Senin, 25 Januari 2010

Imam Syafi’i Antara Konservatif dan Pembatasan Ruang Lingkup Sunah



Sosok Imam Syafi’i berbeda dengan sebagian besar fukaha dekade abad kedua Hijriah. Bisa dikatakan bahwa fukaha di era itu merupakan produk lokal, namun tidak demikian halnya dengan Imam Syafi’i. Sebab beliau mencari ilmu keliling ke manca negara, seperti Mekkah, Madinah, Yaman dan Irak. Sehingga pelbagai tempat yang dikunjunginya tersebut sedikit-banyak mempengaruhi pemikiran fikih Imam Syafi’i. Dan hal ini tampak pada karya-karya yang ditulisnya.


Dalam perjalanan keduanya ke kota Irak, Imam Syafi’i untuk pertama kalinya merumuskan sistem kaidah fikih yang tersusun secara sistematik dan memiliki metodologi yang bagus; dimana secara umum pendekatan yang dilakukannya sesuai dengan pendekatan tradisional yang digagas ashabul hadis (mereka yang menjadikan sunah Nabi saw sebagai pijakan). Selama di kota Irak beliau juga menulis kitab “ar-Risalah” yang berkaitan dengan pembahasan ilmu ushul (metodologi hukum Islam). Kemudian beliau menyelesaikan karyanya tersebut di Mesir.
Kalau kita membandingkan metodologi yang dikembangkan Imam Syafi’i dengan metodologi fukaha sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, maka Imam Syafi’i menjadikan hadis sebagai cermin utama dalam sistem fikih yang dikembangkannya. Dan bertumpu pada hadis ini sampai berkonsekuensi pada pembatasan merujuk langsung kepada Al Qur’an. Sehingga kemudian fikih Syafi’i terkenal dengan sebutan fikih “hadis sentris”.
Adapun pendapat Imam Syafi’i berkenaan dengan kitab Allah (Al-Qur’an), beliau berpendapat bahwa keumuman makna tekstual Al-Qur’an tidak dapat dijadikan sandaran ketika berhadapan dengan pengkhususan yang ada dalam sunah, tapi pengkhususan yang ada dalam sunah dapat dijadikan dalil dalam memaknai ungkapan umum yang ada dalam Al-Qur’an.
Pemikiran Imam Syafi’i yang meyakini bahwa sunah Nabi merupakan penafsir makna lahiriah Al-Qur’an dalam prakteknya membatasi berpegangan dengan tekstual Al-Qur’an. Bahkan lebih jauh dari masalah pengkhususan, terkadang dalam beberapa contoh, seperti ayat tasmiyah (membaca basmalah saat menyembelih hewan): “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (QS. Al-An’am: 121) Imam Syafi’i dengan berpijak pada hadis Nabi dan menggunakan takwil secara linguistik mengesampingkan makna lahiriah Al-Qur’an dimana beliau membolehkan untuk secara sengaja tidak menyebut basmalah ketika menyembelih binatang.
Masalah hadis-hadis yang kontradiktif atau terkenal dengan istilah “ikhtilaf al hadist”` mendapat tempat yang istimewa dalam fikih Syafi’i. Beliau berusaha keras untuk mengumpulkan antara pelbagai hadis yang bertentangan satu sama lain dan cara untuk mengatasi kontradiksi dijelaskannya secara ringkas dalam kitab “ar risalah” dan secara terperinci dalam “ikhtilaf al hadist”`.
Berkaitan dengan riwayat sahabat dan tabi’in, Imam Syafi’i menganggap—dengan mengemukakan defenisi yang sempit dari sunah—hanya hadis marfu’ yang bisa mewakili sunah. Sikap beliau ini sangat berbeda dengan metode para fukaha sebelumnya seperti Malik dan Auzai dimana mereka bertaklid kepada para sahabat dan bahkan terkadang mengutamakan pendapat/riwayat mereka ketimbang hadis marfu’. Dan dalam hal ini Imam Syafi’i pun tidak mengecualikan siroh (perilaku) Syaikhan.

Dalam kaitannya dengan Ijma, Imam Syafi’i menilai bahwa “ijma seluruh umat” merupakan dalil syar’i yang dapat dijadikan sandaran. Beliau berpendapat bahwa ijma tidak mungkin bertentangan dengan sunah nabawi, namun terkadang beliau menganggap ijma yang menentukan hadis fikih atau menyimpangkan indikasi makna zahirnya ke makna “muawwal” (yang ditakwilkan) merupakan suatu hujah (dalil/bukti).
Berkaitan dengan ijtihad dan qiyas, perlu dicatat di sini bahwa Imam Syafi’i disamping menegaskan bahwa qiyas merupakan suatu hujah (dalil), beliau juga menolak segala bentuk penggunaan pendapat dalam fikih dan pendapat yang dilandasi qiyas. Beliau menilai bahwa ijtihad yang sah sama dengan qiyas. Dalam pandangan teori fikih Syafi’i, qiyas merupakan dalil yang paling rendah dan penggunaannya terbatas hanya pada kasus-kasus darurat dan ketiadaan nas. Namun dalam prakteknya, Imam Syafi’i terkenal sebagai pengguna qiyas sebagaimana halnya Abu Hanifah yang terkenal memiliki pendapat yang dipengaruhi secara kental oleh penalaran. Dalam kaitannya dengan istihsan, beliau mengkritik keras metode istihsan dalam ucapannya yang terkenal: “Barangsiapa melakukan istihsan maka sesungguhnya ia telah menetapkan sebuah syariat.”

Tidak ada komentar: