Rabu, 16 Juni 2010

Nabi Muhammad BERMUKA MASAM...???..




ABASA (BERMUKA MASAM)

Selama ini kita diajari bahwa Nabi Saw pernah ditegur oleh Allah SWT perihal bermuka masamnya beliau ketika di datangi seorang buta bernama Abdullah Ibn Maktum ketika sedang berdakwah kepada para petinggi bani umayyah.

Namun dalam surat Abasa itu sendiri pada ayat 1 tidak dijelaskan atau tidak disebutkan siapa pelakunya. Dalam terjemahan bahasa indonesia sendiri seperti ini :

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling = perhatikan tanda dalam kurung merupakan terjemahan tambahan bukan terjemahan sebenarnya.

Jika kita simak ayat 1 dalam bahasa arabnya adalah ‘abasa wata walla, perhatikan bahwa tidak ada kata Muhammad Saw, yang seharusnya terjemahan sebenarnya adalah seperti ini :

Dia bermuka masam dan berpaling.

Jika kita perhatikan kata “Dia” sungguh tidak logis jika Allah menegur Nabi secara langsung menggunakan kata “Dia”, seharusnya menggunakan kata “Kamukarena Allah menegur beliau secara langsung. Dan seharusnya jika Nabi yg ditegur secara langsung maka ayat tersebut harusnya berbunyi :

Kamu bermuka masam dan berpaling

Dan bukannya

Dia bermuka masam dan berpaling.

Sampai disini bisa di ikuti?

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Allah bukanlah menegur Nabi bermuka masam, tapi memberitahu Nabi bahwa salah satu dari petinggi bani umayyah tsb bermuka masam dan berpaling karena kehadiran seorang yang buta bernama Abdullah Ibn Maktum.

Pada ayat 2-4 surat Abasa :

2.karena telah datang seorang buta kepadanya
3.Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya
4.atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?

Ayat 2 menjelaskan penyebab bermuka masamnya petinggi umayyah tsb, sedangkan pada ayat ke 3-4 Allah memberitahu Nabi dgn kata ”Kamu” bahwa si buta tsb hendak mendapatkan pencerahan dari sang Nabi.

5.Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup
6.maka kamu melayaninya
7.Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
8.Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
9.sedang ia takut kepada (Allah),
10.maka kamu mengabaikannya
11.Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,

Pada ayat ke 5 dan 6 Allah memberitahu ke Nabi bahwa lebih baik mengajari orang yg miskin dan hina tapi mau mendengar dan menerima risalah Nabi dari pada mengajarkan kalimat Allah thd orang-orang kaya (petinggi bani umayyah) namun tidak mau mendengarkan risalah yang Nabi bawakan.

Pada ayat 7 – 11 harusnya bisa lebih mudah dipahami, bahwa Allah memberitahu Nabi tidak usah bersusah payah meneruskan dakwah kepada petinggi umayyah tsb, lebih baik layani si orang buta tersebut, walau nantinya dakwah Nabi thd petinggi bani umayyah gagal jika lebih memilih menjawab pertanyaan ibn maktum tetap Nabi tidak akan mendapat celaan dari Allah, justru akan mendapatkan pujian dari Allah.

Sebagaimana kita tahu menurut Aisyah ra bahwa Nabi itu adalah Alquran yang berjalan, salah satu sifat Nabi adalah maksum (bebas dari dosa) sebab selalu didampingi oleh Allah dlm setiap tindakan dan ucapannya, dan setiap yg diucapkan Nabi adalah wahyu bukan berdasarkan nafsunya.

Logisnya jika nabi maksum dan jika Nabi merupakan al quran berjalan, lalu mengapa Nabi bermuka masam? Bukankah itu kontradiktif dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Allah mengutus seorang manusia yang mampu berbuat dosa untuk membimbing manusia? Bagaimana mungkin si Nabi menyuruh orang berbuat baik tetapi thd orang lain Nabi pun berbuat buruk? Astaghfirullah.

Dapat diambil kesimpulan bahwa bukanlah Nabi yang bermuka masam, namun salah satu dari petinggi bani umayyah yang hadir pada saat itulah yg bermuka masam, sebab Allah menegaskan dalam firmannya :

Dia bermuka masam dan berpaling
Dan bukannya :
Kamu bermuka masam dan berpaling

Dalam berbagai analisa dinyatakan bahwa tindakan para ulama mengorbankan Nabi sbg yang bermuka masam tiada lain adalah untuk menyelamatkan muka petinggi bani umayyah tsb yang sempat menjadi khalifah sepeninggal Nabi Saw adalah rekayasa dari kekhalifahan umayyah semata untuk menyelamatkan nama baik suku mereka dgn menjelekkan Nabi Saw.

Sayangnya mayoritas umat Islam banyak yang termakan tipuan tsb, sudah saatnya kita sadar dan berpikir dgn logika, apakah Nabi seorang yg berdosa ataukah seorang yg maksum?. Jika Nabi seorang yg berdosa, lalu sia-sia dong tindakan Allah membelah dada Nabi untuk membersihkan dari segala kekotoran jiwanya ketika isra miraj. Berarti Allah pun gagal dalam membersihkan sifat-sifat kotornya Nabi dong? Bukankah Allah membersihan Nabi sebersih2nya dgn membelah dadanya sebagai persiapan dalam berdakwah agar dapat dijadikan usuwah yang baik bagi umatnya? Sudah saatnya kita berpikir dan bertobat atas fitnah terbesar ini.

Kamis, 25 Februari 2010

Hari Raya Zahra

Hari Raya Zahra

Masa dua bulan yang menyedihkan mencapai klimaksnya pada hari wafatnya Imam Kesebelas, Imam Hasan Al-Askari, pada tanggal 8 Rabiul Awal. Satu hari setelahnya, menurut riwayat, adalah hari ied (perayaan) bagi pencinta Ahlulbait as. Dikenal sebagai Idul Zahra, hari ini menghormati putri Nabi Muhammad saw. sebagai hari kegembiraan dan kebahagiaan bagi orang-orang beriman.

Sekedar mengingat, 70 hari sebelumnya kita memperingati syahidnya tidak kurang dari enam manusia suci—Nabi Muhammad, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Zainal Abidin, Imam Ridha, dan Imam Askari (salâmullâh ‘alaihim). Selain itu, kita juga mengenang wafatnya pribadi-pribadi seperti Abul Fadhl Abbas bin Ali, Sayidah Ma’sumah dan para sahabat Imam Husain di tanah Karbala. Akhirnya, setelah masa kesedihan, kita mengganti kain hitam dan kembali untuk melaksanakan hikmah selama akhir bulan ini.

Salah satu hal penting adalah kita menandai hari pertama kepemimpinan imam kita yang masih hidup, Al-Hujjat bin Hasan Al-Askari (semoga Allah mempercepat kemunculannya). Sebagaimana yang disebutkan dalam doa, ziarah dan riwayat, kemunculan Imam Keduabelas akan menandai pembalasan atas darah yang tertumpah di Karbala.

Dengan peristiwa penting ini kita merayakan Idul Zahra dan dengan sungguh-sungguh kita mohon kepada Allah Swt. untuk mempercepat kemunculan hujjah terakhir-Nya. Melalui keadilan yang akan imam tunjukkan, hari ini akan benar-benar dirayakan sebagai Id Fatimah Az-Zahra dan seluruh pengikutnya yang sejati.

Pengamat sejarah menyatakan empat peristiwa bersejarah penting pada tanggal 9 Rabiul Awal. Pertama, beberapa sejarawan berpendapat bahwa Nabi Muhammad lahir pada tanggal 9 Rabiul Awal. Terdapat dua pendapat lain: 12 Rabiul Awal dan 17 Rabiul Awal. Bagi Syiah, riwayat yang paling terkenal adalah yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. lahir pada tanggal 17 Rabiul Awal 570 M.

Apapun keadaannya, tanggal tidaklah membuat perbedaan besar. Karena Ayatullah Khomeini, pendiri revolusi Islam telah mengumumkan pekan antara 9 dan 17 Rabiulawal sebagai “Usbû’ Al-Wahdah” berarti “Pekan Persatuan” di antara umat muslim. Umat muslim seluruh dunia diminta untuk bersama-sama dan merayakan mauled Nabi Muhammad selama sepekan.

Kedua, sehubungan dengan pentingnya hari ini, dicatat bahwa Nabi Muhammad sendiri terlihat senyum dan “merayakan” sekali dengan berkumpul di kota Madinah pada hari ini ketika kehadiran Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain kemudian berkata, “Pada hari inilah Allah Swt. akan menghancurkan musuh-musuh kalian dan musuh-musuh kakek kalian dan pada hari inilah ketika Allah (Swt.) akan menerima perbuatan pengikut kalian dan mereka yang mencintai kalian. Inilah hari ketika firman Allah menjadi kenyataan di mana Ia berfirman (dalam Quranul Karim): ‘Maka itulah rumah-rumah mereka dalam keadaan runtuh disebabkan kezaliman mereka…’ (QS. 27: 52). Dan pada hari inilah Firaun masa Ahlulbait akan dihancurkan…”

Ketiga, tanggal 9 Rabiul Awal juga dikenal sebagai Idul Zahra berarti perayaan Fatimah Az-Zahra as., karena 3-4 tahun setelah tragedi Karbala, pada hari inilah kegembiraan dan kebahagiaan terpulihkan dalam keluarga Ahlulbait as. Dari tragedi Karbala pada tahun 61 H hingga hari ini, anggota keluarga Nabi Muhammad saw. terus-menerus berduka dan bersedih atas kesyahidan Imam Husain as.

Umar bin Saad bin Abi Waqas adalah pembunuh Imam Husain yang pertama kali menembakkan panah ke arah Imam Husain pada tanggal 9 Muharam 61 H, yang dengan itu memulai secara resmi peperangan melawan Imam Husain as.! Dan ia menyatakan, “Hai warga Kufah dan Syam, jadilah saksi dengan ini pada Hari Pengadilan, bahwa akulah orang pertama yang menembakkan panah kepada Husain!” Kemudian, Imam Husain mengatakan kepada tentara Yazid yang dikomandani Umar, setelah memberikan khutbah yang luar biasa, bahwa beliau butuh satu malam lagi untuk beribadah!

Mukhtar bin Ubaidullah Ats-Tsaqafi mengumumkan tujuan revolusinya di Masjid Kufah, “Saya akan menyesuaikan kepada Kitabullah dan sunah nabi-Nya. Saya akan mengambil pembalasan terhadap pembunuh Imam Husain. Saya akan berperang melawan mereka yang merusak hukum Allah. Saya akan membela kaum lemah atas kaum kuat (penindas).” Hanyalah orang yang beruntung yang punya kesempatan untuk merayakan Id ini! Inilah hari; ketika pertama kalinya setelah pembantaian Imam Husain dan para sahabatnya, Imam Ali Zainal Abidin dapat tersenyum! Apakah alasan ini tidak cukup untuk merayakannya? Karena, kebahagiaan kita bersama kebahagiaan Maksumin dan kesedihan kita juga untuk mereka!

Karena 9 Rabiul Awal adalah hari kemuliaan, kehormatan, kejayaan dan rahmat. Inilah hari raya besar yang juga dinamai “Eid Asy-Syaja’.”

Keempat atau terakhir, 9 Rabiul Awal adalah hari pertama bagi keimamahan Al-Hujjah bin Hasan Al-Askari (semoga Allah mempercepat kemunculannya), sebuah hari suka cita dan perayaan.

Benar bahwa seorang imam menjadi imam sejak lahir, tapi setiap imam menjalankan peran resmi atas kepemimpinannya setelah wafatnya imam sebelumnya. Alasan mengapa kita merayakannya, khususnya Al-Hujjah bin Hasan, adalah untuk mengingatkan diri kita atas keberadaannya dan tanggung jawab kita kepadanya. Ayahnya sekaligus Imam Kesebelas, Imam Hasan Al-Askari wafat pada tanggal 8 Rabiul Awal 260 H dan Imam Keduabelas, Imam Mahdi, menjalankan keimamahannya secara resmi pada usia lima tahun pada tanggal 9 Rabiul Awal 260 H.

Kita berdoa kepada Allah untuk menjaga agar kita tetap kokoh pada jalan-Nya, dan agar selalu menjaga kita dari kelalaian dalam menjalankan tugas-tugas kita kepada-Nya dan Imam Muhammad Al-Mahdi (semoga Allah mempercepat kemunculannya), dan juga memasukkan kita ke dalam penolong dan sahabat Imam Mahdi. Ilahi amin.

Salah satu cara agar kita berusaha menjadi sahabat Imam Mahdi afs. adalah menjalankan tanggung jawab yang ada pada diri kita, termasuk membaca Doa Al-Ahd (Janji) setiap pagi di mana kita mengatakan:

“Ya Allah, sesungguhnya saya memperbarui (janji setia) pagi pagi hari ini dan semua hari sisa-sisa janjiku… Ya Allah, masukkan aku di antara penolongnya, pembelanya, yang memenuhi harapan dan perintahnya… Ya Allah, jadikanlah ia sebagai tempat berlindung bagi hamba-Mu yang tertindas; penolong bagi mereka yang tidak memiliki penolong selain-Mu… penguat ilmu agama-Mu dan sunah nabi-Mu. Semoga salawat Allah tercurahkan kepadanya dan keluarganya.”

