Jumat, 01 Januari 2010

Dalam pembahasan seputar Asyura, ada tiga topik utama:

Pertama, pembahasan tentang sebab-sebab dan motif-motif dari kebangkitan Imam Husain as; kenapa Imam Husain bangkit melawan? Yakni, analisis keagamaan, ilmiah dan politis terhadap kebangkitan ini. Dalam hal ini, saya sebelumnya telah menyampaikan uraian dan pandangan saya secara terperinci. Para ulama juga telah mengulas hal-hal ini dengan cermat. Sekarang ini kita tidak akan masuk ke dalam topik ini.

Topik kedua, pembahasan tentang pelajaran-pelajaran Asyura. Ini sebuah topik pembahasan yang hidup, abadi, dan berkesinambungan; tidak khusus pada masa tertentu. Terapkanlah pelajaran Asyura; pelajaran pengorbanan, keberanian, simpati, dan pelajaran kebangkitan demi Allah serta pelajaran cinta. Salah satu dari pelajaran Asyura ialah revolusi besar dan agung ini dimana kalian; bangsa Iran berada di barisan yang mengikuti gerak [Imam] Husain di zaman ini dan keturunan dari Abu Abdillah [Imam] Husain as. ini. [Revolusi] ini sendiri sudah cukup menjadi bagian dari Asyura. Terkait hal ini, saya juga tidak berniat untuk membahasnya sekarang.

Topik ketiga berkaitan dengan pelajaran-pelajaran Asyura yang beberapa tahun yang lalu juga telah saya kemukakan, bahwa Asyura memiliki pelajaran-pelajaran di samping pesan-pesannya. Pembahasan mengenai pelajaran-pelajaran Asyura terkait secara khusus dengan masa dimana Islam berkuasa. Yaitu setidak-tidaknya kita katakan bahwa duduk pembahasan ini khusus terkait dengan masa yang demikian ini; yakni masa kita dan negara kita dimana kita akan memetik pelajaran. Dulu saya pernah mengemukakan masalah ini, bahwa mengapa masyarakat Islam dengan Rasulullah Saw. yang Mulia sebagai porosnya; dengan kecintaan besar mereka kepada beliau; dengan iman kuat mereka kepada beliau; yaitu masyarakat yang penuh dengan semangat dan gelora agama; dengan hukum-hukum yang nanti sedikit banyaknya akan saya bahas; yaitu masyarakat yang telah matang ini; yaitu umat Islam itu sendiri; bahkan sebagian dari mereka adalah orang-orang yang mengalami masa-masa yang dekat dengan masa masa hidup Rasulullah Saw., ternyata setelah lima puluh tahun mereka sampai berbuat untuk bersatu dan membantai anak Rasulullah Saw, itupun dilakukan dengan cara yang sangat kejam?! Adakah kesesatan, keterbelakangan dan langkah balik ke belakang yang lebih parah dari ini?!

Atas dasar inilah Zainab Kubra as (putri Imam Ali as) di pasar kota Kufah telah menyampaikan pidato yang luar biasa itu, "Wahai warga Kufah! Wahai warga penipu dan pengkhianat! Mengapa kalian mesti menangis?!" Ketika warga Kufah menyaksikan kepala suci Imam Husain ditancapkan di atas tombak, melihat anak perempuan Imam Ali as menjadi tawanan dan mereka menyaksikan dari dekat dan merasakan langsung tragedi itu, mereka tersentak dan menangis. Zainab mengatakan, "Mengapa kalian mesti menangis?! Semoga tangisan kalian ini tak akan pernah habis." Lalu beliau mengatakan lagi, "Kalian ini sama dengan perempuan yang mencerai berai tali pintal setelah diikat erat karena kalian telah mencampakkan sumpah setia!" Inilah yang disebut balik ke belakang itu. Di sinilah pelajaran bisa dipetik. Setiap masyarakat Islam akan terancam dengan bahaya ini.

Imam Khomeini yang besar dan pemimpin tercinta kita punya kebanggaan yang besar, yaitu sebuah umat yang patuh pada ucapan-ucapan Rasulullah SAW. Apakah kepribadian orang-orang selain nabi dan selain manusia maksum bisa dibandingkan dengan kepribadian manusia besar ini? Beliau telah menciptakan masyarakat itu, dan mereka sendirilah yang kemudian mengikutinya. Apakah setiap masyarakat Islam punya pengalaman ini? Kalaulah kita petik pelajaran, tentu saja tidak demikian. Akan tetapi, jika kita tidak mengambil pelajaran, ya demikianlah. Di sinilah pelajaran-pelajaran Asyura.

Kita sebagai masyarakat masa ini, Alhamdulillah dengan kemurahan Allah, telah mendapatkan taufik dimana kita tempuh kembali jalan itu, kita hidupkan kembali Islam di dunia, dan kita kibarkan kembali panji Islam dan Al-Quran. Di dunia ini, kebanggaan itu telah menjadi milik kalian. Bangsa ini sampai sekarang juga - yang usianya telah lewat kira-kira dua puluh tahun sejak revolusinya - berdiri kuat dan kokoh di atas jalan ini dan bergerak menempuhnya. Akan tetapi, jika kita tidak teliti; jika kita tidak waspada; jika kita tidak menjaga diri kita tetap berada di jalan ini sebagaimana mestinya, maka bisa jadi nasib buruk itu akan menimpa kita. Di sinilah pelajaran Asyura dipetik.

Kini, saya ingin berbicara sedikit tentang sebuah masalah yang beberapa tahun yang lalu pernah saya memukakan dan, Alhamdulillah, saya telah melihat banyak ulama yang membahasnya, menelitinya, menceramahkannya dan menuliskannya secara panjang lebar. Tentu saja, pembahasan lengkap tentang masalah ini tidak bisa dibahas dalam pidato shalat Jum'at, karena begitu panjangnya. Insya-Allah, jika kita punya umur dan mendapatkan taufik, saya akan membahas masalah ini secara terperinci dengan sekian aspeknya dalam sebuah pertemuan selain forum shalat Jum'at. Pada hari ini, saya ingin memeriksa sekilas saja tentang masalah ini, dan jika Allah memberi taufik, saya akan menerangkan pembahasan yang sepanjang satu buku itu dalam bentuk pidato dan menyuguhkan kepada kalian.

Pertama, kita harus memahami peristiwa ini betapa besarnya lalu kita memeriksa sebab-sebabnya. Jangan sekali-kali orang mengatakan bahwa peristiwa Asyura hanyalah pembantaian dengan beberapa orang yang mati terbunuh. Sebagaimana kita semua membaca doa ini dalam ziarah Asyura, "Sungguh besar bencana ini, sungguh besar dan agung musibah ini!" Bencana ini adalah sebuah peristiwa yang sangat besar. Peristiwa ini luar biasa sekali. Tragedi ini sangat mengguncangkan dan tak ada bandingnya.

Untuk sedikit menerangkan betapa besarnya peristiwa ini, saya akan berbicara tentang tiga periode pendek dari sekian periode kehidupan Abu Abdillah Imam Husain as secara global. Coba kalian amati pribadi ini yang orang mengenalnya selama tiga periode ini; apakah ia bisa memprediksikan bahwa keadaan beliau sebegitu rupa sehingga pada hari Asyura, ada sekelompok orang yang mengaku dari umat datuk beliau mengepungnya, dan dengan begitu mengenaskan mereka membantai beliau, bersama seluruh kawan dan sahabat serta keluarganya lalu menyandera wanita-wanita mereka?

Tiga periode ini; yang pertama adalah periode kehidupan Rasulullah SAW.; yang kedua, periode masa muda [Imam] Husain bin Ali as., yakni periode dua puluh lima tahun sampai pemerintahan Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.]; yang ketiga, periode kekosongan, yaitu dua puluh tahun setelah kesyahidan Amirul Mukminin sampai peristiwa Karbala.

Pada peeriode kehidupan Rasulullah SAW., Imam Husain adalah anak kecil yang bercahaya dan buah hati Rasulullah SAW. Rasulullah memiliki seorang anak perempuan yang bernama Fathimah, dan semua orang pada masa itu tahu bahwa Rasulullah bersabda,
انّ اللَّه ليغضب لغضب فاطمة
"Sesungguhnya Allah pasti murka demi kemurkaan Fathimah."

Jika ada seseorang yang membuat Fathimah marah, maka dia sesungguhnya telah membuat Allah marah kepadanya.
و يرضى لرضاها
"Dan Allah rela karena kerelaan Fathimah",

Jika ada orang yang membuat Fathimah senang, maka dia juga telah membuat Allah senang. Coba kalian perhatikan; bagaimana Rasulullah SAW dengan nada itu berbicara tentang anak perempuan yang sangat mulia ini di hadapan masyarakat dan di hadapan khalayak. Ini jelas bukan masalah yang biasa.

Dalam masyarakat Islam, Rasulullah SAW. telah menyerahkan anak perempuan ini kepada seseorang yang dari segi prestasi berada di tingkat teratas; yaitu Ali bin Abi Thalib as. Dia seorang pemuda pemberani, terhormat, paling mukmin, orang yang paling unggul dari segalanya, paling pemberani dari semuanya, dan berada di segenap medan perang. Dialah orang yang dengan pedangnya telah menegakkan Islam; di manapun semua orang tidak bisa berbuat apa-apa, anak muda ini maju ke depan, membuka kebuntuan dan memecahkan kesulitan. Menantu tercinta dan mulia ini - yang kecintaan kepadanya bukan lantaran hubungan kekeluargaan, akan tetapi karena kebesaran pribadinya - adalah suami dari anak tercinta Rasulullah SAW. Dan lahirlah seorang anak dari mereka. Dia adalah Husain bin Ali as.

Tentu saja, semua pembahasan tadi juga terkait dengan Imam Hasan as, akan tetapi sekarang ini pembahasan saya terfokus pada pribadi Imam Husain as. sebagai yang orang tercinta dari orang-orang yang dicintai Rasulullah Saw.; yaitu sosok figur yang oleh pemimpin agung dunia Islam, pemimpin masyarakat Muslim dan kinasih hati semua orang, sering dipeluk dan dibawa ke masjid. Semua orang tahu betapa anak kecil ini begitu dicintai oleh sosok manusia yang dicintai oleh semua orang. Pernah, ketika Nabi sedang berpidato di atas mimbar, anak kecil ini tersandung hingga jatuh. Melihat itu Rasulullah SAW langsung turun dari mimbar lalu mengendongnya dan menenangkannya. Perhatikanlah bagaimana masalah ini.

Tentang Imam Hasan dan Imam Husain yang berusia enam atau tujuh tahun, Rasulullah SAW bersabda, "Mereka berdua adalah penghulu kaum pemuda surga." Mereka yang masih kanak-kanak, bukanlah anak muda, akan tetapi Rasulullah SAW mengatakan bahwa mereka ini penghulu kaum pemuda surga. Yakni, pada periode enam atau tujuh tahun, ia sudah setingkat anak muda; dia memahami, mengerti, berbuat, bertindak, beradab dan seluruh wujudnya diliputi kemuliaan. Jika pada masa itu orang mengatakan bahwa anak ini akan dibunuh oleh umat Rasulullah SAW sendiri tanpa dosa dan kesalahan, jelas orang-orang tidak akan percaya akan hal ini, sebagaimana Rasulullah SAW. telah mengatakan dan menangis hingga semua orang terheran; apakah itu bisa terjadi?!

Periode kedua adalah periode dua puluh lima tahun setelah wafat Rasulullah SAW. hingga pemerintahan Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.]. Husain tampil muda, mulia, alim dan pemberani. Ia ikut serta dalam berbagai peperangan, terlibat dalam kerja-kerja besar, semua orang mengenalnya sebagai sosok agung. Ketika para penyemat nama besar hadir, semua mata tertuju kepadanya. Dalam setiap keutamaan, di tengah kaum muslimin Mekkah dan Madinah, di setiap tempat dimana Islam menggema, ia bagaikan matahari bersinar cemerlang. Semua orang hormat kepadanya. Para khalifah masa-masa itu hormat kepadanya dan kepada saudaranya; mereka memberikan penghormatan dan pengagungan kepadanya; mereka menyebut namanya dengan begitu besarnya. Dialah figur teladan pemuda di masa itu dan terhormat bagi semua orang. Jika pada masa itu ada seseorang yang mengatakan bahwa anak muda ini akan dibunuh oleh orang-orang itu juga, maka tidak ada satu orangpun yang akan percaya.

Periode ketiga adalah periode setelah kesyahidan Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.]. Yakni, periode keterasingan Ahlul Bait. Imam Hasan dan Imam Husain as. masih berada di Madinah. Dua puluh tahun setelah itu, Imam Husain hidup sebagai imam spiritual bagi segenap kaum Muslimin, mufti besar seluruh umat Islam, dihormati oleh semua orang Muslim, tempat lalu lalang semua penuntut ilmu, tempat pegangan dan perantara semua orang yang ingin mengungkapkan kecintaan mereka kepada Ahlul Bait. Dia pribadi yang dicintai, agung, mulia, suci, kokoh dan alim. Kepada Mu'awiyah, ia menulis surat; surat yang siapa saja menulisnya untuk penguasa manapun, ganjarannya adalah kematian.

Namun, Mu'awiyah menerima surat itu dengan penuh penghormatan. Dia membacanya, menahan rasa dan tidak berkata apa-apa. Jika pada masa-masa itu saja oang mengatakan bahwa dalam waktu dekat, orang terhormat, mulia, agung dan suci ini - sebagai perwujudan Islam dan Al-Quran di hadapan pemandang - mungkin akan dibunuh oleh umat pengikut Al-Quran dan Islam ini, itupun dengan cara yang sangat kejam, maka ini tidak bisa dimengerti oleh siapa saja. Akan tetapi, peristiwa yang tak bisa dipercaya ini; peristiwa aneh dan mengherankan ini ternyata terjadi! Siapakah yang melakukannya? Mereka adalah orang-orang yang datang kepada beliau dan mengungkapkan salam dan kecintaan. Apa artinya ini? Artinya, masyarakat Islam selama lima puluh tahun telah kehilangan spiritualitas dan hakikat Islam. Lahiriyahnya Islam, tapi batinnya sudah rapuh. Di sinilah bahaya. Shalat didirikan, shalat jamaah didirikan, orang-orang juga bernama muslim dan ada sebagian orang yang juga berpihak kepada Ahlul Bait!

Tentu saja harus saya katakan kepada kalian bahwa di seluruh dunia Islam, semua orang menerima Ahlul Bait. Sekarang juga mereka demikian, dan tidak ada seorang pun yang ragu akan hal ini. Kecintaan kepada Ahlul Bait ada di seluruh dunia Islam. Sekarang pun juga masih demikian. Kemana pun kalian sekarang ini pergi, mereka cinta Ahlul Bait. Masjid yang dikaitkan dengan Imam Husain as, dan masjid lain di Kairo yang dikaitkan dengan Sayyidah Zainab; di sana kalian saksikan para peziarah dan penduduk yang berjubel. Orang-orang pergi berziarah ke makam itu; mereka menciuminya dan bertawassul.

Bahkan satu dua tahun sebelum ini, saya mendapatkan sebuah buku baru; bukan klasik, karena masalah ini sudah wajar disinggung dalam buku-buku klasik. Buku itu membahas seputar makna dari Ahlul Bait. Salah seorang penulis kontemporer dari Hijaz telah meneliti dan ia dalam buku ini membuktikan bahwa Ahlul Bait itu adalah Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Bagi kita yang menganut faham Syi'ah, pendapat seperti itu adalah bagian dari darah daging kita, namun saudara muslim selain Syi'ah itu telah menuliskan yang demikian dan dia menyebarkannya. Jadi ada buku ini, dan saya juga memilikinya. Tentunya, buku ini dicetak dalam ribuan naskah dan telah disebarkan.

Oleh karena itu, Ahlul Bait sangat dihormati. Pada masa itu, mereka juga sangat dihormati. Akan tetapi, pada saat yang sama, ketika masyarakat telah kosong dan rapuh, terjadilah peristiwa ini. Lalu, di mana letak pelajaran [dapat dipetik]? Letak pelajaran itu ialah apa yang harus kita lakukan sehingga masyarakat tidak jadi demikian itu. Kita harus memahami apa yang tela terjadi di sana sehingga masyarakat sampai kepada kondisi yang demikian itu. Ini jelas pembahasan yang panjang dan terperinci dan saya hanya akan mengupasnya secara singkat. Pertama-tama, sebagai mukadimah saya katakan bahwa Rasulullah Saw. telah menciptakan sebuah sistem [sosial] yang garis-garis dasarnya terdari dari beberapa hal. Dari garis-garis dasar ini, saya mendapatkan empat hal; pertama, pengetahuan yang jelas dan gamblang; pengetahuan tentang agama; pengetahuan tentang Tuhan; pengetahuan tentang Rasulullah Saw.; pengetahuan tentang alam. Pengetahuan inilah yang kemudian berakhir sampai pada ilmu dan semangat ilmu pengetahuan dan telah membawa masyarakat Islam di abad keempat Hijriah sampai ke puncak peradaban ilmu pengetahuan. Rasulullah Saw. tidak pernah membiarkan ada kekaburan. Dalam hal ini, ada ayat-ayat yang sangat menarik dari Al-Quran dan bukan saatnya di sini untuk saya bahas. Di manapun terjadi ketakjelasan, ada saja satu ayat yang diturunkan untuk menghilangkan ketakjelasan itu.

Garis dasar kedua ialah keadilan mutlak dan tindakan tanpa pandang bulu; keadilan dalam peradilan; keadilan dalam pemanfataan layanan publik dan bukan pribadi, yaitu fasilitas-fasilitas milik semua rakyat dan harus dibagikan kepada mereka secara adil; keadilan dalam menerapkan hukum-hukum Allah; keadilan dalam jabatan, pelimpahan dan penerimaan tugas. Tentu saja, keadilan tidaklah sama dengan penyama-rataan. Ini jangan disalahpahami. Kadangkala, penyamarataan itu kedzaliman. Keadilan yaitu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dan memberikan hak kepada pemiliknya. Itulah keadilan mutlak dan tanpa pandang bulu. Pada masa Rasulullah SAW, tidak ada seorang pun dalam masyarakat Islam yang keluar dari lingkaran keadilan.

[Garis dasar] ketiga ialah penghambaan diri secara sempurna dan semata-mata di hadapan Tuhan Pengatur
, yakni penghambaan diri kepada Allah dalam kerja dan aktifitas personal, penghambaan diri dalam shalat yang harus diniati dengan ‘mendekatkan diri kepada-Nya', hingga penghambaan diri kepada-Nya dalam membangun masyarakat, dalam sistem pemerintahan, sistem kehidupan masyarakat dan hubungan-hubungan sosial rakyat dibangun di atas dasar penghambaan diri kepada Allah. Dan ini sendiri membutuhkan penjelasan dan perincian yang panjang.

[Garis dasar] keempat ialah cinta dan peluapan emosi. Ini juga salah satu ciri dasar masyarakat Islam; cinta kepada Allah; cinta Allah kepada rakyat;
يحبّهم و يحبّونه

"Dia mencintai mereka dan mereka juga mencintai-Nya";
ان اللَّه يحبّ التّوابين و يحبّ المتطهّرين

"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang pentaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci";
قل ان كنتم تحبّون اللَّه فاتّبعونى يحببكم اللَّه
"Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, pasti Allah cinta kepada kalian".

Cinta dan kasih; cinta kepada istri; cinta kepada anak -dimana Anda disunnahkan mencium anak, disunnahkan menunjukkan kecintaan kepada anak, disunnahkan mencintai istri, disunnahkan mencintai saudara-saudara yang muslim - cinta kepada Rasulullah SAW; cinta kepada Ahlul Bait, الاّ المودّة فى القربى "[Aku tidak meminta upah apa pun atas seruan ini] kecuali kecintaan kepada keluargaku."

Rasulullah SAW telah menjelaskan garis-garis ini dan atas dasar garis-garis ini pula beliau membangun masyarakat. Demikian ini pula Rasulullah SAW telah mengatur pemerintahan sepanjang sepuluh tahun. Tentu saja, pembinaan masyarakat adalah kerja bertahap; bukan kerja spontan. Selama sepuluh tahun ini, Rasulullah SAW telah berusaha agar pondasi-pondasi ini kuat dan kokoh serta mengakar dalam. Akan tetapi, supaya beliau dapat mengubah masyarakat yang dulunya berlawanan keras dengan ciri-ciri dasar itu, maka sepuluh tahun ini adalah masa yang sangat singkat.

Masyarakat Jahiliyah berlawanan dengan empat garis dasar itu dalam segala perkara; orang-orang tidak punya pengetahuan apa-apa; mereka hidup dalam kebingungan dan kebodohan; mereka juga tidak punya penghambaan diri [kepada Allah]; yang ada adalah kekuasaan dzalim dan penindasan; juga tidak ada keadilan apa pun; semuanya yang ada adalah kedzaliman; semuanya adalah diskriminasi dimana Amirul Mukminin dalam Nahjul Balaghah - dalam rangka menjelaskan kedzaliman dan diskriminasi di era Jahiliyah - menyampaikan uraian-uraian yang mencengangkan, membongkar fakta hingga nampak bagaikan sebuah lukisan seni,
فى فتن داستهم باخفافها و وطئتهم باظلافها

"Dalam situasi-situasi buruk yang menginjak-injak mereka dengan telapak-telapak kakinya dan menerjang mereka dengan tapal-tapalnya."

Di sana tidak ada cinta. Mereka mengubur anak-anak perempuan mereka sendiri hidup-hidup. Mereka membunuh orang dari kabilah lain tanpa dosa apapun. "Kamu telah membunuh satu orang dari kami, maka kami juga harus membunuh satu orang dari kabilahmu!" Ada atau tidaknya pembunuh, ataukah dia tidak berdosa apa-apa, atau tidak tahu menahu, [yang jelas] itu adalah kedzaliman mutlak, kekejaman mutlak; ketiadaan total cinta dan naluri.

Masyarakat yang tumbuh dalam suasana seperti itu bisa saja dibina dalam sepuluh tahun; diubah menjadi manusia dan dimuslimkan, akan tetapi pembinaan ini tidak bisa menembus ke kedalaman jiwa mereka, apalagi untuk segitu dalamnya merembas hingga bisa pada gilirannya mempengaruhi orang lain.

Kemudian orang-orang menjadi muslim secara berduyun-duyun. Merekalah orang-orang yang tidak pernah melihat Rasulullah SAW; orang-orang yang tidak mengalami sepuluh tahun [pembinaan] itu. Masalah ‘wasiat' yang dipercayai oleh kaum Syi'ah bermula dari sini. Wasiat atau suksesi dan pelantikan Ilahi (kekhalifahan) berawal dari sini; yaitu dalam rangka melanjutkan pembinaan itu. Jelas sekali, wasiat ini bukan seperti wasiat-wasiat biasa di dunia dimana setiap orang meninggal dunia lalu ia mewasiatkan kepada anak lelakinya. Duduk masalahnya ialah setelah ketiadaan Rasulullah SAW, agenda-agenda [pembinaan] beliau harus terus berlanjut.

