplokamirkan dan meneriakkan bahwa Rasulullah telah bersabda bahwa dengan datangnya al-Quran sebagai syariat terakhir maka Taurat dan Injil telah terhapus (mansukh)” (Lihat kitab karya beliau: Khadamaat-e mutaqobel Islam wa Iran).
[3] Ilmu Ushul Fikih adalah ilmu logika dalam mencari dasar hukum syariat (berijtihad).
[4] Larangan adalah lawan dari perintahah. Dalam ilmu ushul fikih, sebagaimana asal pelarangan adalah menghasilkan hukum pengharaman, maka perintah pun menghasilkan hukum wajib. Walaupun sebagian obyek hukum yang dikarenakan beberapa hal maka pelarangan akan menghasilkan hukum makruh dan perintah menghasilkan hukum sunah (mustahab).
[5] QS Aali Imran: 93
[6] QS al-Maidah: 15
[7] QS al-A’raf: 159
[8] QS as-Saba’: 28
[9] QS al-Furqon: 1
[10] QS at-Takwir: 27. Atau lihat QS Yusuf: 104
[11] QS as-Shaf: 6
[12] QS Aali Imran: 81-82
[13] Thaba’thaba’i, Allamah Muhammad Husein, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, jil:3 hal:384
[14] QS al-Maidah: 19
[15] QS al-Maidah: 15
[16] QS al-Baqarah: 40-41
[17] QS Aali Imran: 70-71
[18] QS an-Nisa’: 168
[19] QS al-Baqarah: 177
[20] QS al-Maidah: 73
[21] QS al-Maidah: 17
[22] QS an-Nisa’: 171
[23] QS al-Maidah: 18
[24] QS at-Taubah: 30
[25] QS al-Maidah: 64
[26] QS al-Maidah: 51
[27] QS al-Baqarah: 119-120
[28] QS Aali Imran: 85
[29] QS al-An’am: 125
[30] Muthahhari, Ayatullah Syahid Murtadha, ‘Adl-e Ilahi, intisyarat-e Shadra, Iran, cet ke-14, hal; 251
[31] QS al-Baqarah: 89-91
[32] QS al-A’raf: 156-158
[33] QS al-Baqarah: 135
[34] QS al-Baqarah: 140
[35] QS Aali Imran: 19-20
[36] Sebagaimana yang dapat disinyalir dalam ayat: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al-Quran yang diturunkan Allah”, mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada al-Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang al-Quran itu adalah (kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman” (QS al-Baqarah: 91). Dan lihat ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa kaum Yahudi telah melakukan pembunuhan terhadap beberapa nabi misal; QS al-Baqarah: 61 , Aali Imran: 21 / 112 / 181, an-Nisa’: 155.
[37] QS as-Shaf: 9
[38] “Dan tiada yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS an-Najm: 3-4)
[39] at-Thabaqoot al-Kubra jil:1 hal:191
[40] Biharul Anwar jil:4 hal: 104
[41] Lihat QS al-maidah: 48
[42] al-Kamil fi at-Tarikh karya Ibnu Katsir jil: 2 hal: 61
[43] Tafsir al-Kabir karya Fakhrur Razi jil: 2 hal: 507
[44] QS al-Maidah: 48
[45] Makatiib ar-Rasul jil: 1 hal: 165
[46] Ibid, jil:1 hal:121
[47] Ibid, jil:1 hal:97 & 105
[48] Ibid, jil:1 hal:136
[49] Lihat kembali ayat-ayat dalam; QS at-Taubah: 33, as-Shaf: 9 dan atau al-Fath: 28 yang berbunyi: “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenagkan-Nya atas semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi”.
[50] QS Aali Imran: 184
[51] QS an-Nisa’: 14
[52] QS at-Taubah: 63
[53] QS an-Nisa’: 97-99

Ali bin Abi Thalib di Mata Ibnu Taimiyah

Oleh: Muchtar Luthfi

Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu Taimiyah yang juga ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf” (Salafy/Wahaby), masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut Ahlussunah, padahal di sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran dan doktrin Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan (konsensus) ulama Ahlussunah beserta "ajaran resmi" Ahlussunah wal Jamaah. Mereka berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya diterima dalam lingkaran Ahlussunnah.
--------------------------------------------------------------
ALI BIN ABI THALIB adalah satu sosok sahabat terkemuka Rasulullah saw. Terlampau banyak keutamaan yang disematkan pada diri Ali, baik melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, maupun melalui hadis yang secara langsung disampaikan oleh Rasul. Keutamaan Ali dapat dilihat dari banyak sudut pandang. Dilihat dari proses kelahiran[2] hingga kesyahidannya.[3] Dari kedekatannya dengan Rasulullah, hingga kecerdasannya dalam menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh Rasul kepadanya. Dari situlah akhirnya ia mendapat banyak kepercayaan dari Rasul dalam melaksanakan tugas-tugas ritual maupun sosial keagamaan.

Dengan menilik berbagai keutamaan Ali[4], maka sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin –baik Ahlussunnah, maupun Syiah- bahwa Ali bin Abi Thalib adalah salah satu khalifah pasca Rasulullah.[5] Walaupun terdapat perbedaan pendapat antara Ahlussunah dan Syiah tentang urutan kekhilafahan pasca Rasul, tetapi yang jelas mereka sepakat bahwa Ali termasuk salah satu jajaran khalifah Rasul.

Pada tulisan ringkas ini akan dibahas perihal pendapat Ibnu Taimiyah tentang keutamaan Ali, yang berlanjut pada pendapatnya tentang kekhalifahan beliau.

Kelemahan Ali di Mata Ibnu Timiyah:

Di sini akan disebutkan beberapa pendapat Ibnu Taimiyah dalam melihat kekurangan pada pribadi Ali:

Disebutkan dalam kitab Minhaj as-Sunnah karya Ibnu Taimiyah, bahwa Ibnu Taimiyah meremehkan kemampuan Ali bin Abi Thalib dalam permasalahan fikih (hukum agama). Ia mengatakan: “Ali memiliki banyak fatwa yang bertentangan dengan teks-teks agama (nash)”. Bahkan Ibnu Taimiyah dalam rangka menguatkan pendapatnya tersebut, ia tidak segan-segan untuk mengatasnamakan beberapa ulama Ahlusunnah yang disangkanya dapat sesuai dengan pernyataannya itu. Lantas dia mengatakan: “As-Syafi’i dan Muhammad bin Nasr al-Maruzi telah mengumpulkan dalam satu kitab besar berkaitan dengan hukum yang dipegang oleh kaum muslimin yang tidak diambil dari ungkapan Ali. Hal itu dikarenakan ungkapan sahabat-sahabat selainnya (Ali), lebih sesuai dengan al-Kitab (al-Quran) dan as-Sunnah”[6].

Berkenaan dengan ungkapan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa banyak ungkapan Ali yang bertentangan dengan nash (teks agama), hal itu sangatlah mengherankan, betapa tidak? Apakah mungkin orang yang disebut-sebut sebagai ‘syeikh Islam’ seperti Ibnu Taimiyah tidak mengetahui banyaknya hadis dan ungkapan para salaf saleh yang disebutkan dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah sendiri perihal keutamaan Ali dari berbagai sisinya, termasuk sisi keilmuannya. Jika benar bahwa ia tidak tahu, maka layakkah gelar syeikh Islam tadi baginya? Padahal hadis-hadis tentang keutamaan Ali sebegitu banyak jumlahnya. Jika ia tahu, tetapi tetap bersikeras untuk menentangnya-padahal keutamaan Ali banyak tercantum dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah yang memiliki sanad hadis yang begitu kuat sehingga tidak lagi dapat diingkarinya- maka terserah Anda untuk menyikapinya! Lantas, apa kira-kira maksud dibalik pengingkaran tersebut? Karena kebodohan Ibnu Taimiyah? Ataukah karena kebencian Ibnu Taimiyah atas Ali? Ataukah karena kedua-duanya? Bukankah Ali termasuk salah satu Ahlul Bait Nabi,[7] dimana sudah menjadi kesepakatan antara Sunnah-Syiah bahwa pembenci Ahlul-Bait Nabi dapat dikategorikan Nashibi atau Nawashib? Lantas manakah bukti bahwa Ibnu Taimiyah adalah pribadi yang getol menghidupkan kembali ajaran salaf saleh, sedang ungkapannya banyak bertentangan dengan ungkapan salaf saleh?

Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa hadis yang membahas tentang keilmuan Ali sesuai dengan pengakuan para salaf saleh yang diakui sebagai panutan oleh Ibnu Taimiyah:

Sabda Rasulullah saw: “Telah kunikahkan engkau –wahai Fathimah- dengan sebaik-baik umatku yang paling tinggi dari sisi keilmuan dan paling utama dari sisi kebijakan…”.[8]

1. Sabda Rasulullah saw: “Ali adalah gerbang ilmuku dan penjelas bagi umatku atas segala hal yang karenanya aku diutus setelahku”.[9]


2. Sabda Rasulullah saw: “Hikmah (pengetahuan) terbagi menjadi sepuluh bagian, maka dianugerahkan kepada Ali sembilan bagian, sedang segenap manusia satu bagian (saja)”.[10]

3. Berkata ummulmukminin Aisyah: “Ali adalah pribadi yang paling mengetahui dari semua orang tentang as-Sunnah”.[11]

4. Berkata Umar bin Khattab: “Ya Allah, jangan Engkau biarkan aku dalam kesulitan tanpa putera Abi Thalib (di sisiku)”.[12]

5. Berkata Ibnu Abbas: “Demi Allah, telah dianugerahkan kepada Ali sembilan dari sepuluh bagian ilmu. Dan demi Allah, ia (Ali) telah ikut andil dari satu bagian yang kalian miliki”.[13] Dalam nukilan kitab lain ia berkata: “Tidaklah ilmuku dan ilmu para sahabat Muhammad saw sebanding dengan ilmu Ali, sebagaimana setetes air dibanding tujuh samudera”.[14]

6. Berkata Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya al-Quran turun dalam tujuh huruf. Tiada satupun dari huruf-huruf tadi kecuali didalamnya terdapat zahir dan batin. Dan sesungguhnya Ali bin Abi Thalib memiliki ilmu tentang zahir dan batin tersebut”.[15]

7. Berkata ‘Adi bin Hatim: “Demi Allah, jika dilihat dari sisi pengetahuan terhadap al-Quran dan as-Sunnah, maka dia –yaitu Ali- adalah pribadi yang paling mengetahui tentang dua hal tadi. Jika dari sisi keislamannya, maka ia adalah saudara Rasul dan memiliki senioritas dalam keislaman. Jika dari sisi kezuhudan dan ibadah, maka ia adalah pribadi yang paling nampak zuhud dan paling baik ibadahnya”.[16]

8. Berkata al-Hasan: “Telah meninggalkan kalian, pribadi yang kemarin tiada satupun dari pribadi terdahulu dan akan datang yang bisa mengalahi keilmuannya”.[17]
Dan masih banyak lagi hadis-hadis pengakuan Nabi beserta para sahabatnya yang menyatakan akan keluasan ilmu Ali dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah.

Adapun tentang ungkapan Ibnu Taimiyah yang menukil pendapat orang lain perihal Ali tersebut merupakan kebohongan atas pribadi yang dinukil tadi. Karena maksud al-Maruzi yang menulis karya besar tadi, ialah dalam rangka mengumpulkan fatwa-fatwa Abu Hanifah –pendiri mazhab Hanafi- yang bertentangan dengan pendapat sahabat Ali dan Ibnu Mas’ud. Jadi topik utama pembahasan kitab tersebut adalah fatwa Abu Hanifah dan ungkapan sahabat, yang dalam hal ini berkaitan dengan Ali dan Ibnu Mas’ud. Tampak, betapa terburu-burunya Ibnu Taimiyah dalam membidik Ali dengan menukil pendapat orang lain, tanpa membaca lebih lanjut dan teliti tujuan penulisan buku tersebut. Ini merupakan salah satu contoh pengkhianatan Ibnu Taimiyah atas beberapa pemuka Ahlussunah.

Dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah ternyata bukan hanya meragukan akan kemampuan Ali dari sisi keilmuan, bahkan ia juga mengingkari banyak hal yang berkaitan dengan keutamaan Ali.[18] Di sini akan disebutkan beberapa contoh ungkapan Ibnu Taimiyah perihal masalah tersebut:

1. Kebencian terhadap Ali: “Ungkapan yang menyatakan bahwa membenci Ali merupakan kekufuran, adalah sesuatu yang tidak diketahui (asalnya)”.[19]

2. Pengingkaran hadis Rasul: “Hadis ana madinatul ilmi (Aku adalah kota ilmu…) adalah tergolong hadis yang dibikin (maudhu’)”.[20]

3. Kemampuan Ali dalam memutuskan hukum: “Hadis “aqdhakum Ali” (paling baik dalam pemberian hukum diantara kalian adalah Ali) belum dapat ditetapkan (kebenarannya)”.[21]

4. Keilmuan Ali: “Pernyataan bahwa Ibnu Abbas adalah murid Ali, merupakan ungkapan batil”.[22] Sehingga dari pengingkaran itu ia kembali mengatakan: “Yang lebih terkenal adalah bahwa Ali telah belajar dari Abu Bakar”.[23]

5. Keadilan Ali: “Sebagian umatnya mengingkari keadilannya. Para kelompok Khawarij pun akhirnya mengkafirkannya. Sedang selain Khawarij, baik dari keluarganya maupun selain keluarganya mengatakan: ia tidak melakukan keadilan. Para pengikut Usman mengatakan: ia tergolong orang yang menzalimi Usman…secara global, tidak tampak keadilan pada diri Ali, padahal ia memiliki banyak tanggungjawab dalam penyebarannya, sebagaimana yang pernah terlihat pada (masa) Umar, dan tidak sedikitpun mendekati (apa yang telah dicapai oleh Umar)”.[24]

Dari pengingkaran-pengingkaran tersebut akhirnya Ibnu Taimiyah menyatakan: “Adapun Ali, banyak pihak dari pendahulu tidak mengikuti dan membaiatnya. Dan banyak dari sahabat dan tabi’in yang memeranginya”.[25]

Bisa dilihat, betapa Ibnu Taimiyah telah memiliki kesinisan tersendiri atas pribadi Ali sehingga membuat mata hatinya buta dan tidak lagi melihat hakikat kebenaran, walaupun hal itu bersumber dari syeikh yang menjadi panutannya, Ahmad bin Hambal. Padahal, imam Ahmad bin Hambal -sebagai pendiri mazhab Ahlul-Hadis yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dari berbagai ajaran dan metode mazhabnya- juga beberapa imam ahli hadis lain –seperti Ismail al-Qodhi, an-Nasa’i, Abu Ali an-Naisaburi- telah mengatakan: “Tiada datang dengan menggunakan sanad yang terbaik berkaitan dengan pribadi satu sahabat pun, kecuali yang terbanyak berkaitan dengan pribadi Ali. Ali tetap bersama kebenaran, dan kebenaran bersamanya sebagaimana ia berada”.[26]

Dalam masalah kekhilafahan Ali, Ibnu Taimiyah pun dalam beberapa hal meragukan, dan bahkan melecehkannya. Di sini dapat disebutkan contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah tentang kekhalifahan Ali:

1. “Kekhilafahan Ali tidak menjadi rahmat bagi segenap kaum mukmin, tidak seperti (yang terjadi pada) kekhilafahan Abu Bakar dan Umar”.[27]

2. “Ali berperang (bertujuan) untuk ditaati dan untuk menguasai atas umat, juga (karena) harta. Lantas, bagaimana mungkin ia (Ali) menjadikan dasar peperangan tersebut untuk agama? Sedangkan jika ia menghendaki kemuliaan di dunia dan kerusakan (fasad), niscaya tiada akan menjadi pribadi yang mendapat kemuliaan di akherat”.[28]

3. “Adapun peperangan Jamal dan Shiffin telah dinyatakan bahwa, tiada nash dari Rasul.[29] Semua itu hanya didasari oleh pendapat pribadi. Sedangkan mayoritas sahabat tidak menyepakati peperangan itu. Peperangan itu, tidak lebih merupakan peperangan fitnah atas takwil. Peperangan itu tidak masuk kategori jihad yang diwajibkan, ataupun yang disunahkah. Peperangan yang menyebabkan terbunuhnya banyak pribadi muslim, para penegak shalat, pembayar zakar dan pelaksana puasa”.[30]

Untuk menjawab pernyataan Ibnu Taimiyah tadi, cukuplah dinukil pernyataan beberapa ulama Ahlusunnah saja, guna mempersingkat pembahasan.