Selain doa, tentu saja, kita harus juga menjadi sahabat sejati Imam Zaman, dengan mengingat Salman, Abu Dzar, Ammar bin Yasir, dan Malik yang menjadi sahabat Imam Ali. Begitu juga dengan para syuhada Karbala yang merupakan sahabat sejati Imam Husain. Kita harus membentuk karakter kita dalam jalan yang benar ini dan menjauh dari dosa. Kita tidak boleh puas dengan kondisi sekarang atau menjadi biasa-biasa saja.

Imam Shadiq as. pernah berkata, “Seseorang tidak dianggap sebagai pengikut kami jika ia hidup di suatu kota dengan populasi 100.000, dan ada orang yang lebih takwa daripadanya.” Kita harus menjaga konsep ini dalam hati dan memperjuangkan dengan semangat tinggi untuk mencapai peringkat tertinggi dalam ketakwaan.

Hadis tentang Imam Muhammad Al-Mahdi (semoga Allah mempercepat kemunculannya): “Dunia tidak akan berakhir, kata Nabi Muhammad saw., “sampai seorang laki-laki dari keluargaku (Ahlulbait) dan namanya seperti namaku akan menjadi pemimpin dunia. Ketika kalian melihat bendera hijau dari arah Khurasan, maka bergabunglah bersama mereka, bagi Imam Allah akan bersama panji-panji yang akan disebut Al-Mahdi.”

Terakhir dan ini penting: Ahmad bin Ishaq Al-Qummi adalah seorang sahabat besar dari Imam Kesebelas, Imam Hasan Askari as. Pada tanggal 9 Rabiul Awal, Muhammad Hamadani dan Yahya Baghdadi datang mengunjunginya dan diberi tahu bahwa Ahmad sedang sibuk melakukan ghusl (mandi) pada hari itu. Ketika mereka menanyakan tentang mandi apa itu, mereka diberi tahu bahwa Ahmad mendengar dari Imam Kesepuluh, Imam Hadi as., yang berkata: “Tanggal 9 Rabiul Awal adalah hari raya. Inilah hari raya besar kita dan hari raya pengikut kami.”

Setelah melakukan mandi, Ahmad bin Ishaq Al-Qummi mengatakan kepada tamunya, “Saya telah melakukan mandi karena hari ini adalah id 9 Rabiul Awal. Saya mengunjungi Imam Hasan Askari pada hari ini dan memperhatikan cincinnya bersinar. Orang-orang di rumahnya mengenakan pakaian baru dan memakai wewangian. Ketika saya menanyakan alasannya, Imam Askari berkata, ‘Hari ini tanggal 9 Rabiul Awal. Inilah hari Id bagi kita dan pengikut kita’.”

Sumber: ezsoftech dan Islamic Insight

Senin, 25 Januari 2010

Hubungan Antara Maturidiyah dan Asya`irah



Sepanjang kesaksian sejarah, pada masa kekhalifahan Muawiyah, umat Islam dikenal dalam dua kelompok, yaitu Alawiyah dan Utsmaniyah. Setelah itu, akibat beberapa peristiwa, di masa Umar bin Abdulaziz (versi pertama), atau di masa kekhalifahan Bani Abbas (versi kedua), istilah Ahlussunnah disematkan kepada Utsmaniyah (para pengikut Utsman), sementara Alawiyah (para pengikut Ali) tetap disebut dengan nama pertama mereka, yaitu Syiah.


Secara umum, umat Islam dibagi menjadi dua kelompok utama: Ahlussunnah dan Syiah.
Ahlussunnah bercabang kepada beberapa mazhab kalam (teologi), yang terpenting di antaranya adalah Mu`tazilah, Ahlul hadits (hadis centris), Asya`irah, Maturidiyah, dan Wahabiyah. Mu`tazilah adalah hasil dari pertentangan antara keyakinan Khawarij dan Murjiah.
Sebelum mazhab kalam Asya`irah dan Maturidiyah muncul, komunitas Ahlussunnah mengikuti dua mazhab Mu`tazilah dan Ahlul hadits atau Hanbaliyah. Akibat pertentangan keyakinan antara Mu`tazilah dan Ahlul hadits, para ulama Ahlussunnah berinisiatif untuk mereformasi mazhab mereka, khususnya untuk menghadapi prinsip-prinsip kalam Mu`tazilah. Buah dari reformasi ini, adalah kemunculan dua mazhab baru bernama Asya`irah dan Maturidiyah. Sehingga di masa ini, istilah Ahlussunnah wal Jama`ah khusus diberikan kepada dua mazhab terakhir ini.
Pendiri mazhab Asya`irah adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Asy`ari. Ia lahir pada tahun 260 H di Bashrah dan wafat tahun 324 H di Baghdad. Sampai usia empat puluh tahun, ia adalah salah satu murid Abu Ali Jubai yang mendukung mazhab Mu`tazilah. Abu Hasan Asy`ari keluar dari mazhab Mu`tazilah pada tahun 300 H. Setelah mengadakan beberapa perbaikan dalam ajaran Ahlul hadits, Abu Hasan Asy`ari mendirikan mazhab baru, yang berlawanan dengan Ahlul hadits dan juga Mu`tazilah. Dalam bidang fikih, Abu Hasan Asy`ari mengikuti mazhab Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian besar pengikutnya juga berkiblat kepada Imam Syafi`i dalam masalah hukum.
Sezaman dengan mazhab Asya`irah, Maturidiyah didirikan oleh Abu Manshur Muhammad bin Muhammad Maturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi.
Ada banyak kesamaan antara dua mazhab ini. Keduanya termasuk dalam aliran Ahlussunnah. Terkait kepemimpinan para khalifah setelah Nabi saw sesuai urutan historis yang telah terjadi, keduanya memiliki pandangan serupa. Juga tak ada perbedaan dalam pandangan mereka terhadap para penguasa Bani Umayah dan Bani Abbas. Dalam semua sisi masalah imamah pun mereka saling sepakat. Keduanya juga sepaham bahwa Allah bisa dilihat tanpa kaif (cara), had (batas), qiyam (berdiri) wa qu`ud (duduk) dan hal-hal sejenisnya. Berbeda dengan Hasyawiyah dan Ahlul hadits yang berpendapat bahwa Allah, seperti selain-Nya, bisa dilihat dengan kaif dan had. Dalam hal kalam Allah (Al-Quran), kedua mazhab ini juga memiliki pandangan sama, yaitu bahwa kalam-Nya memiliki dua tingkatan. Pertama adalah kalam nafsi yang bersifat qadim (dahulu), dan kedua adalah kalam lafdhi (lafal) yang bersifat hadits (baru). Ini adalah pendapat moderat dari kedua mazhab ini, yang berada di antara pendapat Mu`tazilah bahwa kalam Allah hadits secara mutlak, dan pendapat Ahlul hadits bahwa kalam-Nya qadim secara mutlak. Ringkas kata, Asya`irah dan Maturidiyah memiliki banyak kesamaan pandangan dalam masalah akidah. Namun, di saat yang sama, ada pula beberapa perbedaan dalam prinsip-prinsip teologis dua mazhab ini, yang membedakan mereka satu sama lain.
Dalam rangka mereformasi dan mengembangkan akidah Ahlussunnah di hadapan Mu`tazilah, Abu Hasan Asy`ari menempuh jalan Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam banyak kasus, ia memilih sikap jumud `ala dhawahir (hanya memerhatikan sisi lahiriah) dan jarang menggunakan akal dan argumentasi. Namun Abu Manshur Maturidi menjadikan metode Abu Hanifah sebagai dasar teologi Ahlussunnah dan banyak menggunakan argumentasi rasional. Perbedaan mendasar dalam metode ini pula yang memunculkan perbedaan pendapat antara teologi Maturidiyah dan Asya`irah dalam sebagian masalah. Karena itu, metode Maturidiyah lebih jauh dari tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk) dan tajsim (menganggap Tuhan memiliki bentuk seperti materi) serta lebih dekat kepada tanzih (penyucian). Sementara metode Asya`irah lebih condong kepada tasybih dan tajsim.
Parameter utama dalam perbedaan mazhab-mazhab Ahlussunnah adalah masalah husn wa qubh `aqli (baik dan buruk rasional) dan persoalan-persoalan terkait akal dan argumen rasional. Jika Mu`tazilah disebut sebagai simbol husn wa qubh `aqli, maka Maturidiyah berada di tingkat kedua, Asya`irah di tingkat ketiga, sementara Hasyawiyah menolak sepenuhnya masalah husn wa qubh `aqli. Sedangkan Wahabiyah adalah mazhab baru gabungan dari Hasyawiyah dan Hanbaliyah.
Perbedaan-perbedaan antara Maturidiyah dan Asya`irah bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
Terkait sifat-sifat khabariyah (sifat-sifat Alah yang tersebut dalam Al Qur'an, seperti yadullah [tangan Allah] dll), Asya`irah meyakini makna lahiriah ayat tanpa takwil dan tafwidh (menyerahkan maknya kepada Allah), sedangkan Maturidiyah menerima tafwidh dan menolak takwil. Sementara prinsip Mu`tazilah dalam masalah ini adalah menakwilkan sifat-sifat khabariyah.
Asya`irah menganggap makrifat Allah wajib berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, sementara Maturidiyah, seperti halnya Mu`tazilah, berpendapat bahwa kewajiban mengenal Allah bersifat rasional.
Karena Asya`irah mengingkari husn wa qubh `aqli, maka mereka berpendapat bahwa perbuatan Allah tidak berlandaskan tujuan. Namun Maturidiyah mengatakan bahwa perbuatan Allah berasaskan maslahat, sebab mereka menerima konsep husn wa qubh `aqli dalam sebagian tingkatannya.
Asya`irah berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, sementara manusia adalah wadah bagi perbuatan-Nya. Untuk menghindar dari problem jabr (determinasi), mereka mengemukakan solusi ‘kasb’. Maturidiyah menolak tafwidh (manusia bertindak bebas dan menafikan intervensi kekuasaan Tuhan) Mu`tazilah serta jabr Ahlul hadits dan Asya`irah. Mereka berpendapat bahwa meski perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, namun di saat yang sama, ia adalah pelaku dan kasib (hasil) perbuatannya sendiri.
Seperti kaum `Adliyyin, Asya`irah membagi sifat-sifat Allah kepada dzati dan fi`li. Namun Maturidiyah menolak pembagian ini dan menyatakan bahwa semua sifat fi`li-Nya qadim seperti sifat dzati.
Asya`irah mengatakan bahwa Allah mustahil membebankan taklif yang tak mampu dilakukan manusia, sementara Maturidiyah berpendapat sebaliknya.
Asya`irah meyakini bahwa semua yang dilakukan Allah adalah baik, sedangkan Maturidiyah, berdasarkan hukum akal, berpandangan bahwa Dia mustahil berbuat zalim.
Kesimpulannya, meski Asya`irah dan Maturidiyah tergabung dalam kelompok Ahlussunnah dan banyak memiliki kesamaan, namun mereka juga memiliki perbedaan pendapat dalam sebagian masalah.

Abadhiyah: Aliran Islam Yang Nyaris Tak Terdengar



Abadhiyah adalah nama golongan yang memberontak kepada khalifah masa itu (Sayidina Ali bin Abi Thalib) pasca perang Shiffin dan polemik hakamiyah (perihal menjadikan Al-Quran sebagai hakim). Saat itu, Abu Musa Asy`ari sebagai duta Ali dan `Amr bin `Ash sebagai duta Muawiyah, duduk bersama menelaah Al-Quran dan sunah Rasul saw untuk memutuskan kebenaran di pihak Ali atau Muawiyah. Ketika duta Syam menipu duta Irak dan orang-orang Irak sadar mereka telah dikecoh `Amr bin `Ash, mereka memprotes Sayidina Ali lantaran sikap beliau menerima hakamiyah. Mereka lalu membentuk kelompok tersendiri dan melawan Sayidina Ali. Mulanya, jumlah mereka hanya sedikit. Namun, jumlah mereka kian bertambah dari hari ke hari. Akhirnya, mereka berkumpul di suatu tempat bernama Harura. Mereka berperang melawan Sayidina Ali dan menelan kekalahan.


Abadhiyah (atau Ibadhiyah) adalah salah satu kelompok sempalan Khawarij yang berafiliasi kepada Abdullah bin Abadh Tamimi. Kelompok ini adalah salah satu kelompok tertua dalam sejarah Islam. Kendati kelompok ini adalah minoritas di tengah kaum Muslimin, namun aliran ini penting untuk dikaji dari sudut pandang sejarah dan penilaian berbagai mazhab Islam terhadapnya.
Hingga sekarang, komunitas Abadhiyah relatif hidup terpencil dan tidak begitu dikenal. Karena itu, mereka bisa disebut sebagai kelompok yang kurang atau relatif tidak dikenal.
Yang bisa disimpulkan dari sejarah adalah bahwa Abadhiyah muncul pada peristiwa pembangkangan Khawarij terhadap Sayidina Ali di perang Shiffin. Mereka lalu membentuk kelompok independen lantaran pengaruh pandangan-pandangan Abu Bilal Mardas bin Adyah. Mereka memisahkan diri dari kelompok-kelompok ekstrem Khawarij seperti Azariqah. Abu Bilal adalah poros tengah antara kelompok induk Khawarij dan kelompok-kelompok moderat. Pasca syahidnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Khawarij melakukan beberapa pemberontakan terhadap penguasa, salah satunya di bawah kepemimpinan Abu Bilal Mardas di masa Yazid bin Muawiyah. Di tahun 58 H, setelah dibebaskan dari penjara Ubaidillah bin Ziyad, Abu Bilal beserta tiga puluh pengikutnya keluar dari Bashrah dan menuju Ahvaz, atau lebih tepatnya, Asak. Pengikutnya di sana bertambah menjadi 40 orang. Ubaidillah lalu mengutus Aslam bin Zur`ah bersama dua ribu prajurit untuk menghentikan Abu Bilal dan pengikutnya. Sebelum pertempuran dimulai, Abu Bilal berkata kepada musuhnya, ”Kenapa kalian memerangi kami? Kami tidak berbuat kerusakan di muka bumi dan tidak pernah menghunus pedang di hadapan orang lain.” Alhasil, perang tetap terjadi dan 40 orang Khawarij berhasil mengalahkan pasukan Khalifah dan memaksa mereka melarikan diri. Di tahun berikutnya, Ubaidillah mengutus pasukan lain berjumlah 4000 orang untuk menumpas mereka. Pertempuran terjadi di hari Jumat di Darabjard Fars. Mulanya, pasukan Khalifah tidak memperoleh kemajuan. Saat waktu shalat (Jumat) tiba, Abu Bilal mengirim pesan untuk menunda pertempuran demi melaksanakan shalat. Namun, ketika pasukan Khawarij sedang melakukan shalat, pihak musuh menyerbu dan membunuh mereka semua, termasuk Mardas.
Setelah kematian Abu Bilal, Khawarij berkumpul di Bashrah untuk berjihad. Mereka lalu menuju Ahvaz bersama Nafi` bin Arzaq. Namun, kelompok yang tidak setuju melakukan pemberontakan, bersikukuh tinggal di Bashrah di bawah kepemimpinan Abdullah bin Abadh. Abdullah bin Abadh berasal dari kabilah Bani Tamim, atau menurut Thabari, dari Bani Shirm. Dia adalah seorang yang berwawasan dan moderat. Semenjak awal, dia tidak menyetujui sikap ekstrem sebagian Khawarij. Ia memisahkan diri dari mereka dan memilih jalan tengah.
Tidak ada data akurat terkait tanggal kelahiran dan kematian Abdullah bin Abadh. Dia adalah peletak fondasi akidah dan fikih mazhab Abadhiyah. Ia senantiasa diagung-agungkan oleh para pengikutnya. Dalam referensi-referensi Abadhiyah, ia disebut sebagai pembesar kaum, junjungan Muslimin, dan pemuka ahli tahqiq. Yang bisa dipastikan dari peristiwa-peristiwa yang terkait dengan kehidupan Abdullah adalah, setelah terbunuhnya Abu Bilal, Ubaidillah bin Ziyad mengirim pasukan ke Mekkah untuk menumpas habis Khawarij. Kaum Khawarij berjuang mempertahankan Mekkah dan berhasil mengalahkan pasukan Syam. Abdullah bin Abadh juga turut berperan dalam pertempuran ini.
Di abad-abad terdahulu, pengikut Abadhiyah hidup dalam wilayah yang amat luas. Beberapa kelompok dari mereka masih bertahan hingga sekarang. Mereka menetap di Oman, Tanzania (Zanjibar), dan Afrika Utara. Di masa kita sekarang, Abadhiyah adalah mazhab yang dianut mayoritas rakyat dan suku Oman. Kecenderungan masyarakat Oman kepada mazhab Abadhiyah bermula semenjak awal terbentuknya mazhab ini. Pada permulaan gerakan dan perang Khawarij melawan dinasti Bani Umayah, sebagian pemuka kelompok Abadhiyah datang ke Oman. Mereka menyebarkan ajaran Abadhiyah dan memperoleh banyak pengikut. Ketika Jabir bin Zaid diasingkan oleh Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi dari Bashrah ke Oman, penduduk Oman menyambut dakwah Abadhiyah. Sebab, Jabir berasal dari suku Azd yang merupakan suku mayoritas di Oman. Selain itu, pandangan moderat pemimpin Abadhiyah, yaitu Jabir bin Zaid, juga turut mempengaruhi sambutan rakyat Oman.
Terputusnya silsilah dinasti Bani Umayah di tahun 132 H/750 M dan kekacauan di pemerintah pusat, memberi peluang kepada pengikut Abadhiyah di Oman untuk mewujudkan mimpi membentuk pemerintahan. Mereka lalu mengangkat Jalandi bin Mas`ud bin Jaifar bin Jalandi Azdi sebagai imam bagi pengikut Abadhiyah di Oman.
Kelompok-kelompok Abadhiyah
Abadhiyah juga tak lepas dari penyempalan dan perpecahan. Ada beberapa kelompok dengan beragam kecenderungan yang menyempal dari mereka. Penyempalan ini disebabkan perbedaan kultur, politik, dan sosial di antara mereka. Berikut ini beberapa kelompok cabang dari Abadhiyah:
* Wahbiyah: Kelompok ini salah satu dari kelompok-kelompok utama Abadhiyah. Sebagian besar pengikut Abadhiyah berafiliasi kepada kelompok ini.
* Ibrahimiyah: Kelompok ini dinisbatkan kepada seorang penduduk Madinah bernama Ibrahim. Kemunculan kelompok ini bermula dari fatwa Ibrahim terkait dibolehkannya menjual hamba sahaya wanita Muslim kepada orang kafir (selain Abadhiyah). Ia juga melakukan hal serupa terhadap budak wanitanya. Salah satu pengikutnya yang bernama Maimun memprotes dan berpendapat bahwa ini tidak boleh dilakukan. Ibrahim lalu berargumen dengan ayat 275 surah Al-Baqarah bahwa Allah menghalalkan segala bentuk jual-beli. Namun, argumen ini tidak memuaskan Maimun dan ia pun memisahkan diri dari Ibrahim.
* Maimuniyah: Kelompok ini muncul setelah Maimun memisahkan diri dari kelompok Ibrahim.
* Hafshiyah: Mereka adalah pengikut Hafsh bin Abi Miqdam. Fakhrurrazi mengatakan bahwa kunyah (julukan)nya adalah Abu Ja`far. Hafshiyah berpendapat bahwa fondasi iman hanya berupa pengenalan terhadap Allah semata.
* Haritsiyah: Mereka adalah pengikut Harits Abadhi yang menganut pandangan Mu`tazilah dalam masalah takdir.
* Yazidiyah: Para pengikut Yazid bin Anis yang berpendapat bahwa Islam akan dihapus di akhir zaman dan ada nabi yang akan datang dari kaum Ajam (non-Arab).

Asya`irah Dalam Sorotan



Asya`irah adalah sebutan bagi para pengikut Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Asy`ari.
Tolak Ukur utama dalam meneliti proses terbentuknya Asya`irah adalah kinerja mazhab Mu`tazilah. Dijadikannya perubahan sebagai landasan penyingkapan hakikat oleh Mu`tazilah dan perselisihan mereka dengan para fukaha dan ahli hadis, memicu penentangan terhadap Mu`tazilah. Hingga akhirnya, dengan adanya provokasi dari pihak Mutawakkil, kelompok Mu`tazilah dikucilkan dan kemudian lahirlah kelompok moderat, yaitu Asya`irah.


Asya`irah menjadikan dalil rasional (`aqli) sebagai sarana pembuktian ajaran akidah konvensional. Di penghujung abad keenam, ada tiga tokoh yang memilih metode ini, yaitu Abu Al-Hasan Asy`ari di Baghdad, Thahawi (wafat 331 H) di Mesir, dan Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) di Samarqand. Kendati terdapat perbedaan antara mereka, namun mereka sepakat untuk sama-sama menentang Mu`tazilah.
Abu Al-Hasan Asy`ari lahir di Bashrah tahun 260 H. Garis keturunannya sampai kepada Abu Musa Asy`ari, salah seorang sahabat terkenal. Beliau adalah murid Abu Ali Jubai. Beliau mempelajari ilmu kalam (teologi) dari Mu`tazilah dan banyak menimba ilmu dari para fukaha dan ahli hadis. Setelah mengkaji hasil pelajaran terdahulunya, beliau lalu mengkritisi dan menolak sebagian keyakinan dirinya yang diambil dari Mu`tazilah. Di antara keyakinan terdahulunya adalah Al-Quran itu makhluk, kemustahilan melihat Allah, dan menghindari penisbatan keburukan kepada Allah. Kitab Al-Ibanah mengandung kritik-kritik Asy`ari terhadap Mu`tazilah. Dalam kitab itu, ia menyebut Mu`tazilah sebagai kelompok penakwil Al-Quran dan menyatakan kecenderungannya kepada Al-Quran, sunah, dan metode Ahmad bin Hanbal. Ibnu `Asakir menyebut judul 98 kitab yang ditulis Asy`ari hingga tahun 32 H. Empat karyanya yang terkenal adalah:
1. Al-Luma` fi Al-Rad `ala Ahl Al-Zaigh wa Al-Bida`.
2. Al-Ibanah fi Ushul Al-Diyanah.
3. Istihsan Al-Khaudh fi `Ilm Al-Kalam.
4. Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Mushallin.
Tiga kitab pertama seputar ilmu kalam dan kitab keempat tentang pengenalan mazhab-mazhab. Judul yang dipilih untuk kitab keempat menunjukkan sikap moderat dan toleransi Asy`ari.
Pandangan-pandangan Asy`ari
Asy`ari memilih metode `aqli-naqli (kombinasi akal dan riwayat) sebagai metode yang moderat. Misalnya, dalam bab tauhid, ia meyakini penambahan sifat atas zat Allah. Sikap moderat ini tampak dalam pandangan-pandangannya. Secara umum, Asya`irah membuktikan keberadaan Tuhan dengan tiga cara: naqli, `aqli, dan qalbi (hati) yang mirip dengan metode sufi Imam Ghazali dan Fakhrudin Razi. Berdasarkan pendapat Fakhrudin Razi, ada dua argumen filosofis, yaitu Burhan Imkan Al-Ajsam (argumentasi kemungkinan keberadaan materi) dan Imkan Al-A`radh (kemungkinan sifat), serta dua argumen teologis, yaitu Burhan Huduts Al-Ajsam (argumentasi barunya materi) dan Huduts Al-A`radh (barunya sifat), yang semua ini digunakan Asya`irah untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Terkait pengenalan Tuhan, sebagian Mu`tazilah (seperti Juwaini dan Ghazali) berpendapat bahwa hal ini tidak mungkin, sementara sebagian yang lain (seperti Baqalani) berpandangan sebaliknya.
Sifat-sifat Allah: Sifat-sifat Allah ada tiga bagian, yaitu salbi (negatif), tsubuti (tetap), dan ikhbari, yaitu seperti sifat manusia (misalnya, memiliki mata dan tangan). Asy`ari berpendapat bahwa bagian yang ketiga harus diyakini secara bila kaif (tanpa cara dan bagaimana), sebab substansi sifat-sifat ini tidak jelas bagi kita.
Determinasi (Jabr) dan Ikhtiar: Dalam masalah ini, demi menjaga sisi qadha dan qadar Allah serta ikhtiar manusia, Asya`irah mengemukakan pandangan kasb (usaha) yang merupakan istilah Al-Quran. Penafsiran mereka tentang kasb adalah sebagai berikut: Kemampuan (qudrah) ada dua macam, yaitu qadim/lama (yang merupakan milik Allah dan berperan dalam penciptaan perbuatan) dan hadits/baru (yang merupakan milik hamba). Satu-satunya fungsi kemampuan hadits adalah bahwa hamba merasakan kebebasan dalam dirinya. Oleh karena itu, makna kasb al-fi`l adalah berbarengannya penciptaan perbuatan dengan penciptaan kemampuan hadits pada diri manusia. Tentunya, Asy`ari menyebut kasb sendiri sebagai ciptaan Allah. Beliau berpendapat bahwa orang yang melakukan kasb adalah tempat Allah mewujudkan perbuatan-Nya dan orang itu berperan sebagai sarana perbuatan Allah.
Baik dan buruknya perbuatan (husn wa qubh): Asy`ari menyebut tiga makna baik dan buruknya perbuatan dan memilih makna ketiga sebagai makna yang benar. Tiga makna itu adalah:
1. Kesempurnaan dan kekurangan.
2. Mengandung maslahat atau madharat.
3. Layak dipuji atau dicela. Menurutnya, tidak ada perbuatan yang layak dipuji atau dicela secara mandiri. Hanya lantaran perintah dan larangan dari syariat-lah suatu perbuatan layak dipuji atau dicela.
Kosmologi: Meliputi dua masalah:

a) Struktur semesta: Asya`irah condong kepada teori atomisme (jauhar fard). Melalui teori ini, Asya`irah mendapat peluang untuk membuktikan bahwa dunia itu hadits (baru) dan Allah sebagai satu-satunya Zat yang qadim (dahulu).
b) Mortalitas semesta: Asya`irah berpendapat bahwa semesta itu mortal. Mereka menyebut `aradh (sifat) mortal dan jauhar (esensi) imortal. Tujuan dari pandangan ini adalah pembuktian sifat qadim Allah dan peran abadi-Nya dalam segala perkara semesta.
Antropologi: Meliputi dua pandangan:
a) Hakikat manusia adalah jauhar (esensi) jasmani (Juwaini).
b) Hakikat manusia adalah esensi ruhani (Baqalani).
Tokoh-tokoh Asya`irah: Di antaranya adalah: Abu Bakar Baqalani (penulis Al-Tamhid), Imam Ghazali, Imam Al-Haramain Juwaini, Fakhrurrazi, Baidhawi, dan Sayyid Syarif Jurjani.
Mazhab kalam ini memiliki peran penting di tengah kaum Muslimin, kendati di masa Asy`ari sendiri tidak begitu mendapat perhatian khalayak. Pada hakikatnya, Asy`ari dikucilkan lantaran penentangan dan perselisihan sengitnya dengan ahlul hadits (para pendukung hadis). Namun belakangan, khususnya setelah era Imam Al-Haramain Juwaini dan dukungan dinasti Saljuqi di masa Khaje Nidham Al-Mulk Thusi terhadap mazhab ini, Asya`irah menjadi mazhab kalam yang dominan di tengah Ahlussunnah. Hingga sekarang pun, sebagian besar kaum Muslimin Ahlussunah di seluruh dunia, khususnya yang bermazhab Syafi`i dan Hanafi, merujuk dan mengacu kepada Asya`irah dalam masalah-masalah akidah.

Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit: Imam Agung Ahlusunnah



Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (80-150 H) yang terkenal dengan sebutan “Imamul A`dzham” (Imam Agung) adalah salah satu dari ulama besar dan termasuk fukaha terpandang Ahlusunnah. Nama lengkap beliau Abu Hanifah Nu’man Ibn Tsabit bin Nu’man bin Zuthi bin Marzaban Tsabit. Beliau keturunan Iran dan berasal dari kota Kabul. Kakek Abu Hanifah berasal dari mawali (budak yang dimerdekakan). Abu Hanaifah sendiri dilahirkan pada tahun 80 Hijrah di kota Kufah.


Dalam pandangan ulama Ahlusunnah, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit termasuk fukaha terbesar. Menurut keterangan dari Abu Hanifah sendiri, beliau pernah belajar fikih dan ushul kepada Imam Ja’far ash-Shadiq. Tetapi pendapatnya tersebut ditolak oleh kalangan Ahlusunnah. Banyak sekali riwayat yang menceritakan bahwa Abu Hanifah pernah berjumpa dengan Imam Bagir di kota Madinah dimana ayah dari Imam ash Shadiq ini mengatakan bahwa metodologi qiyas yang dianut oleh Abu Hanifah telah menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad.
Pada masa pemerintahan Mansur Abbasi, Abu Hanifah diminta agar menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut. Karena itu, beliau dijebloskan ke penjara dan disiksa. Akhirnya Abu Hanifah wafat di penjara pada tahun 150 H karena racun yang diberikan padanya.
Umumnya para ulama mengenal Abu Hanifah sebagai seorang fuka yang reformis. Berkaitan dengan istinbath hukum syar’i, beliau memiliki metodologi yang berbeda dengan para fukaha lainnya. Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah berkata: “Sekiranya Rasulullah berada di tengah-tengah kita sekarang ini, pastilah beliau akan mengatakan apa yang saya katakan.” Para pengikut Abu Hanifah menamakan mazhab dan metodologinya sebagai mazhab “ahli ra’yu” (mazhab pendapat). Sebab, Abu Hanifah cenderung mengedepankan pendapat pribadinya dimana setelah mengeluarkan suatu fatwa beliau mengatakan: Ini adalah pendapat kami. Abu Hanifah berbeda pendapat dengan para ahli hadis. Beliau lebih mendukung hadis-hadit yang mutawatir saja yang diriwayatkan oleh para tabi’in sedangkan hadis dan khabar mufrad dengan tegas ditolaknya. Seperti yang dituturkan oleh Ibnu Khaldun bahwasanya, dari sekian banyak hadis yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad hanya 17 hadis saja yang diterima/dipercaya oleh Abu Hanifah. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh latarbelakang beliau sebagai ahli kalam dimana hal ini mempengaruhi metodologi fikh yang dikembangkannya. Beliau menerima qiyas dan istihsan sebagai dasar dalam ijtihad.
Secara garis besar bahwa dasar-dasar Mazhab Hanafi bersandar kepada:
1. Al-Qur’an
2. Sunnah Rasulullah saw
3. Fatwa sahabat
4. Qiyas dan ra’yu (pendapat pribadi)
5. Istihsan
6. Ijma’
7. Urf’ (adat/tradisi yang berlaku dikalangan masyarakat Islam).
Berkaitan dengan masalah iman dan kufr (kekafiran), Abu Hanifah berpendapat bahwa keduanya tidak bertambah dan tidak berkurang. Dasar iman adalah tashdiq (pembenaran), sedangkan dasar kekafiran adalah inkar (pengingkaran). Dalam kajian jab’r dan ikhtiar, beliau berkeyakinan bahwa manusia itu bebas untuk beramal. Abu Hanifah memperhatikan sumber perbuatan manusia dimana dalam hal ini beliau menyatakan: “Dalam kaitannya dengan qadha dan qadar, perbuatan manusia seperti pantulan cahaya matahari yang kembali ke matahari itu sendiri.” Di antara ciri khas fatwa yang dikeluarkan Abu Hanifah yang dicatat oleh para peneliti dan para fukaha adalah transparansi, ketegasan dan toleransi.
Dalam perkembangannya Abu Hanifah memiliki banyak sekali murid, diantara murid-muridnya; Zafar bin Hudail, Dawud ath-Thai, Abu Yusuf Qadhi’, Abu Muthi Balhi, Muhammad bin Hasan Syaibani, Asad bin Amr Bajli, Hasan bin Ziyad Lu’lui dan putranya Humad bin Abu Hanifah, Abdullah bin Mubarak, Jarud Naisaburi, Abdul Karim Jarjoni, Abu Na’im dan Waki’.

Adapun karya-karyanya seperti dalam ilmu hadis kitab “Musnad” yang dikumpulkan oleh murid-muridnya; “al-Maharij” dalam bidang fikih yang merupakan periwayatan Abu Yusuf dari beliau. Sebagian orang menisbatkan beberapa kitab yang salah kaprah kepada Abu Hanifah, diantaranya “Fiqh Akbar” yang menjelaskan akidah asli Abu Hanifah, “al-A’lim wal Muta’alim” dan “Fiqh al Absath”.
Dalam bidang fikih, Abu Hanifah menjadi pelopor utama dari empat fukaha Ahlusunnah yang secara tertib nama-nama mereka sebagai berikut ini:

1.
Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit
2.
Malik bin Anas
3.
Muhammad Idris Syafi’i
4.
Muhammad bin Hambal

Pengikut Abu Hanifah terkenal dengan sebutan Mazhab Hanafi.
Berikut ini adalah guru-guru Abu Hanifah:

1.
Akromah Maula Abdullah bin Abbas wafat 104 H
2.
Atho’ bin Abu Rubah wafat 114 H
3.
Na’fi Maula Ibn Umar wafat 117 H
4.
Hamad bin Abu Sulaiman wafat 129 H.

Murid-murid
Diantara murid-muridnya yang ternama antara lain:


1.
Za’far bin Zuhail wafat 158 H
2.
Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Anshari Wafat 182 H
3.
Muhammad bin Hasan Syi’bani wafat 189 H
4.
Dawud Thai’
5.
Asad bin Amr’
6.
Hasan bin Ziyad Lu’lu’i Kufi wafat 204 H.

Referensi :

1.
Dr. Fuad, Abdulnabi, Muhammad (al-Lu’Lui wal Murjan) didalam “Ihya Kutubul ar-Ba’ah”, cetakan Damaskus, tahun terbit 1900 M.
2.
Dr. Syukah, Mustafa, “A’imatul ar-ba’ah”, cetakan Beirut, tahun terbit 1985.
3.
Kamus “Ibn Nadhim”.
4.
Kardari, “Manaqibul Imamul A’dzham”.
5.
Khotib Bagdadi, “Thariqh Bagdad” jilid 13.

Imam Syafi’i Antara Konservatif dan Pembatasan Ruang Lingkup Sunah



Sosok Imam Syafi’i berbeda dengan sebagian besar fukaha dekade abad kedua Hijriah. Bisa dikatakan bahwa fukaha di era itu merupakan produk lokal, namun tidak demikian halnya dengan Imam Syafi’i. Sebab beliau mencari ilmu keliling ke manca negara, seperti Mekkah, Madinah, Yaman dan Irak. Sehingga pelbagai tempat yang dikunjunginya tersebut sedikit-banyak mempengaruhi pemikiran fikih Imam Syafi’i. Dan hal ini tampak pada karya-karya yang ditulisnya.


Dalam perjalanan keduanya ke kota Irak, Imam Syafi’i untuk pertama kalinya merumuskan sistem kaidah fikih yang tersusun secara sistematik dan memiliki metodologi yang bagus; dimana secara umum pendekatan yang dilakukannya sesuai dengan pendekatan tradisional yang digagas ashabul hadis (mereka yang menjadikan sunah Nabi saw sebagai pijakan). Selama di kota Irak beliau juga menulis kitab “ar-Risalah” yang berkaitan dengan pembahasan ilmu ushul (metodologi hukum Islam). Kemudian beliau menyelesaikan karyanya tersebut di Mesir.
Kalau kita membandingkan metodologi yang dikembangkan Imam Syafi’i dengan metodologi fukaha sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, maka Imam Syafi’i menjadikan hadis sebagai cermin utama dalam sistem fikih yang dikembangkannya. Dan bertumpu pada hadis ini sampai berkonsekuensi pada pembatasan merujuk langsung kepada Al Qur’an. Sehingga kemudian fikih Syafi’i terkenal dengan sebutan fikih “hadis sentris”.
Adapun pendapat Imam Syafi’i berkenaan dengan kitab Allah (Al-Qur’an), beliau berpendapat bahwa keumuman makna tekstual Al-Qur’an tidak dapat dijadikan sandaran ketika berhadapan dengan pengkhususan yang ada dalam sunah, tapi pengkhususan yang ada dalam sunah dapat dijadikan dalil dalam memaknai ungkapan umum yang ada dalam Al-Qur’an.
Pemikiran Imam Syafi’i yang meyakini bahwa sunah Nabi merupakan penafsir makna lahiriah Al-Qur’an dalam prakteknya membatasi berpegangan dengan tekstual Al-Qur’an. Bahkan lebih jauh dari masalah pengkhususan, terkadang dalam beberapa contoh, seperti ayat tasmiyah (membaca basmalah saat menyembelih hewan): “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (QS. Al-An’am: 121) Imam Syafi’i dengan berpijak pada hadis Nabi dan menggunakan takwil secara linguistik mengesampingkan makna lahiriah Al-Qur’an dimana beliau membolehkan untuk secara sengaja tidak menyebut basmalah ketika menyembelih binatang.
Masalah hadis-hadis yang kontradiktif atau terkenal dengan istilah “ikhtilaf al hadist”` mendapat tempat yang istimewa dalam fikih Syafi’i. Beliau berusaha keras untuk mengumpulkan antara pelbagai hadis yang bertentangan satu sama lain dan cara untuk mengatasi kontradiksi dijelaskannya secara ringkas dalam kitab “ar risalah” dan secara terperinci dalam “ikhtilaf al hadist”`.
Berkaitan dengan riwayat sahabat dan tabi’in, Imam Syafi’i menganggap—dengan mengemukakan defenisi yang sempit dari sunah—hanya hadis marfu’ yang bisa mewakili sunah. Sikap beliau ini sangat berbeda dengan metode para fukaha sebelumnya seperti Malik dan Auzai dimana mereka bertaklid kepada para sahabat dan bahkan terkadang mengutamakan pendapat/riwayat mereka ketimbang hadis marfu’. Dan dalam hal ini Imam Syafi’i pun tidak mengecualikan siroh (perilaku) Syaikhan.

Dalam kaitannya dengan Ijma, Imam Syafi’i menilai bahwa “ijma seluruh umat” merupakan dalil syar’i yang dapat dijadikan sandaran. Beliau berpendapat bahwa ijma tidak mungkin bertentangan dengan sunah nabawi, namun terkadang beliau menganggap ijma yang menentukan hadis fikih atau menyimpangkan indikasi makna zahirnya ke makna “muawwal” (yang ditakwilkan) merupakan suatu hujah (dalil/bukti).
Berkaitan dengan ijtihad dan qiyas, perlu dicatat di sini bahwa Imam Syafi’i disamping menegaskan bahwa qiyas merupakan suatu hujah (dalil), beliau juga menolak segala bentuk penggunaan pendapat dalam fikih dan pendapat yang dilandasi qiyas. Beliau menilai bahwa ijtihad yang sah sama dengan qiyas. Dalam pandangan teori fikih Syafi’i, qiyas merupakan dalil yang paling rendah dan penggunaannya terbatas hanya pada kasus-kasus darurat dan ketiadaan nas. Namun dalam prakteknya, Imam Syafi’i terkenal sebagai pengguna qiyas sebagaimana halnya Abu Hanifah yang terkenal memiliki pendapat yang dipengaruhi secara kental oleh penalaran. Dalam kaitannya dengan istihsan, beliau mengkritik keras metode istihsan dalam ucapannya yang terkenal: “Barangsiapa melakukan istihsan maka sesungguhnya ia telah menetapkan sebuah syariat.”