Sekarang ini, saya tidak ingin mask ke pembahasan-pembahasan teologis. Saya ingin membahas sejarah dan sedikit menganalisis sejarah dan kalian juga menganalisisnya lebih lanjut. Masalah ini juga berkaitan dengan semua orang; tidak khusus hanya dengan orang Syi'ah. Masalah ini berkaitan dengan kaum Syi'ah, Ahli Sunnah dan seluruh golongan Islam. Kalian semua harus peduli dengan masalah ini, karena hal ini penting untuk semua orang.

Adapun sejarah setelah wafat Rasulullah SAW. apa yang telah terjadi sehingga dalam lima puluh tahun ini, masyarakat Islam berbalik dari keadaan ini ke keadaan semula itu? Di sinilah duduk permasalahan, dan di sini pula dokumen-dokumen sejarah harus dirujuk. Tentunya, bangunan [sosial] yang telah didirikan oleh Rasulullah SAW bukanlah sebuah bangunan yang dalam waktu singkat mudah hancur. Oleh karena itu, di awal-awal pasca wafat Rasulullah SAW seperti yang kalian sendiri amati, semuanya - kecuali masalah wasiat itu - tidak berubah; masih ada keadilan yang cukup; masih ada dzikir yang bagus; masih ada penghambaan diri yang bagus. Kalau seseorang mengamati struktur umum masyarakat Islam dalam tahun-tahun pertama (pasca ketidaan Rasulullah SAW), dia akan menemukan bahwa secara lahiriyah, tidak ada sesuatu pun yang berbalik ke belakang. Tentu saja, ada hal-hal yang mungkin berubah, akan tetapi secara dzahir, itu masih menampilkan pondasi-pondasi dan basis-basis yang telah diletakkan oleh Rasulullah SAW. Namun, keadaan ini tidak bertahan. Semakin waktu berlalu, masyarakat Islam turun semakin melemah dan rapuh secara bertahap.

Coba kalian perhatikan: ada sebuah poin penting dalam surah Al-Fatihah dimana saya telah menyampaikannya dalam berbagai pertemuan berkali-kali. Ketika seseorang mengatakan kepada Sang Pencipta alam semesta, اهدنا الصّراط المستقيم, artinya, "Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus", lalu Allah mengartikan ‘jalan yang lurus' ini demikian, صراط الّذين انعمت عليهم "Jalan orang-orang yang kenikmatan diberikan kepada mereka". Banyak kenikmatan yang Allah berikan; Dia memberikan nikmat juga kepada Bani Israil,
يا بنى‏اسرائيل اذكروا نعمتى الّتى انعمت عليكم
"Wahai Bani Israil, ingatlah nikmatku yang telah aku berikan kepadamu."

Nikmat Allah itu bukan khusus milik kaum nabi, orang-orang shaleh dan para syahid,
فاولئك مع الّذين انعم‏اللَّه عليهم من النّبيّين والصّدّيقين والشّهداء والصّالحين

"Maka, mereka itulah bersama orang-orang yang kepada mereka Allah memberikan dari para nabi, orang-orang jujur tulus, para syahid dan orang-orang shaleh!" Mereka ini diberi nikmat, akan tetapi Bani Israil juga diberi nikmat.

Orang-orang yang diberi nikmat itu ada dua golongan: pertama, mereka yang ketika mendapatkan nikmat Allah tidak sesekali membuat Allah marah terhadap mereka, tidak pula mereka menjadi tersesat. Mereka itulah orang yang kita menyebut mereka dengan: "Ya tunjukkanlah jalan mereka kepada kami." "Yang tidak dimurkai" dalam istilah teknis sastranya adalah ajektif untuk "orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka", yaitu bahwa ciri-ciri orang-orang ini adalah "yang tidak dimurkai juga tidak tersesat."

Golongan lain adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, akan tetapi mereka mengubah nikmat Allah dan merusaknya. Oleh karena itulah mereka mendapatkan kemurkaan [Ilahi]; atau orang-orang yang berjalan mengikuti mereka hingga tersesat. Dalam riwayat-riwayat kita disebutkan bahwa maksud dari "yang tidak dimurkai" adalah orang-orang Yahudi, dan ini hanyalah penjelasan referensial (contoh konkret), karena orang Yahudi itu sampai pada masa Nabi Isa AS atau Nabi Musa AS dan para penerusnya melakukan penentangan secara sadar dan sengaja. Adapun "yang tersesat" adalah orang-orang Nasrani, karena mereka ini telah menjadi orang-orang sesat. Kondisi orang Nasrani ketika itu ialah mereka telah tersesat sejak awal, atau setidak-tidaknya, kebanyakan dari mereka dalam kondisi demikian. Sementara orang-orang Muslim telah mendapatkan nikmat. Kenikmatan ini juga didapat oleh ‘orang-orang yang dimurkai" dan "orang-orang tersesat." Oleh karena itu, ketika Imam Husain as gugur sebagai syahid, Imam Ja'far as. dalam sebuah riwayat yang dinukil dari beliau mengatakan,
فلما ان قتل الحسين صلوات‏اللَّه‏عليه اشتدّ غضب اللَّه تعالى على اهل الارض