Al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir dalam menukil ungkapan al-Jurjani dan al-Qurthubi menyatakan: “Dalam kitab al-Imamah, al-Jurjani mengatakan: “Telah sepakat (ijma’) ulama ahli fikih (faqih) Hijaz dan Iraq, baik dari kelompok ahli hadis maupun ahli ra’yi semisal imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah dan Auza’i dan mayoritas para teolog (mutakallim) dan kaum muslimin, bahwa Ali dapat dibenarkan dalam peperangannya melawan pasukan (musuhnya dalam) perang jamal. Dan musuhnya (Ali) dapat dikelompokkan sebagai para penentang yang zalim”. Kemudian dalam menukil ungkapan al-Qurthubi, dia mengatakan: “Telah menjadi kejelasan bagi ulama Islam berdasar argumen-argumen agama, bahwa Ali adalah imam. Oleh karenanya, setiap pribadi yang keluar dari (kepemimpinan)-nya, niscaya dihukumi sebagai penentang yang berarti memeranginya adalah suatu kewajiban hingga mereka kembali kepada kebenaran, atau tertolong dengan melakukan perdamaian”.[31]

Jelas bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah dengan mengatasnamakan salaf saleh tidaklah memiliki dasar sedikitpun, apalagi jika ia mengatasnamakan para imam mazhab Ahlusunnah. Lantas, bagaimana mungkin pribadi seperti Ibnu Taimiyah dapat mewakili pemikiran Ahlusunnah, padahal begitu banyak pandangan ulama Ahlusunnah sediri yang secara jelas bertentangan dengan pendapat Ibnu Taimiyah? Lebih-lebih pendapat Ibnu Taimiyah tadi hanya sebatas pengakuan saja, tanpa memberikan argumen maupun rujukan yang jelas, baik yang berkaitan dengan hadis (Rasul saw), maupun ungkapan para salaf saleh (dari sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) termasuk nukilan pendapat para imam mazhab empat secara cermat, apalagi bukti ayat al-Quran.

Yang lebih parah lagi, setelah ia meragukan semua keutamaan Ali bin Abi Thalib, dari seluruh ungkapannya tersebut, akhirnya ia pun meragukan Ali sebagai khalifah. Hal itu merupakan konsekuensi dari semua pernyataan yang pernah ia lontarkan sebelumnya. Mengingat, dalam banyak kesempatan Ibnu Taimiyah selalu meragukan kemampuan Ali dalam memimpin umat. Oleh karenanya, dalam banyak kesempatan pula ia menyebarkan keragu-keraguan atas kekhilafan Ali. Tentu saja, metode yang dipakainya dalam masalah inipun sama sebagaimana yang ia terapkan sebelumnya -seperti yang telah disinggung di atas, yaitu; dengan cara menukil beberapa pendapat yang sangat tidak mendasar, dan tidak jujur sembari mengajukan pendapat pribadinya sebagai pendapat tokoh-tokoh salaf saleh.

Berikut ini adalah beberapa contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah dalam masalah tersebut:

1. “Diriwayatkan dari Syafi’i dan pribadi-pribadi selainnya, bahwa khalifah ada tiga; Abu Bakar, Umar dan Usman”.[32]

2. “Manusia telah bingung dalam masalah kekhilafan Ali (karena itu mereka berpecah atas) beberapa pendapat; Sebagian berpendapat bahwa ia (Ali) bukanlah imam, akan tetapi Muawiyah-lah yang menjadi imam. Sebagian lagi menyatakan, bahwa pada zaman itu tidak terdapat imam secara umum, bahkan zaman itu masuk kategori masa (zaman) fitnah”.[33]

3. “Dari mereka terdapat orang-orang yang diam (tidak mengakui) atas (kekhalifahan) Ali, dan tidak mengakuinya sebagai khalifah keempat. Hal itu dikarenakan umat tidak memberikan kesepakatan atasnya. Sedang di Andalus, banyak dari golongan Bani Umayyah yang mengatakan: Tidak ada khalifah. Sesungguhnya khalifah adalah yang mendapat kesepakatan (konsensus) umat manusia. Sedang mereka tidak memberi kesepakatan atas Ali. Sebagian lagi dari mereka menyatakan Muawiyah sebagai khalifah keempat dalam khutbah-khutbah jum’atnya. Jadi, selain mereka menyebutkan ketiga khalifah itu, mereka juga menyebut Muawiyah sebagai (khalifah) keempat, dan tidak menyebut Ali”.[34]

4. “Kita mengetahui bahwa sewaktu Ali memimpin, banyak dari umat manusia yang lebih memilih kepemimpinan Muawiyah, atau kepemimpinan selain keduanya (Ali dan Muawiyah)…maka mayoritas (umat) tidak sepakat dalam ketaatan”.[35]
Jelas sekali di sini bahwa Ibnu Taimiyah selain ia berusaha menyebarkan karaguan atas kekhalifah Ali bin Abi Thalib kepada segenap umat, ia pun menjadi corong dalam menyebarkan kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedang hal itu jelas-jelas bertentangan dengan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah.

Untuk menjawab pernyataan-pernyataan Ibnu Taimiyah di atas tadi, mari kita simak beberapa pernyataan pembesar ulama Ahlusunnah tentang kekhilafahan Ali bin Abi Thalib, dan ungkapan mereka perihal Muawiyah bin Abu Sufyan, termasuk yang bersumber dari kitab-kitab karya imam Ahmad bin Hambal yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dalam pola pikir dan metode (manhaj)-nya.

1. Dinukil dari imam Ahmad bin Hambal: “Barangsiapa yang tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, maka jangan kalian ajak bicara, dan jangan adakan tali pernikahan dengannya”.[36]

2. Dikatakan bahwa imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan: “Barangsiapa yang tidak menetapkan imamah (kepemimpinan) Ali, maka ia lebih sesat dari Keledai. Adakah Ali dalam menegakkan hukum, mengumpulkan sedekah dan membagikannya tanpa didasari hak? Aku berlindung kepada Allah dari ungkapan semacam ini…akan tetapi ia (Ali) adalah khalifah yang diridhai oleh para sahabat Rasul. Mereka melaksanakan shalat dibelakangnya. Mereka berperang bersamanya. Mereka berjihad dan berhaji bersamanya. Mereka menyebutnya sebagai amirulmukminin. Mereka ridha dan tiada mengingkarinya. Maka kami pun mengikuti mereka”.[37]

3. Dalam kesempatan lain, sewaktu putera imam Ahmad bin Hambal menanyakan kepada ayahnya perihal beberapa orang yang mengingkari kekhalifahan Ali, beliau (imam Ahmad) berkata: “Itu merupakan ungkapan buruk yang hina”[38].

4. Dari Abi Qais al-Audi yang berkata: “Aku melihat umat manusia di mana mereka terdapat tiga tahapan; Para pemilik agama, mereka mencintai Ali. Sedang para pemilik dunia, mereka mencintai Muawiyah, dan Khawarij”.[39]

Adapun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan keutamaan Ali terlampau banyak untuk disampaikan di sini. Untuk mempersingkat pembahasan, kita nukil beberapa contoh riwayat yang khusus berkaitan dengan keilmuan dan kekhilafan Ali dari kitab-kitab standar Ahlusunnah wal Jamaah:

1. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi dijelaskan dari Hayyan al-Asadi; aku mendengar Ali berkata: Rasul bersabda kepadaku: “Sesungguhnya umat akan meninggalkanmu setelahku (sepeninggalku), sedang engkau hidup di atas ajaranku. Engkau akan terbunuh karena (membela) sunahku. Barangsiapa yang mencintaimu, maka ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa yang memusuhimu, maka ia telah memusuhiku. Dan ini akan terwarnai hingga ini (yaitu janggut dari kepalanya)”.[40]

2. Dalam Shahih at-Turmudzi yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id, ia berkata: “Kami (kaum Anshar) tiada mengetahui orang-orang munafik kecuali melalui kebencian mereka terhadap Ali bin Abi Thalib”.[41]

3. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam yang menyebutkan; Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menginginkan hidup sebagaimana kehidupanku, dan mati sebagaimana kematianku, dan menempati sorga yang kekal yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku, maka hendaknya ia menjadikan Ali sebagai wali (pemimpin/kecintaan). Karena ia tiada akan pernah mengeluarkan kalian dari petunjuk, dan tiada akan menjerumuskan kalian kepada kesesatan”.[42]

4. Dalam kitab Tarikh al-Baghdadi diriwaytkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Di malam sewaktu aku mi’raj ke langit, aku melihat di pintu sorga tertulis: Tiada tuhan melainkan Allah, Muhammad Rasul Allah, Ali kecintaan Allah, al-Hasan dan al-Husein pilihan Allah, Fathimah pujian Allah, atas pembenci mereka laknat Allah”.[43]

5. Juga dalam kitab Tarikh al-Baghdadi disebutkan sebuah hadis tentang penjelmaan Iblis untuk menggoda Rasul beserta para sahabat sewaktu bertawaf di Ka’bah. Setelah Iblis itu sirna, Rasul bersabda kepada Ali: “Apa yang aku dan engkau miliki wahai putera Abu Thalib. Demi Allah, tiada seseorang yang membencimu kecuali ia (Iblis) telah campur tangan dalam pembentukannya (melalui sperma ayahnya .red).” Lantas Rasul membacakan ayat (64 dari surat al-Isra’): “Wa Syarikhum fil Amwal wal Awlad” (Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak)”.[44]

6. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Aku adalah kota hikmah, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki hikmah hendaknya melalui pintunya”.[45] Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki ilmu hendaknya melalui pintunya”.[46]

7. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari al-Hasan dari Anas bin Malik, ia berkata; Nabi bersabda kepada Ali: “Engkau (Ali) penjelas (atas permasalahan) yang menjadi perselisihan di antara umatku setelahku”.[47]

8. Dalam kitab as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar disebutkan, sewaktu Rasul sakit lantas beliau mewasiatkan kepada para sahabatnya, seraya bersabda: “Aku meninggalkan kepada kalian Kitab Allah (al-Quran) dan Itrah (keturunan)-ku dari Ahlul Baitku”. Kemudian beliau mengangkat tangan Ali seraya bersabda: “Inilah Ali bersama al-Quran, dan al-Quran bersama Ali. Keduanya tiada akan berpisah sehingga pertemuanku di al-Haudh (akherat) kelak, maka carilah kedua hal tersebut sebagaimana aku telah meninggalkannya”.[48] Dalam hadis lain disebutkan: “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali. Keduanya tiada akan pernah berpisah hingga pertemuanku di Haudh kelak di akherat”.[49]

9. Dalam kitab Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir disebutkan, diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata; Rasul memerintahkan kami untuk memerangi kelompok Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan). Lantas kami berkata: “Wahai Rasulullah, engkau memerintahkan kami memerangi mereka, lantas bersama siapakah kami?”, beliau bersabda: “Bersama Ali bin Abi Thalib, bersamanya akan terbunuh (pula) Ammar bin Yasir”.[50]

Pernyataan Resmi Ahlusunnah Perihal Kekhalifahan Ali:

Lihat, bagaimana Ibnu Taimiyah tidak menyinggung nama Ali dalam masalah kekhalifahan? Dan bagaimana ia berdusta atas nama imam Syafi’i tanpa memberikan dasar argumen yang jelas? Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari Ali, tetapi bahkan memberikan kemungkinan kekhalifahan buat Muawiyah. Padahal tidak ada kelompok Ahlusunnah pun yang meragukan kekhalifahan Ali. Berikut ini akan kita perhatikan pernyataan resmi beberapa ulama Ahlussunah perihal pandangan mazhab mereka berkaitan dengan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib:

1. Dari Abbas ad-Dauri, dari Yahya bin Mu’in, ia mengatakan: “Sebaik-baik umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar dan Umar, kemudian Usman, lantas Ali. Ini adalah mazhab kami, juga pendapat para imam kami. Sedang Yahya bin Mu’in berpendapat: Abu Bakar, Umar, Ali dan Usman”.[51]

2. Dari Harun bin Ishaq, dari Yahya bin Mu’in: “Barangsiapa yang menyatakan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali (Radhiyallahu anhum) –dan mengakui Ali sebagai pemilik keutamaan, maka ia adalah pemegang as-Sunnah (Shahib as-Sunnah)…lantas kusebutkan baginya oknum-oknum yang hanya menyatakan Abu Bakar, Umar dan Usman, kemudian ia diam (tanpa menyebut Ali .red), lantas ia mengutuk (oknum tadi) mereka dengan ungkapan yang keras”.[52]