Potret Imam Syafi'i


Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i yang kemudian terkenal dengan nama Imam asy-Syafi’i adalah pendiri dan pemimpin Mazhab Syafi’i dan Imam ketiga dalam mazhab Ahlusunnah. Nasab beliau sampai kepada Hasyim bin Abdul Muthalib kemenakan dari Hasyim bin ‘Abdu Manaf yang dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin Saib yang hidup sezaman dengan Rasulullah saw.

Kebanyakan ahli sejarah mencatat bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di kota Gaza, Palestina, namun ada juga yang berpendapat bahwa beliau lahir di Asqalan. Ada juga yang mengatakan Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H di Yaman dimana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Ahlusunnah yang bernama Imam Abu Hanifah.

Sejak kecil Syafi’i telah kehilangan ayahnya. Kala itu beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan serba kekurangan. Imam Syafi’i mempelajari fikih dan hadis ketika di Mekkah dan untuk beberapa waktu beliau juga belajar syair, sastra bahasa (lughat) dan nahwu di Yaman. Sampai pada suatu waktu atas saran Mus’ab bin Abdullah bin Zubair, beliau pergi ke Madinah untuk menekuni ilmu hadis dan fikih. Diusianya yang relatif muda (sekitar 20 tahunan), beliau telah belajar kepada Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki.

Imam Syafi’i menuturkan masa lalunya seperti ini: Sewaktu saya belajar, guru saya mengajarkan kepada saya tentang Al-Qur’an dan saya pun menghafalnya. Saya ingat waktu itu guru saya pernah berkata: ‘Tidak halal bagi saya sekiranya mengambil imbalan dari kamu.” Dengan alasan tersebut, akhirnya saya meninggalkan guru tersebut. Sejak itu saya mengumpulkan potongan tembikar, kulit dan pelepah kurma yang agak besar sebagai sarana yang saya pakai untuk menuliskan hadis. Akhirnya, saya pergi ke Mekkah. Aku tinggal bersama kabilah Hudail yang terkenal dengan kefasihannya selama 17 tahun. Setiap kali mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain, aku pun mengikuti jejak mereka. Saat aku pulang ke Mekkah, aku telah menguasai banyak sekali disiplin ilmu. Waktu itu aku bertemu dengan salah seorang pengikut Zubair lalu salah seorang dari mereka berkata kepadaku: “Sangat berat bagiku melihat Anda yang begitu jenius dan fasih namun Anda tidak mempelajari fikih.” Tak lama setelah itu, mereka membawaku ke tempat Imam Malik.

Saya telah memiliki buku “Al-Muwatho’” Imam Malik dan cuma dalam waktu sembilan hari aku telah mempelajarinya. Kemudian saya pergi ke Madinah untuk belajar dan menghadiri majlis taklim Imam Malik.”

Imam Syafi’i tetap tinggal di kota Madinah sampai saat wafatnya Malik bin Anas. Kemudian beliau pergi ke Yaman dan beliau menghabiskan aktivitasnya di sana. Penguasa Yaman pada waktu itu seorang yang zalim dan bekerja sama dengan pemerintahan Harun ar-Rasyid, Khalifah Abassiyah. Dalam kondisi seperti itu, penguasa menangkap Imam Syafi’i dengan alasan dikhawatirkan beliau akan memberontak bersama Alawiyyin (keturunan Ali bin Abi Thalib) lalu beliau dibawa kepada Harun ar-Rasyid, tetapi Harun ar-Rasyid membebaskannya.

Muhammad bin Idris untuk beberapa waktu pergi ke Mesir dan kemudian pada tahun 195 H beliau mendatangi Bagdad dan mengajar disana. Setelah dua tahun tinggal di Bagdad, beliau kembali ke Mekkah. Tak lama setelah itu, beliau pergi lagi ke kota Bagdad dan dalam waktu yang cukup singkat tinggal di Bagdad. Pada tahun 200 H di penghujung bulan Rajab di usia 54 tahun beliau meninggal dunia di Mesir. Tempat pemakamannya di Bani Abdul Hakam berdekatan dengan makamnya para syuhada dan menjadi tempat ziarah kaum Muslimin, khususnya kalangan Ahlusunnah.

Salah satu murid Imam Syafi’i yang terkenal adalah Ahmad bin Hanbal, pendiri Mazhab Hanbali.

Karya-karya Imam Syafi’i

Imam Syafi’i memiliki banyak sekali karya berharga, di antaranya adalah:

1. Al-Umm

2. Musnad as-Syafi’i

3. As-Sunnan

4. Kitab Thaharah

5. Kitab Istiqbal Qiblah

6. Kitab Ijab al-jum’ah

7. Sholatul ‘Idain

8. Sholatul Khusuf

9. Manasik al Kabir

10. Kitab Risalah Jadid

11. Kitab Ikhtilaf Hadist

12. Kitab Syahadat

13. Kitab Dhahaya

14. Kitab Kasril Ard

Berhubung pusat pengajaran beliau berada di kota Bagdad dan Kairo, maka melalui dua kota tersebut secara perlahan Mazhab Syafi’i disebarkan oleh murid-muridnya ke negeri-negeri Islam lainnya, seperti Syam, Khurasan dan Mawara’u Nahr. Tetapi pada abad ke-5 dan ke-6 terjadi konflik keras antara para pengikut Syafi’i dan pengikut Hanafi di Bagdad dan juga pengikut Syafi’i dan Hanafi di Isfahan. Begitu juga para pengikut Syafi’i sempat bentrok dengan dengan para pengikut Syiah dan Hanafi pada zaman Yaqut dimana setelah itu mereka menguasai kota Rei.

Mazhab Syafi’i lebih dikenal dengan perpanduan antara ahli qiyas dan ahli hadis. Mazhab Syafi’i sekarang tersebar di Mesir, Afrika Timur, Afrika Selatan, Arab Saudi bagian Barat dan Selatan, Indonesia, sebagian dari Palestina dan sebagian dari Asia Tengah, khususnya kawasan Kurdistan.

Di antara ulama-ulama pengiku Mazhab Syafi’i yang terkenal adalah: Nasai’, Abu Hasan Asy’ari, Abu Ishaq Shirazi, Imamul Haramain, Abu Hamid Ghazali, dan Imam Rafi’i.

Minggu, 24 Januari 2010

Problema Kontemporer Dunia Islam



nabi ulul azmi menabuh gendrang dakwah untuk pertama kalinya, saat itu pula mereka menghadapi berbagai kendala dan konspirasi dari para pemuka orang-orang kafir dan penentang hak-hak manusia, Masalah ini menandai dimulainya konfrontasi abadi antra front kebenaran dan kebatilan sepanjang sejarah dimana hal ini tak dapat dihindari, kapan pun dan dimana pun. Namun perlu dicatat di sini bahwa tak ada satu pun dari agama samawi dan para pembawa pesannya yang menghadapi cobaan begitu berat dan pedih seberat dan sepedih apa yang dirasakan oleh Islam dan Nabi Muhammad saw. Berkaitan dengan hal ini, Nabi Muhammad saw bersabda: “Tidak ada satu nabi pun yang disakiti sebagaimana aku disakiti.”1