"Tatkala Husain as telah dibunuh, murka Allah SWT menjadi sangat besar terhadap penduduk bumi." Ya, karena beliau adalah manusia maksum.

Oleh sebab itu, masyarakat yang diberi nikmat oleh Allah tetapi berjalan menuju murka [Ilahi]; maka kita harus mencermati perjalanan mereka. Ini sangat penting; sangat susah; perlu ketelitian yang tinggi. Berikut ini, saya hanya akan membawakan beberapa contoh. Orang-orang awam dan kalangan khusus punya kondisi masing-masing yang khas. Kalangan khusus yang tersesat itu boleh jadi "orang-orang yang dimurkai", dan kalangan awam itu mungkin saja "orang-orang yang tersesat." Sudah barang tentu, dalam kitab-kitab sejarah ada banyak contoh. Dari sekarang sampai berikutnya, saya akan menukil dari kitab sejarah Ibnu Atsir; saya tidak akan menukil dari sumber-sumber Syi'ah, saya pun tidak akan merujuk sumber-sumber sejarah Ahli Sunnah yang riwayat mereka oleh Ahli Sunnah sendiri masih diragukan seperti Ibnu Qutaibah. Ibnu Qutaibah Daynuri dam kitab ‘Al-Imamah wa Al-Siyasah' mencatat hal-hal aneh dan semua itu tidak akan saya singgung.

Ketika seseorang merujuk kitab ‘Kamil Al-Tawarikh' karya Ibnu Atsir, ia akan menemukan betapa karyanya ini mengandung fanatisme Bani Umayyah dan dan Utsmaniyyah. Namun, menurut saya, ada kemungkinan ia bersikap toleran karena alasan-alasan tertentu. Dalam peristiwa ‘Yaum Al-Dar' dimana Khalifah Utsman dibunuh oleh orang-orang Mesir, Kufah, Bashrah, Madinah dan warga kota-kota lainnya, dan setelah membawakan berbagai riwayat, Ibnu Atsir mengatakan bahwa sebab peristiwa ini adalah faktor-faktor ‘yang tidak ingin saya uraikan'. Ketika ia membawakan kejadian sahabat mulia Abu Dzar lalu ia mengatakan bahwa Mu'awiyah menaikkan Abu Dzar ke unta tanpa perbekalan dan dalam keadaan itulah mengirimkannya hingga ke Madinah lalu dibuang ke Rabadzah, di sini ia menuliskan ‘ada hal-hal yang telah terjadi dan saya tidak ingin mencatatnya'. Yang demikian ini entah apakah Ibnu Atsir benar-benar - dalam istilah kita sekarang - punya sistem autosensor, ataukah ia melakukan hal itu karena fanatisme. Yang jelas, ia bukan orang Syi'ah, juga tidak punya hubungan dengan kesyi'ahan. Dia seorang yang bahkan mungkin juga punya hubungan dengan Bani Umayyah dan Utsmaniyyah. Apa yang dari sekarang akan saya sampaikan; semuanya dari Ibnu Atsir ini.

Ada beberapa contoh dari kalangan khusus; apa yang terjadi pada mereka ini selama lima puluh tahun itu sehingga situasinya sampai sedemikian buruknya? Ketika saya mencermati, saya melihat ada goncangan pada empat garis dasar itu; penghambaan diri [kepada Allah], pengetahuan, keadilan dan kecintaan. Saya akan membawakan contoh-contoh ini sesuai dengan redaksi sejarah. Sa'id bin ‘Ash adalah salah satu anggota Bani Ummayah dan dari sanak keluarga Utsman. Setelah Walid bin Uqbah bin Abu Mu'ith - yaitu orang yang kalian saksikan dalam film serial Imam Ali sekaitan dengan pembunuhan penyihir di hadapannya - Sa'id bin ‘Ash naik berkuasa untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh Walid. Dalam ruang pertemuannya, ada seseorang mengatakan, ‘Betapa dermawannya Thalhah itu!' Maksudnya adalah Thalhah bin Ubaidillah. Tentu, dia memberikan sekian uang kepada seseorang, atau dia memberikan kepada orang-orang yang dia kenal. Maka Sa'id membalas, ‘Sesungguhnya orang yang memiliki Nisyastej itu pantas sekali menjadi orang dermawan."