3. Berkata Abu Umar –Ibnu Abdul Bar- perihal seseorang yang berpendapat sebagaimana hadis dari Ibnu Umar: “Dahulu, pada zaman Rasul, kita mengatakan: Abu Bakar, kemudian Umar, lantas Usman, lalu kami diam –tanpa melanjutkannya)”. Itulah yang diingkari oleh Ibnu Mu’in dan mengutuknya dengan ungkapan kasar. Karena yang menyatakan hal itu berarti telah bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh Ahlussunah, baik mereka dari pendahulu (as-Salaf), maupun dari yang datang terakhir (al-Khalaf) dari para ulama fikih dan hadis. Sudah menjadi kesepakatan (Ahlussunah) bahwa Ali adalah paling mulianya manusia, setelah Usman. Namun, mereka berselisih pendapat tentang, siapakah yang lebih utama, Ali atau Usman? Para ulama terdahulu (as-Salaf) juga telah berselisih pendapat tentang keutamaan Ali atas Abu Bakar. Namun, telah menjadi kesepakatan bagi semuanya bahwa, sebagaimana yang telah kita sebutkan, semua itu telah menjadi bukti bahwa hadis Ibnu Umar memiliki kesamaran dan kesalahan, dan tidak bisa diartikan semacam itu, walaupun dari sisi sanadnya dapat dibenarkan”.[53]

Jadi jelaslah bahwa menurut para pemuka Ahlussunah, Ali adalah sahabat terkemuka yang termasuk jajaran tokoh para sahabat yang menjadi salah satu khalifah pasca Rasul. Berbeda halnya dengan apa yang diyakini oleh Ibnu Taimiyah, seorang ulama generasi akhir (khalaf) yang mengaku sebagai penghidup pendapat ulama terdahulu (salaf), namun banyak pendapatnya justru berseberangan dengan pendapat salaf saleh.

Pernyataan Ulama Ahlusunnah Perihal Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Ali:

Pada bagian kali ini akan kita nukil beberapa pernyataan ulama Ahlusunnah perihal pernyataan Ibnu Taimiyah yang cenderung melecehkan Ali bin Abi Thalib:

1. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam menjelaskan tentang pribadi Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ia terlalu berlebihan dalam menghinakan pendapat rafidhi (Allamah al-Hilli seorang ulama Syiah. red) sehingga terjerumus kedalam penghinaan terhadap pribadi Ali”.[54]

2. Allamah Zahid al-Kautsari mengatakan: “…dari beberapa ungkapannya dapat dengan jelas dilihat kesan-kesan kebencian terhadap Ali”.[55]

3. Syeikh Abdullah Ghumari pernah menyatakan: “Para ulama yang sezaman dengannya menyebutnya (Ibnu Taimiyah) sebagai seorang yang munafik dikarenakan penyimpangannya atas pribadi Ali”.[56]

4. Syeikh Abdullah al-Habsyi berkata: “Ibnu Taimiyah sering melecehkan Ali bin Abi Thalib dengan mengatakan: Peperangan yang sering dilakukannya (Ali) sangat merugikan kaum muslimin”.[57]

5. Hasan bin Farhan al-Maliki menyatakan: “Dalam diri Ibnu Taimiyah terdapat jiwa ¬nashibi dan permusuhan terhadap Ali”.[58]

6. Hasan bin Ali as-Saqqaf berkata: “Ibnu Taimiyah adalah seorang yang disebut oleh beberapa kalangan sebagai ‘syeikh Islam’, dan segala ungkapannya dijadikan argumen oleh kelompok tersebut (Salafy). Padahal, ia adalah seorang nashibi yang memusuhi Ali dan menyatakan bahwa Fathimah (puteri Rasulullah. red) adalah seorang munafik”.[59]

Dan masih banyak lagi ungkapan ulama Ahlusunnah lain yang menyesalkan atas prilaku pribadi yang terlanjur terkenal dengan sebutan ‘syeikh Islam’ itu. Untuk mempersingkat pembahasan, dalam makalah ini kita cukupkan beberapa ungkapan mereka saja. Namun di sini juga akan dinukil pengakuan salah seorang ahli hadis dari kalangan wahabi (pengikut Ibnu Taimiyah sendiri .red) sendiri dalam mengungkapkan kebingungannya atas prilaku imamnya (Ibnu Taimiyah) yang meragukan beberapa hadis keutamaan Ali bin Abi Thalib. Ahli hadis tersebut bernama Nashiruddin al-Bani. Tentu semua pengikut Salafy (Wahabi) mengenal siapa dia. Seusai ia menganalisa hadis al-wilayah[60] (kepemimpinan) yang berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib, lantas ia mengatakan: “Anehnya, bagaimana mungkin syeikh Islam Ibnu Taimiyah mengingkari hadis ini, sebagaimana yang telah dia lakukan pada hadis-hadis sebelumnya (tentang Ali), padahal ia memiliki berbagai sanad yang sahih. Hal ini ia lakukan, tidak lain karena kebencian yang berlebihan terhadap kelompok Syiah”.[61]

Dari sini jelas bahwa akibat kebencian terhadap satu kelompok secara berlebihan menyebabkan Ibnu Taimiyah terjerumus ke dalam lembah kemungkaran dan kesesatan, sehingga menyebabkan ia telah menyimpang dari ajaran para salaf saleh yang selalu diakuinya sebagai pondasi ajarannya. Bukankah orang yang disebut ‘syeikh Islam’ itu mesti telah membaca hadis yang tercantum dalam Shahih Muslim –kitab yang diakuinya sebagai paling shahihnya kitab- yang menyatakan: “Aku bersumpah atas Dzat Yang menumbuhkan biji-bijian dan Pencipta semesta, Rasul telah berjanji kepadaku (Ali); Tiada yang mencintaiku melainkan seorang mukmin, dan tiada yang membenciku melainkan orang munafik”.[62] Sedang dalam hadis lain, diriwayatkan dari ummulmukminin Ummu Salamah: “Seorang munafik tiada akan mencintai Ali, dan seorang mukmin tiada akan pernah memusuhinya”.[63] Dan dari Abu Said al-Khudri yang mengatakan: “Kami dari kaum Anshar dapat mengenali para munafik melalui kebencian mereka terhadap Ali”.[64]

Jika sebagian ulama Ahlusunnah telah menyatakan, akibat kebencian Ibnu Taimiyah terhadap Ali dengan ungkapan-ungkapannya yang cenderung melecehkan sahabat besar tersebut sehingga ia disebut nashibi, lantas jika dikaitkan dengan tiga hadis di atas tadi yang menyatakan bahwa kebencian terhadap Ali adalah bukti kemunafikan, maka apakah layak bagi seorang munafik yang nashibi digelari ‘Syeikh al-Islam’? ataukah pribadi semacam itu justru lebih layak jika disebut sebagai ‘Syeikh al-Munafikin’? Jawabnya, tergantung pada cara kita dalam mengambil benang merah dari konsekuensi antara ungkapan beberapa ungkapan ulama Ahlusunnah dan beberapa hadis yang telah disebutkan di atas tadi.

Penutup:

Dari sini jelaslah, bahwa para ulama Salaf maupun Khalaf -dari Ahlussunah wal Jamaah- telah mengakui keutamaan Ali, dan mengakui kekhalifahannya. Lantas dari manakah manusia semacam Ibnu Taimiyah yang mengaku sebagai penghidup mazhab salaf saleh namun tidak menyinggung-nyinggung kekhalifahan Ali, bahkan berusaha menghapus Ali dari jajaran kekhilafahan Rasul? Masih layakkah manusia seperti Ibnu Taimiyah dinyatakan sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah, sementara pendapatnya banyak bertentangan dengan kesepakatan ulama salaf maupun khalaf dari Ahlussunah wal Jamaah? Ataukah dia hanya mengaku dan membajak nama besar salaf saleh? Tegasnya, pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah tadi justru lebih layak untuk mewakili kelompok salaf yang dinyatakan oleh kaum muslimin sebagai salaf thaleh (lawan dari kata salaf saleh), seperti Yazid bin Muawiyah beserta gerombolannya.

Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu Taimiyah yang juga ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf” (Salafy/Wahaby), masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut Ahlussunah, padahal di sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran dan doktrin Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan (konsensus) ulama Ahlussunah beserta "ajaran resmi" Ahlussunah wal Jamaah. Mereka berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya diterima dalam lingkaran Ahlussunnah. Sehingga mereka pun berusaha sekuat tenaga agar semua usaha pendekatan, pintu dialog ataupun persatuan antara Sunnah-Syiah harus ditentang, ditutup dan digagalkan. Karena, jika antara Sunnah-Syiah bersatu, maka kedok mereka akan tersingkap, dan hal itu akan mengakibatkan nasib mereka kian tidak menentu.[]


Penulis: Mahasiswa S2 Jurusan Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomeini, Qom-Republik Islam Iran,


Rujukan:
________________________________________

[2] Dalam kitab Mustadrak as-Shohihain Jil:3 Hal:483 karya Hakim an-Naisaburi atau kitab Nuur al-Abshar Hal:69 karya as-Syablanji disebutkan, bahwa Ali adalah satu-satunya orang yang dilahirkan dalam Baitullah Ka’bah. Maryam ketika hendak melahirkan Isa al-Masih, ia diperintahkan oleh Allah untuk menjauhi tempat ibadah, sedang Fatimah binti Asad ketika hendak melahirkan Ali, justru diperintahkan masuk ke tempat ibadah, Baitullah Ka’bah. Ini merupakan bukti, bahwa Ali memiliki kemuliaan tersendiri di mata Allah. Oleh karenanya, dalam hadis yang dinukil oleh Ibnu Atsir dalam kitab Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:31 dinyatakan, Rasul bersabda: “Engkau (Ali) sebagaimana Ka’bah, didatangi dan tidak mendatangi”.

[3] Pembunuh Ali, Abdurrahman bin Muljam al-Muradi, dalam banyak kitab disebutkan sebagai paling celakanya manusia di muka bumi. Lihat kitab-kitab semisal Thobaqoot Jil:3 Hal:21 karya Ibnu Sa’ad, Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:135, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:24 karya Ibnu Atsir, Qoshos al-Ambiya’ Hal:100 karya ats-Tsa’labi.

[4] Dalam kitab Fathul-Bari disebutkan bahwa pribadi-pribadi seperti imam Ahmad bin Hambal, imam Nasa’i, imam an-Naisaburi dan sebagainya mengakui bahwa hadis-hadis tentang keutamaan Ali lebih banyak dibanding dengan keutamaan para sahabat lainnya.

[5] Lihat Tarikh at-Tabari Jil:2 Hal:62

[6] Minhaj as-Sunnah Jil:8 Hal:281, karya Ibnu Taimiyah al-Harrani

[7] Lihat Shohih Muslim Kitab: Fadho’il as-Shohabah Bab:Fadhoil Ahlul Bait an-Nabi, Shohih at-Turmudzi Jil:2 Hal:209/319, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirakan surat 33:33 Jil:5 Hal:198-199, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:330 atau Jil:6 Hal:292, Usud al-Ghabah karya Ibnu al-Atsir Jil:2 Hal:20 atau Jil:3 Hal:413, Tarikh al-Baghdadi Jil:10 Hal:278…dsb

[8] Jamii’ al-Jawami’ Jil:6 Hal:398, karya as-Suyuthi

[9] Kanz al-Ummal Jil:6 Hal:156, karya al-Muttaqi al-Hindi

[10] Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65, karya Abu Na’im al-Ishbahani

[11] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40, karya al-Qurthubi, atau Tarikh al-Khulafa’ Hal:115 karya as-Suyuthi