Sejak Nabi saw mendeklarasikan pesan: “Katakanlah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, niscaya kalian selamat” lalu beliau berdakwah secara terang-terangan, para pemuka kafir membentuk kekuatan dan front bersama untuk menghadapi dakwah ini dan mereka selalu berusaha untuk melenyapkannya. Dengan menutup mata atas semua perbedaan internal yang ada di antara mereka sendiri, pelbagai kekuatan batil hanya memfokuskan pada tujuan bersama mereka, yaitu mencegah tersebarnya pesan Islam ini dan kemudian menghancurkannya.
Salah satu perang yang dikobarkan untuk menentang kaum Muslimin adalah peperangan yang terkenal dengan dengan sebutan perang Ahzab. Dinamakan perang Ahzab karena dalam perang ini seluruh pembesar kafir bersatu padu untuk melenyapkan Islam yang baru dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki.
Keistimewaan dan rahasia apa yang dimiliki ideology Islam sehingga membuat pelbagai kekuatan kebatilan kebakaran jenggot dan meradang seperti ini?
Tak diragukan lagi bahwa pesan abadi dan pembebas "kalimat tauhid-lah” yang menjadikan para pembesar kafir dan para tiran meradang dan gregetan alias gemas. Pesan inilah yang menafikan seluruh tuhan buatan dan pelbagai kekuatan palsu dan hanya mengakui secara resmi keberadaan satu Tuhan, Pencipta semesta alam. Pesan inilah, sebagaimana saat turunnya, mampu menghancurkan semua infrastruktur yang salah,pelbagai tradisi dan budaya sesat yang telah mengakar dalam masyarakat di waktu itu dan membebaskan manusia di zaman itu dari pelbagai rantai yang membelenggu mereka dan melapangkan jalan kebangkitan dan penentangan kelompok tertindas terhadap pemegang kekuasaan yang zalim, hari ini pun bak pelita yang tetap menyala di tangan para pencari jalan kebenaran dan kaum tertindas.
Para tiran di zaman Nabi saw dengan baik menyadari realita ini, yaitu bila agama baru dan budaya yang agung serta pembebas ini dibiarkan tumbuh dan berkembang secara normal dan aman-aman saja di tengah masyarakat, maka ini akan berdampak pada goncangnya singgasana kekuasaan mereka. Dan inilah kenyataan yang sekarang dikhawatirkan oleh dunia kafir dan kekuatan adi daya. Dan masalah inilah yang memicu bersatunya pelbagai kekuatan sesat dan batil sepanjang sejarah manusia guna menentang para nabi dan utusan Allah.
Jadi, dapat dikatakan bahwa bahwa problem antara Islam dan kafir merupakan manifestasi dan lanjutan dari permusuhan antara front kebenaran dan kebatilan. Dan pembahasan yang kami kemukakan sekarang dalam artikel ini berkaitan dengan problematika kontemporer dunia Islam dan mengenal hakikatnya supaya kita dapat menemukan jalan/solusi untuk mengatasinya. Sebab, tanpa mengenal dan menyingkap pelbagai problematika secara benar maka kita tidak mungkin dapat memecahkan dan menyikapinya secara bijak dan dewasa.
Problematika Kontemporer:
Masa yang kami maksudkan di sini dimulai dari sejak jatuhnya Dinasti Usmani di dunia Islam dimana dibagi dalam dua bagian:
1- Masa sebelum Kebangkitan Islam:
Dunia Salib Barat, pasca runtuhnya Dinasti Usmani karena masalah internal yang kala itu disebut dengan "kematian orang yang sakit", yakin sekali bahwa tidak ada lagi kekuatan di dunia Islam yang secara militer mampu berhadapan dengan Barat. Kemudian mereka menyusun program "pelucutan Islam" dari kancah social masyarakat Islam. Program musuh ini bertujuan untuk mengubah identitas dan memutuskan tali hubungan umat Islam dengan latar belakang peradaban dan budaya masa lalunya. Sebab, musuh-musuh Islam sadar benar bahwa komitmen umat Islam terhadap akidah dan ikatan-ikatan keagamaan serta moral adalah hal yang selalu berpotensi mendatangkan lampu merah alias bahaya bagi mereka. Dan berikut ini kami akan menyebutkan beberapa sebab dan factor masalah ini.
Alhasil, untuk mencapai tujuannya di era ini dan mengkikis kekuatan kaum Muslimin, musuh menetapkan aksi-aksi di bawah ini sebagai bagian dari agenda dan program mereka:
a. Membagi kawasan Islam menjadi beberapa negara-negara kecil.
b. Mengangkat penguasa-penguasa yang menjadi boneka mereka.
c. Mengeksploitasi para penulis bayaran untuk tujuan-tujuan berikut:
- Memunculkan instabilitas akidah masyarakat.
- Menyebarkan pemikiran-pemikiran asing.
- Mengubah identitas budaya dan agama Islam.
Memecah dunia Islam menjadi beberapa negara kecil dari satu sisi dan mengangkat penguasa-penguasa boneka untuk mengaktualisasikan program pengaburan/pengkikisan identitas dari satu sisi yang lain termasuk agenda musuh yang sukses dijalankan dengan baik di era ini.
Dalam bidang ini, peran para pemikir yang kebarat-baratan dan para penulis yang secara sadar atau tidak kadang-kadang bergerak sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diprogram oleh musuh tidak kalah daripada peran para penguasa boneka mereka. Para penulis yang telah terkontaminasi dengan aroma weternisasi, seperti Toha Husein dan Salam Musa di Mesir dan dunia Arab, Diya’ Kuk Old di Turki, Sayid Ahmad Khan di India, dan Qasim Amin dan Taqi Zodeh di Iran, dan tentu masih banyak lagi para penulis dan kolomnis koran dan majalah lainnya yang nama mereka dapat disebut, menilai bahwa jalan kemajuan dapat dicapai dengan membebek dan mengikuti pola hidup ala Barat. Mereka menekankan masalah ini dalam pelbagai tulisan, orasi dan konferen-konferensi yang mereka ikuti.
Qasim Amin adalah pendukung keras anti jilbab, karena menurutnya fenomena religius, seperti jilbab kaum wanita mencegah kemajuan umat Islam. Sebagian dari mereka menganggap bahwa mengubah tulisan ke latin adalah salah satu cara lain untuk mendekatkan umat Islam ke kafilah peradaban manusia. Sebagaimana hal ini dipraktekkan secara resmi di Turki. Akibatnya, hubungan masyarakat dengan tulisan Al Qur'an pun terputus.
Meskipun permusuhan ini secara lahiriah menandai adanya peperangan antara tradisi dan modernitas, dan para pemikir ini mengklaim bahwa mereka berusaha untuk mengantarkan masyarakat pada kafilah peradaban manusia, namun sejatinya mereka hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh musuh dalam pertarungan ini; pertarungan yang esensinya adalah permusuhan peradaban dan budaya yang bertujuan untuk memutuskan umat Islam dari latarbelakang peradabannya.
Musuh sangat memahami bahwa selama hubungan masyarakat Islam dengan budaya dan peradaban masa lalu mereka terbangun dengan baik, maka hal itu berpotensi mendatangkan bahaya dan sewaktu-waktu dapat menggerakkan perlawanan dan resisitensi masyarakat terhadap serangan bangsa asing. Musuh mengetahui bahwa budaya ini memiliki benteng yang kokoh yang mampu memberikan pertahanan dan daya tahan khusus di hadapan serangan membabi-buta mereka, dan benteng yang dimaksud adalah akidah (keyakinan). Oleh karena itu, mereka berusaha semaksimal mungkin untuk membuat dan merancang strategi yang kiranya dapat melemahkan faktor-faktor, yang, membuat umat Islam terikat dengan keyakinan dan kepercayaan keagamaan mereka.
Berkaitan dengan hal ini, ada suatu fenomena menarik yang kiranya dapat menjadi bahan renungan kita bersama, yaitu pada tahun 1920 M dan selanjutnya di daerah yang paling strategis di beberapa kawasan dunia Islam yang notabene berbeda secara bahasa, geografi dan mazhab, namun uniknya para pemimpin di pelbagai kawasan ini secara serempak menyatakan perang dan protes keras terhadap pelbagai symbol dan identitas keagamaan dan budaya masyarakat mereka sendiri. ‘Di Turki, pasca tumbangnya Pemerintahan Usmani, Musthafa Kamal Atatruk mengambil tampuk kepemimpinan pada tahun 1923 M, di Iran dikuasai oleh Reza Pahlavi pada tahun 1925 M dan di Afganistan kursi kekuasaan diduduki oleh Amanullah Khan pada tahun 1919 M.
Yang menarik, di tiga kawasan strategis Islam tersebut semua penguasanya melakukan gerakan yang nyaris sama dimana mereka semua berusaha merusak budaya lokal dan mengajak masyarakat untuk mengikuti gaya hidup ala Barat serta memerangi dengan serius segala bentuk fenomena keagamaan, seperti jilbab, masjid, shalat, para alim ulama, tulisan Arab, dan pelbagai fenomena religius dan budaya masyarakat lainnya.
Tak syak lagi, fenomena ini bukanlah suatu kebetulan semata dan juga tidak apat dikatakan bahwa mereka sebenarnya berusaha untuk memerangi kemunduran dan berpikir untuk kemajuan bangsa mereka. Para pemimpin boneka ini dengan sadar sedang memainkan scenario penjajah di negara-negara yang mereka ditugaskan di situ. Oleh karena itu, di era tersebut para penguasa inilah yang menandatangani kontrak/perjanjian politik dan militer yang paling merugikan.
Di seluruh negara dan kawasan Islam lainnya juga terjadi keadaan yang serupa. Termasuk program dan agenda yang diterapkan dengan serius dan sistematis di era ini di pelbagai negeri Islam lainnya adalah mensosialisasikan pelbagai pemikiran dan "isme" yang diimpor dari Timur dan Barat dan menyebarkan paham nasionalisme serta menghidupkan kembali pelbagai adat istiadat dan tradisi kaum Jahiliya dengan asumsi bahwa hal tersebut merupakan latarbelakang nasional.
Kendatipun pelbagai konspirasi ini mendapat perlawanan kuat dan reaksi keras serta efektif para ulama Islam, khususnya ulama Syiah di Iraq dan Iran, namun lemahnya sarana dan alat dakwah dibandingkan dengan sarana yang digunakan pihak musuh dan usaha biadab dan tak manusiawi pihak penguasa dalam mengkikis peran ulama dan menghentikan gerakan-gerakan Islam, menyebabkan budaya impor ini berhasil melakukan penetrasi secara mendalam di banyak dari masyarakat Islam.
Sebagai contoh, di zaman inilah, Jamal Abdu Nasir di Mesir dan kalangan intelektual dan para pembaharu, seperti Sayid Qutub dan Hasan al Banna dibunuh dan gugur sebagai syahid. Bahkan gerakan dan ormas "Ikhwanu Muslimin" pun dibubarkan dan berusaha dihancurkan. Di saat yang sama dan seolah sebagai alternatifnya, dikibarkanlah bendera "Nasionalisme Arab" sebagai satu ideologi. Hal ini menandai bahwa perang budaya yang disertai dengan penghancuran pelbagai gerakan Islam telah ditabuh di Mesir.
Di banyak negara Arab faham nasionalisme berkolaborasi dengan sosialisme. Kolaborasi ini begitu penting karena meskipun nasionalisme Arab mempunyai daya tarik kebangsaan, namun ia sendiri tidak cukup untuk mengisi kekosongan pada program dan pedoman kehidupan. Karena itu, sosialisme disosialisasikan sebagai system politik-sosial yang berdampingan dengan nasionalisme Arab.
Dan dengan penggabungan ini, setelah mensosialisasikan penon-aktifan agama dari panggung social, mereka berusaha untuk mengisi kekosongan ideologi. Di zaman itu, ideologi Sosialisme-Marxsisme yang berseberangan dengan sistem Kapitalisme yang menjadi penguasa dunia tampil sebagai sistem politik revolusioner baru yang memiliki daya tarik tersendiri di kalangan anak-anak muda dan para mahasiswa. Karena alasan ini, di banyak negara Arab, nasionalisme Arab yang memiliki karakter sosialisme berhasil mengait pengikut dan simpatisan,khususnya di kalangan cendekiawan dan generasi muda. Di Iraq, kelompok Komunis—karena dukungan dan lampu hijau dari pemerintah—secara terang-terangan bergabung dengan Materialisme-Marxsisme yang dasar pemikirannya berhaluan pada pengingkaran terhadap metafisik dan Pencipta alam. Dengan kata lain, mereka mengajak masyarakat kepada kekufuran dan ketidakberimanan kepada Tuhan. Masalah ini memunculkan kecaman dan protes keras kalangan agamis, sehingga Ayatullah al-‘Udzma Sayid Muhammad Hakim mengeluarkan fatwa bersejarah yang berlebel “Komunisme adalah kafir dan tak kenal Tuhan” . Fatwa ini berhasil menghentikan kesesatan tersebut. Sebab, dengan keluarnya fatwa ini masyarakat termotivasi untuk melakukan kebangkitan kolektif dimana mereka menyerang pusat kelompok sesat ini, sehingga membuat pemerintah mengubah sikapnya dan menarik dukungannya terhadap gerakan Komunis ini.
Oleh karena itu, dengan mudah dapat dikatakan bahwa tujuan dan agenda musuh di era ini dan di masa sebelum dimulainya kebangkitan Islam secara utama terpusat dan terfokus pada usaha menyingkirkan peran agama dan menumbuhkan pemikiran Materialisme.
Keimanan yang kuat dan kokoh masyarakat terhadap Islam dan pelbagai ajaran abadi Al Qur'an menjadi penghalang melemahnya keterikatan mereka pada Islam, meskipun serangan musuh di era ini bak ombak besar yang menerjang masyarakat Islam dari pelbagai arah, dan kendatipun sekolah, dan universitas, koran, majalah, pena-pena bayaran, dukungan para pengusa boneka berhasil menyebarkan budaya impor dan gaya hidup Barat dan pelbagai asesorisnya di tengah masyarakat.
Tetapi, mereka sama sekali tidak mampu mengubah identitas asli Islam masyarakat dan hubungan mereka dengan Islam. Sebagai contoh, di Turki, meskipun setelah jatuhnya Kerajaan Usmani, penguasa boneka Barat berhasil menjalankan pemerintahan sekularis dan menggunakan pendekatan kekerasan dalam rangka menerapkan program "menyingkirkan Islam", seperti mengubah huruf Arab, melarang wanita memakai jilbab, dan bahkan mengubah model pakaian dan menyebarkan Nasionalisme Turki dst… dll. Namun, setelah beberapa decade berlalu; dengan hanya tersedianya kebebasan untuk menampakkan akidah dan terciptanya kondisi untuk mewujudkan keinginan masyarakat, maka hanya satu kelompok politik yang menang, yaitu yang kendaraan politiknya bernamakan Islam.
Berkaitan dengan masalah Palestina juga demikian halnya. Meskipun para pemimpin bayaran dan para tokoh negara Arab yang pro-Barat dalam beberapa tahun yang lalu berusaha melihat masalah Palestina dari kaca mata non-Islam dan memberikan warna Nasionalisme Arab padanya, namun sekarang kita menyaksikan di Palestina bahwa gerakan politik dan ormas yang berhasil menarik mayoritas suara rakyat adalah gerakan politik dan ormas yang memperkenalkan dirinya dengan syiar jihad.
2. Era Kebangkitan Islam:
Kebangkitan Islam adalah nama dari suatu tahapan dimana kaum Muslimin—setelah berabad-abad terlelap dalam tidur dan kelalaiannya—mengharapkan hegemoni Islam di tengah masyarakat mereka. Era ini identik dengan kembalinya orang-orang Islam pada peradaban terdahulunya dengan tujuan menghidupkannya kembali. Tahapan ini bisa disebut era percaya diri dan penolakan terhadap semua solusi politik-sosial yang diimpor dari Timur dan Barat, dan kembali pada kekuasaan politik Islam. Keberhasilan kebangkitan Islam ini yang mampu mengubah secara luas wajah dunia dimotori oleh para reformis, pembaharu, gerakan-gerakan Islam, pusat-pusat pencerahan yang dipimpin oleh para ulama dan hauzah (sentral-sentral pendidikan tradisional agama) di Irak dan Iran. Tak diragukan lagi, terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi perubahan ini, dan kami akan mengisyaratkan sebagiannya di bawah ini:

1.
Telah tampak dengan jelas ketidakberdayaan semua pemikiran dan "isme" yang diimpor dari Timur dan Barat.
2.
Telah terbongkar kedok para penguasa boneka dan para pengklaim gerakan modernisme sebagai antek-antek penjajah dan masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap kinerja mereka pada sejarah kontemporer.
3.
Tindakan zalim para penguasa boneka yang sangat keterlaluan dan mereka dengan sengaja mengunakan aset dan kekayaan nasional untuk kepentingan penjajah.

Dengan kemenangan Revolusi Islam Iran, seolah ruh dan nyawa baru ditiupkan pada kebangkitan ini. Revolusi Islam Iran menjadi contoh bagi pelbagai gerakan kebebasan untuk semua orang-orang tertindas didunia. Revolusi Islam Iran dengan kepemimpinan Imam Khomaini adalah bak ledakan cahaya di tengah dunia gelap yang melanda orang-orang tertindas.
Musuh awalnya berada dalam kebingungan di hadapan ombak dan perubahan besar ini dan mereka berada dalam ketakutan yang luar biasa. Dan akhirnya, mereka pelan-pelan mulai memikirkan bagaimana menemukan cara dan strategi untuk menghadapi gelombang ombak ini.
Pertama, mereka memaksakan perang melalui partai Ba’ts, Iraq yang dipimpim oleh Saddam Husein Takriti. Kekuatan Adi Daya mendukung Saddam secara penuh (media, logistic, alat militer) untuk menghancurkan Revolusi Islam yang baru berlangsung di Iran. Dengan hancurnya Iran yang jelas-jelas mengangkat bendera Islam maka harapan rakyat terhadap pemerintahan dan kemuliaan Islam di dunia akan sirna. Di samping perang yang dipaksakan, Saddam juga menyiapkan pelbagai ambisi pribadi jahatnya, namun gelombang ombak ini bukan hanya tidak berhenti, tapi justru semakin tumbuh subur dan akarnya semakin kuat. Gaung kebangkitan Islam di Iran justru—hari demi hari—semakin menyebar kemana-mana dan gerakan Islam di Iran semakin matang dan mantap dalam menghadapi pelbagai konspirasi musuh eksternal dan internal.
Sampai sekarang tekad dan perlawanan yang tumbuh dari kekuatan iman masyarakat Muslim Iran menjadi faktor utama yang mampu menjaga cita-cita Imam Khomeini dan pemerintahan Islam dan juga menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi pelbagai konspirasi yang disusun sejak awal Revolusi Islam Iran.
Hari demi hari dunia Islam terus menghadapi pelbagai konspirasi yang dilancarkan para musuh untuk menghambat laju kebangkitan Islam. Konspirasi ini bukan hanya tidak berhenti, bahkan hari demi hari lebih dalam, lebih luas dan lebih sulit.
Untuk generasi yang hidup di era kebangkitan Islam dan Revolusi Islam, sangat penting bagi mereka untuk mengetahui problematika kontemporer dunia Islam dan tujuan buruk segi tiga kejahatan, yaitu kekuatan kekufuran, Zionisme, dan kaum Salibisme internasional. Di samping pengetahuan ini, memahami potensi dan kekuatan perlawanan serta unsur kemenangan di hadapan musuh-musuh bersama akan menjamin basirah (ketajaman mata hati) dan membuat kita yang berada di barisan kebenaran mengenal bagaimana caranya menghadapi front kebatilan dalam peperangan panjang yang sangat menentukan ini.
Esensi Problematika di Era Kebangkitan
Barat dalam analisa dan penelitiannya mengetahui dengan baik bahwa pesan yang selalu menjadikan masyarakat Muslim tetap tegar bak tembok kokoh di hadapan para tiran telah hidup untuk kedua kalinya di hati dan jiwa masyarakat. Bangsa-bangsa Muslim, setelah cukup lama setelah beberapa abad terlelap dalam kelalaian, kini telah kembali pada identitas peradabannya. Pesan yang dimaksud Barat adalah pesan yang pernah disampaikan di masa lalu, tepatnya di zaman turunnya Al Qur'an. Pesan tauhid inilah yang mampu menyatukan masyarakat di hadapan para tiran zaman itu, dan ia juga mampu berhasil membangun revolusi budaya tersukses sepanjang sejarah manusia dan ia dapat membidani lahirnya peradaban yang abadi dan cemerlang dalam sejarah.


Mereka telah merasakan pengalaman pahit di masa lalu yang tak seberapa jauh, yaitu pasca jatuhnya Kerajaan Usmani dimana mereka berpikir bahwa seluruh kekuatan Islam telah habis dan gulung tikar. Dan mereka pun merasakan dahsatnya pengaruh pesan tauhid ini saat serangan Napoleon ke Mesir dan kalahnya kekuatan militernya; saat kemenangan rakyat Irak dan diusirnya kekuatan penjajah Inggris tahun 1920 M; saat gagalnya rencana jahat penjajah Inggris di Iran dalam peristiwa pengharaman tembakau; saat pendirian pemerintah Islam di benua India dengan nama Pakistan; saat terbentuknya gerakan rakyat di Afganistan dan terusirnya tentara Soviet; dan akhirnya saat terbentuknya gerakan jihad di Palestina. Alhasil, musuh telah membuktikan dan melihat sendiri keampuhan pesan ini dalam rentetan kemenangan pelbagai kelompok kecil Islam yang bersenjatakan tidak secanggih musuhnya.


Oleh karena itu, musuh melihat bahwa dirinya berada di depan hidupnya kembali suatu pemikiran yang tak dapat dibendung dengan aksi militer ini, dan juga berada di hadapan pelbagai bangsa yang menginginkan dipraktekkannya dominasi Islam dalam kehidupan social mereka.
Melihat realita tersebut, musuh menyusun strategi baru guna menghadapi fenomena ini, meskipun dalam dua era sebelum dan setelah masa kebangkitan Islam kekuatan Adi Daya menggunakan pendekatan perang budaya. Namun pada masa kebangkitan Islam dan kalahnya rencana penghapusan agama, penyebaran faham Liberalisme, yaitu program pemisahan agama dari kehidupan di-setting untuk menjadi alternatifnya. Sebab, Liberalisme di-make up sebagai kebebasan mutlak dan demokrasi yang di satu sisi mengakui keberadaan agama dan keimanan kepada Tuhan sebatas keyakinan dan adab-adab beribadah, namun di sisi lain ia menegaskan supaya manusia membebaskan diri dari segala ikatan Ilahi dan religius dalam masalah-masalah social dan kehidupan.
Dengan demikian, pada era pertama musuh berusaha memisahkan kaum Muslimin dari keyakinan terhadap Tuhan dan metafisik, sedangkan pada era kedua meskipun pihak Barat mengakui keberadaan metafisik, namun mereka berupaya memisahkan agama dari pentas kehidupan, yakni menentang dan melawan Islam sebagai system politik dan social
Karena alasan inilah, Barat mulai melakukan peperangan yang keras terhadap pemikiran Islam yang berbau politik. Sebab, bila pelbagai bangsa di dunia mengenal pesan kebebasan Islam; dan jika saja penetrasi ajaran-ajaran Islam yang sangat inspiratif dibiarkan begitu saja maka ini sama dengan bunuh diri bagi mereka dan sudah barang tentu akan menjadi ancaman serius bagi kemapanan imperialisme. Jadi, pesan kebangkitan ini membuat musuh terancam justru di dalam rumahnya sendiri. Dan berbeda dengan masa sebelumnya dimana musuh selalu meng-obok-obok Islam di tubuh internal masyarakat Muslim, namun kali ini pesan Islam mampu menembus batas kekuasaan musuh dan memaksanya bertahan di dalam daerah kekuasaan dan pusat kekuatannya.
Adapun strategi yang disusun Barat untuk menghadapi dunia Islam pada era kebangkitan Islam adalah:

1.
Mengkikis peran Islam dari percaturan masyarakat dunia.
2.
Menghapus peran Islam di antara masyarakat Islami sendiri.
3.
Melucuti infrastruktur dan potensi yang dimiliki negara-negara Islam.

Sekarang, kami akan menjabarkan ketiga strategi tersebut di bawah ini:
a. Mengkikis peran Islam dari percaturan masyarakat dunia

1.
Meragukan keberadaan Islam sebagai agama samawi.
2.
Meragukan keotentikan Al Qur'an.
3.
Mendistorsi sejarah dan kehidupan Nabi Muhammad saw yang jelas-jelas diakui kebenarannya oleh seluruh umat Islam.
4.
Memberikan gambaran yang tidak benar berkenaan dengan ajaran Islam dan Al Qur'an, dan mengenalkannya sebagai sumber kekerasan.
5.
Mewujudkan kebencian dan ketegangan di antara kaum Muslimin dan para pengikut agama lainnya, khususnya umat Kristen.
6.
Mengadakan pelbagai seminar ilmiah dan mendirikan pusat penelitian untuk mengenal Islam dengan tujuan untuk mempelajari kelemahan dan kekurangan agama Islam.

b. Menghapus peran Islam di antara masyarakat Islam sendiri dan menyebarkan pemikiran Liberalisme

1.
Menolak kemampuan Islam dalam mengatur kehidupan manusia kontemporer.
2.
Kontradiksi antara hukum social Islam dan modernitas.
3.
Meragukan kembali hal-hal yang sudah pasti dan disepakati dalam Islam, seperti jilbab, hukum waris, hukum peradilan Islam, dan menganggap hokum-hukum tersebut hanya berlaku dan cocok pada masa tertentu.
4.
Melawan otoritas para ulama.
5.
Menolak ijtihad dan taklid dan tidak setuju kepada keharusan spesialisasi dalam hukum Islam.
6.
Menyebarkan penghalalan apa saja dengan dalih kebebasan.

1.
Menanamkan keraguan pada keyakinan beragama para pemuda berkaitan dengan masalah dasar-dasar epistimologi Islam.
2.
Mensosialisasikan pemahaman yang dimpor dari pusat akademi Barat dan menerapkannya pada prinsip-prinsip epistimologi Islam, seperti; pluralisme agama, hermeneutic, menolak kebenaran makna lahiriah Al Qur'an dan hadis dan pembahasan-pembahasan yang serupa dengan ini.
3.
Memerangi prinsip dan nilai akhlak yang mendominasi masyarakat Islam dengan memanfaatkan konvensi internasional dengan judul hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, kebebasan dan lain-lain dan kemudian memaksa negara-negara Islam untuk menjalankan keputusan ini.

c. Melucuti infrastruktur dan potensi yang dimiliki negara-negara Islam


1.
Menyalakan konflik antar pelbagai kaum dan mazhab di dalam negara-negara Islam.
2.
Mendalangi terjadinya krisis dan ketegangan politik di negara-negara Islam melalui antek-antek bayaran mereka.
3.
Mengembangbiakkan teroris dan mewujudkan instabilitas di tengah masyarakat Islam.
4.
Memecah belah di antara negara-negara Islam untuk mencegah persatuan dan keharmonisan hubungan sesama mereka dan menghalangi kemungkinan tercapainya satu kata atau satu sikap di pelbagai lembaga dan organisasi internasional.

1.
Menghancurkan pondasi perekonomian negara-negara Islam dan menghabiskan kekayaan alam anegerah Ilahi pelbagai negara ini dengan tujuan menahan potensi pertumbuhan masyarakat Islam. Strategi ini menggunakan beberapa kiat di bawah ini:

- Menciptakan musuh imajiner dengan maksud memaksa suatu negara untuk membeli senjata dangan modal besar.
- Membuat pelbagai negara sibuk dengan masalah-masalah dalam negeri dan menjadikan mereka terpaksa menaggung biaya yang sangat besar untuk mengontrol keadaan dalam negerinya.
- Memunculkan krisis dengan tujuan untuk menahan laju perkembangan ekonomi.

1.
Melemahkan rasa percaya diri bangsa-bangsa Islam dan menanamkan rasa putus asa di antara mereka dengan tujuan menghilangkan spirit perlawanan dan rasa percaya diri. Dan mematikan segala usaha di bidang independensi unsur bersama pada seluruh tema yang telah kami paparkan di atas, politik, dan mendesain pelbagai problema dan fitnah ini dalam kemasan perang budaya dan peradaban. Sebab, sebagaimana yang telah kami singgung bahwa fenomena kebangkitan Islam tidak akan pernah dicegah oleh musuh melalui pendekatan dan aksi militer.

Referensi:
1-Bihar al-Anwar, juz 39, hal. 56.
sumber:http://www.taghrib.ir/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=161:problema-kontemporer-dunia-islam&catid=35:1388-06-21-07-28-12&Itemid=54

Selasa, 05 Januari 2010

Sekilas Tentang Empat Periode Kehidupan Imam Khomeini r.a



Khomeini adalah nama yang selalu dirndukan oleh jutaan Muslim di seluruh dunia. ‎Tatapannya yang tajam menggetarkan Barat dan Timur. Pemimpin bersahaja ini telah ‎mengubah alur sejarah, bukan hanya Iran, negerinya, tetapi juga seluruh dunia.‎

Imam Khomeini (r.a) lahir pada tanggal 20 Jumada Thaniyah tahun 1321 hijriyah. ‎Kelahirannya bertepatan dengan hari lahir Sy. Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW. ‎Imam Khomeini yang terlahir dengan nama Ruhullah Mostafavi (Musavi) berasal dari ‎keluarga yang dikenal dengan ketinggian ilmu, taqwa dan perjuangan melawan kezaliman. ‎Ayah beliau, Ayatollah Sayid Mostafa Musavi gugur Shahid di tangan berandalan lokal karena ‎pembelaannya terhadap orang-orang yang tertindas. Ketika itu, Ruhullah masih berusia lima ‎bulan. ‎

Sepeninggal ayahnya, Imam Khomeini hidup di bawah bimbingan ibunya (Banu Hajar) yang ‎penyayang, bibinya (Sahebeh Khanoum) yang dikenal bertaqwa dan pemberani, serta ‎pengasuhnya yang saleh (Nane Khavar). Sejak kanak-kanak beliau sudah mempelajari ‎kemahiran berkuda dan menembak.‎

Periode Pertama
Masa kanak-kanak dan remaja dilewati oleh Sayid Ruhullah ketika Iran sedang mengalami ‎gejolak besar politik dan sosial. Sejak masa itu, Ruhullah telah mengenal dari dekat kesulitan ‎yang dialami oleh masyarakat umum. Keterlibatan keluarganya dalam membela hak-hak ‎kaum tertindas membuatnya kelak tumbuh menjadi pejuang hakiki. Ketika masih kanak-kanak ‎ia sering melukiskan perasaannya yang memprihatinkan kondisi masyarakat sekitar dalam ‎corat-coret buku gambarnya. Di masa remaja, perasaan itu semakin dalam ia rasakan. Dalam ‎salah satu bukunya yang ia tulis di masa remaja, Ruhullah yang kala itu masih berusia antara ‎‎9 dan 10 tahun menulis demikian; ‎

Di manakah kecemburuan Islam?‎
Di manakah gerakan kebangsaan?