[12] Tadzkirah al-Khawash Hal:87, karya Sibth Ibn al-Jauzi

[13] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40

[14] Al-Ishobah Jil:2 Hal:509, karya Ibnu Hajar al-Asqolani, atau Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65

[15] Miftah as-Sa’adah, Jil:1 Hal:400

[16] Siar A’lam an-Nubala’ (khulafa’) Hal:239, karya adz-Dzahabi

[17] Al-Bidayah wa an-Nihayah Jil:7 Hal:332

[18] Minhaj as-Sunnah Jil:7 Hal:511 & 461

[19] Ibid Jil:8 Hal:97

[20] Ibid Jil:7 Hal:515

[21] Ibid Jil:7 Hal:512

[22] Ibid Jil:7 Hal: 535

[23] Ibid Jil:5 Hal:513

[24] Ibid Jil:6 Hal:18

[25] Ibid Jil:8 Hal:234

[26] Dinukil dari Fathul Bari Jil:7 Hal:89 karya Ibnu Hajar al-Asqolani, Tarikh Ibnu Asakir Jil:3 Hal:83, Siar A’lam an-Nubala’ (al-Khulafa’) Hal:239

[27] Minhaj as-Sunnah Jil:4 Hal:485

[28] Ibid Jil:8 Hal:329 atau Jil:4 Hal:500

[29] Pernyataan aneh yang terlontar dari Ibnu Taimiyah. Apakah dia tidak pernah menelaah hadis yang tercantum dalam kitab Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:139 dimana Abu Ayub berkata pada waktu kekhilafahan Umar bin Khatab dengan ungkapan; “Rasulullah telah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk memerangi kaum Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan)”. Begitu pula yang tercantum dalam kitabTarikh al-Baghdadi Jil:8 Hal:340, Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir Jil:4 Hal:32, Majma’ az-Zawa’id karya al-Haitsami Jil:9 Hal:235, ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat ke-41 dari surat az-Zukhruf, dsb? Ataukah Ibnu Taimiyah sudah tidak percaya lagi kepada para sahabat yang merawikan hadis tersebut? Bukankah ia telah terlanjur menyatakan bahwa sahabat adalah Salaf Saleh yang ajarannya hendak ia tegakkan?

[30] Ibid Jil:6 Hal:356

[31] Faidh al-Qodir Jil:6 Hal:336

[32] Minhaj as-Sunnah Jil:2 Hal:404

[33] Ibid Jil:1 Hal:537

[34] Ibid Jil:6 Hal:419

[35] Ibid Jil:4 Hal:682

[36] Thobaqoot al-Hanabilah Jil:1 Hal:45

[37] Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah Hal:8

[38] As-Sunnatu Halal Hal:235

[39] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213

[40] Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:142. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain semisal; Tarikh al-Baghdadi Jil:13 Hal:32, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:383, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:131, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:213, dsb.

[41] Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:299. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Shahih Muslim kitab al-Iman, Shahih an-Nasa’I Jil:2 Hal:271, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:84, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:129, Tarikh al-Baghdadi Jil:3 Hal:153, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:133, dsb.
[42] Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:128. Hadis semacam ini –walau dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:23 atau Jil:6 Hal:101, al-Ishabah karya Ibnu Hajar Jil:3 Bagian ke-1 Hal:20, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:215, Tarikh al-Baghdadi Jil:4 Hal:102, dsb.

[43] Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:259.

[44] Ibid Jil:3 Hal:289-290

[45] Mustadrak as-Shahihain Jil:11 Hal:204. Hadis yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi juga dapat ditemukan dalam Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:229.

[46] Ibid Jil:3 Hal:128. Hadis yang sama dapat juga ditemukan dalam kitab lain semacam; as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar Hal:73, Tarikh al-Baghdadi Jil:2 Hal:377, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:193, Kunuz al-Haqa’iq karya al-Manawi Hal:43, dsb.

[47] Ibdi Jil:3 Hal:122. Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Hilliyat al-Auliya’ karya Abu Na’im Jil:1 Hal:63.

[48] As-Showa’iq al-Muhriqoh Hal:75. Hadis semacam ini dapat pula dilihat dalam kitab-kitab semisal Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:124, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:134, dsb.

[49] Tarikh al-Baghdadi Jil:14 Hal:321. Hadis serupa juga dapat dijumpai dalam kitab Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:298, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:119, Majma’ az-Zawa’id Jil:7 Hal:235, Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi Jil:6 Hal:157, dsb dengan sedikit perbedaan redaksi.

[50] Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:32-33. Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain seperti; Mustadrak as-Shahihain Jil:4 Hal:139, Tarikh Baghdadi Jil:8 Hal:340 atau Jil:13 Hal:186, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:235, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat 41 dari surat az-Zukhruf, dsb.

[51] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213

[52] Ibid

[53] Ibid Jil:3 Hal:214

[54] Lisan al-Mizan Jil:6 Hal:319-320

[55] Al-Hawi fi Sirah at-Thahawi Hal:26

[56] Ar-Rasail al-Ghomariyah Hal:120-121

[57] Al-Maqolaat as-Saniyah Hal:200

[58] Dinukil dari kitab Nahwa Inqod at-Tarikh al-Islami karya Sulaiman bin Shaleh al-Khurasyi hal:35

[59] At-Tanbih wa ar-Rad Hal:7

[60] Hadis yang mengatakan: Ali waliyu kulli mukmin min ba’dy (Ali adalah pemimpin setiap mukmin setelahku)

[61] Silsilah al-Ahadis as-Shohihah, Hadis no: 2223

[62] Shohih Muslim Jil:1 Hal:120 Hadis ke-131 Kitab: al-Iman, atau Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:601

Hadis ke-3736, dan atau Sunan Ibnu Majah Jil:1 Hal:42 Hadis ke-114

[63] Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:594 Hadis ke-3717

[64] Ibid Hal:593


sumber : http://islamalternatif.net/iph/content/view/29/38/