Kepada bangsa Iran Sayid Ruhullah menulis;‎
Wahai bangsa Iran, Iran terancam petaka
Negeri Daryush dijarah bangsa Nicholas (1‎

Tulisan itu bisa disebut sebagai statemen politik pertama yang dibuat oleh Sayid Ruhullah ‎remaja yang kelak akan memimpin bangsa Iran, sekaligus menunjukkan perhatiannya yang ‎besar kepada nasib negeri dan bangsanya. ‎

Sayid Ruhullah sangat tertarik kepada tokoh-tokoh pejuang. Ketika Mirza Kucik Khan Jangali ‎bangkit berjuang dengan mengangkat senjata, Ruhullah ikut membantu menyampaikan ‎pidato dan membaca syair tentang Mirza Jangali. Ia juga terlibat mengumpulkan dana untuk ‎membantu gerakan Mirza. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk bergabung dengan ‎kelompok Jangali dan bertemu Mirza. (2‎

Pendidikan
Sayid Ruhullah Musavi (Mustafavi) memiliki kecerdasan yang luar biasa. Ia berhasil ‎menguasai berbagai cabang ilmu. Selain ilmu fiqih, ushul dan filsafat, ia juga menguasai irfan. ‎Kedalaman ilmunya diakui oleh para gurunya sendiri. Sayid Ruhullah belajar dari sejumlah ‎guru di kota Khomein, Arak dan Qom. Hanya dalam waktu enam tahun ia berhasil ‎mempelajari banyak cabang ilmu sebelum akhirnya mengukuhkan diri sebagai salah seorang ‎ulama dan pengajar di pusat ilmu Islam di kota Qom. (3‎

Pidato Resmi Pertama
Ketika masih menjadi pelajar agama di kota Arak, Sayid Ruhullah Mosavi yang kala itu ‎berusia 19 tahun untuk pertama kalinya mendapat kesempatan secara resmi berpidato di ‎depan umum. Pidato itu dalam acara memperingati tokoh penting Revolusi Konstitusi ‎Mojtahed Tabatabai. Pidato yang lebih mirip dengan statemen politik itu disampaikan oleh ‎seorang pelajar agama yang masih muda untuk mengenang jasa tokoh perjuangan Revolusi ‎Konstitusi. (4‎

Imam Khomeini mengenai hari itu menceritakan demikian;
‎"...Aku diminta untuk menyampaikan khotbah di atas mimbar. Tawaran itu aku terima dengan ‎baik. Malam itu aku tak banyak tidur, bukan karena takut berbicara di depan umum tetapi ‎karena meyakini bahwa aku bakal berdiri di mimbar milik Rasulullah SAW. Karena itu aku ‎memohon kepada Allah untuk memberikan pertolonganNya kepadaku, agar di antara semua ‎yang ku ucapkan sejak awal hingga akhir, jangan ada kata-kata yang tidak ku yakini. ‎Permohonan ini adalah ikrar antara aku dan Allah. Khotbahku yang pertama kali berlangsung ‎panjang, tapi tidak ada orang yang merasa lelah...Aku mendengar suara sebagian orang ‎yang memuji pidatoku. Terlintas di hatiku perasaan senang mendengar pujian itu. Karena itu ‎undangan kedua dan ketiga untuk berpidato aku tolak dan selama empat tahun setelah itu ‎aku tidak pernah naik ke mimbar dan berkhotbah." (5‎

Periode Kedua
Periode ini dimulai ketika Sayid Ruhulah Mosavi hijrah ke kota suci Qom. Saat itu, Reza Khan ‎Pahlevi, raja pertama dinasti Pahlevi melanjutkan kebijakannya yang anti agama. Di masa ini, ‎Sayid Ruhullah yang sedang sibuk dengan aktivitas belajar, mengajar dan menulis buku, ‎mulai berkenalan dengan para ulama pejuang seperti Ayatollah Haj Agha Nurullah Esfahani, ‎Ayatollah Modarres dan sejumlah nama besar lainnya. Di masa kekuasaan Reza Khan ini ‎tercipta kondisi yang sangat mencekik. Karena itu para ulama berjuang untuk ‎mempertahankan dan melindungi hauzah ilmiah yang merupakan pusat pendidikan agama ‎Islam di Qom. Bisa dikatakan bahwa perjuangan mempertahankan hauzah di zaman itu tidak ‎kalah pentingnya dari membentuk pemerintahan Islam yang kelak terjadi tahun 1979. (6‎

Periode Ketiga
Periode ini dimulai ketika Imam Khomeini (ra) menginjak usia 40 tahun. Saat itu terjadi dua ‎peristiwa besar, pertama berkecamuknya Perang Dunia II dan jatuhnya Iran ke tangan ‎pendudukan asing, dan kedua larinya Reza Khan ke luar negeri dan anaknya yang bernama ‎Mohammad Reza naik ke singgasana kekuasaan. ‎

Melihat kondisi yang ada, Sayid Ruhullah Mosavi merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk ‎melakukan gerakan kebangkitan demi memperbaiki kondisi negeri yang carut marut. Meski ‎telah melakukan banyak usaha, namun kebangkitan yang diinginkan tidak terjadi. Imam ‎Khomeini yang telah dikenal sebagai salah seorang ulama besar di Qom memiliki kecakapan ‎yang seharusnya untuk memimpin sebuah gerakan kebangkitan rakyat. Beliau sudah ‎merasakan 20 tahun kekuasaan Reza Khan dan memiliki wawasan politik yang luas. Pada ‎tanggal 11 Jumada Thani tahun 1363 hijriyah atau sekitar tahun 1944 masehi, Imam ‎Khomeini merilis sebuah statemen yang menyerukan rakyat bangkit dengan memanfaatkan ‎kondisi yang ada. "Hari ini bertiup angin ruhani yang sejuk dan hari ini adalah hari yang paling ‎baik untuk sebuah kebangkitan demi perbaikan. Jika kalian lewatkan kesempatan ini dan ‎tidak bangkit demi ridha Allah serta tidak mengambalikan syiar agama ke posisinya semula, ‎maka besok, orang-orang tak bermoral dan pengumbar Shahwat akan menguasai kalian. ‎Mereka akan mempermainkan kehormatan kalian demi kepentingannya." Demikian bunyi ‎statemen itu. (7‎

Periode Keempat
Periode keempat kehidupan Imam Khomeini berbarengan dengan dua peristiwa duka. ‎Pertama adalah wafatnya Ayatollah al-Udzma Boroujerdi pada tanggal 29 Maret 1961. ‎Dengan wafatnya marji besar Syiah ini, dunia Islam kehilangan salah satu tokoh penting yang ‎membentengi Islam, dan di sisi lain musuh-musuh Islam dan Iran bersuka cita atas kepergian ‎Ayatollah Boroujerdi (ra). Peristiwa kedua adalah wafatnya Ayatollah Kashani, pejuang besar ‎dalam melawan kekuasaan imperialisme Inggris. Nama Ayatollah Kashani cukup membuat ‎hati penguasa Britania Raya dan musuh-musuh Islam bergetar. Wafatnya dua ulama besar ‎ini terjadi seiring dengan dimulainya periode masuknya pengaruh Amerika Serikat (AS) di Iran. ‎

AS gencar menekan rezim Shah Pahlevi untuk memberlakukan perubahan di semua bidang ‎sesuai kemauan Washington. Imam Khomeini menangkap sinyal bahaya besar di balik ‎perombakan gaya AS ini. Langkah-langkah rezim Pahlevi hanya akan membuka jalan bagi ‎AS dan Israel untuk menguasai Iran. Imam Khomeini gencar mengingatkan semua pihak ‎untuk menyadari bahaya dari langkah-langkah Shah. Rezim melakukan pembalasan atas ‎gerakan Imam dengan sebuah tindakan yang brutal. Tentara dan dinas keamanan (SAVAK) ‎tanggal 22 Maret tahun 1963, bertepatan dengan peringatan Shahadah Imam Jafar Shadiq ‎‎(as), dikerahkan untuk menyerang madrasah Feiziyah di Qom, tempat Imam Khomeini ‎mengajar. Banyak pelajar agama yang gugur Shahid dalam peristiwa itu.‎

Peristiwa Feiziyah semakin mendorong Imam Khomeini untuk melanjutkan gerakannya. ‎Memperingati 40 hari gugurnya para pelajar Feiziyah, Imam Khomeini menyampaikan ‎pidatonya yang berapi-api. Beliau mengumumkan tidak akan diam sebelum menundukkan ‎rezim Shah. Malam harinya, Imam Khomeini ditangkap dan dijebloskan ke penjara Qasr. Pagi ‎hari, berita penangkapan Imam Khomeini didengar oleh masyarakat luas di Tehran dan kota-‎kota lainnya. ‎

Massa dalam jumlah besar berbondong-bondong memenuhi jalanan dan bergerak menuju ‎istana Shah. Mereka berjalan dengan meneriakkan yel-yel "Khomeini atau Mati". Dengan ‎slogan ini mereka menuntut rezim untuk membebaskan ulama pejuang ini. Rezim pun ‎melakukan tindakan brutal dengan membantai para demonstran. Korban pun berjatuhan.‎
Kepemimpinan Imam Khomeini dalam gerakan melawan Shah nampaknya reda ketika rezim ‎mengasingkan beliau ke Turki lalu Irak. Namun aktivitas perjuangan Imam Khomeini tidak ‎berhenti meski di pengasingan. Tahun 1978, putra tertua Imam Khomeini bernama Ayatollah ‎Sayid Mostafa Khomeini dalam sebuah peristiwa mencurigakan didapatkan terbujur kaku di ‎kamarnya. Banyak bukti yang mengarah kepada keterlibatan SAVAK dalam pembunuhan ‎Ayatollah Mustafa yang selalu menyertai ayahnya dalam setiap langkah. ‎

Syahidnya Ayatollah Mostafa Khomeini kembali menyulut gelora perjuangan yang selama ini ‎dilakukan di bawah tanah. Gelora itu kian membara setelah koran Ettelaat memuat tulisan ‎artikel yang menghujat Imam Khomeini dan kalangan ulama secara umum. Masyarakat ‎Muslim menggelar aksi demo dan memprotes kekurangajaran koran Ettelaat. Aksi demo itu ‎berujung pada peristiwa pembantaian yang dilakukan tentara terhadap warga kota Qom. ‎Gerakan kebangkitan rakyat silih berganti terjadi di beberapa kota penting, Qom, Tabriz, ‎Isfahan, Yazd, Shiraz dan kota-kota lainnya. Puncak politik tangan besi rezim Shah terjadi ‎pada peristiwa yang dikenal dengan nama peristiwa 17 Shahrivar 1357. ‎

Shah Mohammad Reza Pahlevi yang menyaksikan kondisi Iran sudah tidak memungkinkan ‎baginya untuk menetap lebih lama, segera angkat kaki meninggalkan Iran dan ‎singgasananya. Dengan larinya Shah, Imam Khomeini yang saat itu berada di Paris ‎memutuskan untuk kembali ke Iran. Jutaan warga menyambut kedatangan Imam Khomeini. ‎Tiba di Tehran, Imam langsung menuju Behesht-e Zahra, taman makam para pahlawan ‎perjuangan melawan rezim Shah. Di sana beliau menyampaikan pidatonya yang bersejarah. ‎Imam menyatakan bahwa kekuasaan yang ada saat ini tidak legal. ‎

Tiba tanggal 1 Februari 1979, Imam Khomeini segera memimpin langsung perjuangan rakyat ‎Iran menumbangkan kekuasaan despotik Shah Pahlevi yang sudah di ujung tanduk. Tanggal ‎‎10 Februari, PM Shapour Bakhtiar mengeluarkan undang-undang darurat militer dan jam ‎malam. Imam dalam sebuah amaran singkatnya menyebut jam malam tidak legal. Selama 24 ‎jam terjadi bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara yang masih setia kepada rezim ‎Shah. ‎

Pagi hari tanggal 11 Februari 1979, dengan kaburnya Bakhtiar ke luar negeri, kekuasaan ‎Shah Pahlevi berakhir. Sebagai gantinya berdiri pemerintahan baru dengan sistem Republik ‎Islam. ‎

Sejak kemenangan revolusi Islam hingga 2 Juni 1989 (hari wafat Imam Khomeini) terjadi ‎banyak peristiwa penting di Iran yang menunjukkan betapa Amerika Serikat (AS) memusuhi ‎pemerintahan Islam ini. Kelompok pemberontak sayap kanan atau kiri di Iran yang berusaha ‎menumbangkan pemerintahan Islam didukung secara penuh, baik secara politik maupun ‎financial, oleh Barat dan Timur. Adi daya dunia pun mendorong Saddam Hossein, dikatator ‎Irak untuk menyerang Iran. Perang pun meletus dan berlangsung selama delapan tahun.‎
Berbagai makar dan tipu daya dalam skala besar dilakukan oleh adi daya Barat dan Timur ‎untuk menggulung pemerintahan Islam di Iran. Namun berkat pertolongan Allah dan di bawah ‎kepemimpinan Imam Khomeini, semua tipu daya itu dapat digagalkan dan pemerintahan ‎Islam di Iran tetap berdiri dengan tegaknya. ‎

Tanggal 2 Juni 1989, Imam Khomeini memenuhi panggilan Tuhannya. Rakyat Iran tenggelam ‎dalam duka. Rasa duka juga dirasakan oleh jutaan pencinta Imam Khomeini di seluruh dunia. ‎Imam Khomeini, sang Pemimpin Besar Revolusi Islam telah tiada, namun rakyat Iran tetap ‎teguh memperjuangkan cita-citanya. Salam bagi Imam Khomeini (ra). (taghrib) ‎

Catatan kaki:‎
‎1) Kautsar (Kumpulan Pidato Imam Khomeini r.a), diterbitkan oleh Yayasan Penyusunan ‎dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan pertama, jilid 1 hal: 615 .‎
‎2) Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan ‎Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 hal: 232 - ‎‎236.‎
‎3) Amir Reza Sotoudeh, Pa be Paye Aftab (Kumpulan kisah hidup Imam Khomeini r.a), ‎jilid 1 halaman: 30.‎
‎4) Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan ‎Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 hal: 260, ‎juga Sar Gozashtehaye Vijeh jilid 6 halaman: 11.‎
‎5) Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan ‎Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 hal: 260‎
‎6) Buletin Khabar Nameh yang diterbitkan untiuk seminar Haj Agha Nurullah Esfahani ‎nomor 1 halaman 16 - 17 dan nomor 2 halaman 12 - 13, mengutip pernyataan ‎Ayatollah Pasandideh dan Ayatollah Mazaheri.‎
‎7) Sahifeye Nour, Yayasan Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ‎ketiga, jilid 1 hal: 4 - 6.‎