Ada sebuah ladang yang sangat besar bernama Nisyastej di sekitar kota Kufah, dan mungkin Nesyasteh yang kita kenal dalam bahasa kita juga berasal dari nama ini. Di sekitar Kufah, ada daerah yang makmur dan subur. Ladang luas ini milik Thalhah; seorang sahabat Rasulullah SAW di Madinah. Sa'id bin ‘Ash mengatakan,
واللَّه لو ان لى مثله لاعاشكم اللَّه به عيشا رغدا

"Orang yang punya kekayaan seperti ini tentu seorang dermawan. Dan demi Allah, andai saja aku punya sepertinya, aku akan memberikan kelapangan dalam hidup kalian; itu bukanlah apa-apa sehingga kalian mengatakan dia itu orang yang dermawan." Sekarang, kalian bandingkan ini dengan kezuhudan masa Rasulullah SAW dan kezuhudan di awal-awal ketiadaan Rasulullah SAW, dan kalian perhatikan tokoh-tokoh, pemimpin-pempimpin dan para sahabat dalam beberapa tahun itu; bagaimana mereka itu hidup dan dengan mata apa mereka melihat dunia? Lalu, setelah lewat sepuluh atau lima belas tahun, kondisi berakhir sampai sedemikian mengenaskan.

Contoh berikutnya adalah Abu Musa Al-Asy'ari; yaitu Abu Musa yang terkenal dalam kasus ‘Tahkim'. Orang-orang ingin pergi ke medan jihad, lalu ia segera naik mimbar dan mendorong masyarakat untuk berjihad. Ia berbicara banyak tentang keutamaan jihad dan pengorbanan. Banyak dari masyarakat yang tidak punya kuda untuk ditunggangi. Setiap orang harus pergi dengan menunggangi kudanya sendiri. Supaya para pejuang pejalan kaki mau pergi, Abu Musa membesar-besarkan keutamaan jihad berjalan kaki, ‘Berjihad dengan berjalan kaki sungguh mulia, demikian dan demikian keutamaannya!' Sedemikian rupa mulut dan nafas menghangatkan dorongan-dorongan itu hingga ada sekelompok orang dari mereka yang punya kuda mengatakan bahwa kita juga akan berjalan kaki, dan kuda-kuda ini telah membuat kami kehilangan pahala yang banyak; kami ingin pergi berperang dengan berjalan kaki supaya pendapatkan pahala-pahala besar ini!

Ada juga sekelompok orang yang sedikit mau berpikir banyak. Mereka mengatakan, ‘Tunggu dulu! Jangan tergesa-gesa! Kita lihat dulu; seorang pimimpin yang berbicara seperti itu tentang jihad berjalan kaki bagaimana dia sendiri keluar dari rumahnya? Kita perhatikan apakah perbuatannya juga seperti ucapannya ataukah tidak? Setelah itu, kita ambil keputusan berjalan kaki atau menunggang.' Ini redaksi dari Ibnu Atsir. Ia menuliskan, "Ketika Abu Musa keluar dari istananya, ia membawa barang-barang berharga dari istananya di atas empat puluh unta dan menuju ke medan jihad." Pada masa itu, tidak ada bank, dan tidak ada jaminan kelanggengan kekuasaan. Mungkin ketika perang tengah berkecamuk, tiba-tiba berita datang dari khalifah bahwa engkau telah dimakzulkan dari pemerintahan Bashrah. Orang-orang tidak akan membiarkan ia bisa datang lagi dan mengambil semua barang berharga itu dari dalam istana. Jadi, ke manapun pergi, ia terpaksa membawanya. Empat puluh unta adalah barang-barang berharga miliknya yang ia angkut lalu ia keluarkan dari dalam istana lantas dibawa ke medan perang!

Ketika Abu Musa keluar, orang-orang yang pergi jihad dengan berjalan kaki mendekatinya lalu menarik tali kekang kudanya. Mereka mengatakan, "Naikkan kami ke atas kekayaan-kekayaan yang berlebihan ini! Apa yang sedang engkau bawa ini ke medan perang? Kita ini berjalan kaki. Bawa kita naik! Berjalan kakilah sebagaimana engkau membujuk kami untuk berjalan kaki!" Akan tetapi, Abu Musa menyabet mereka dengan cambuknya dan mengatakan, "Pergilah! Tidak ada gunanya kalian berkata seperti itu!" Lalu orang-orang meninggalkannya. Akan tetapi, mereka tentu saja tidak tahan. Mereka datang ke Madinah menemui Utsman dan mengadu kepadanya, kemudian ia pun memecat Abu Musa dari jabatannya. Abu Musa ini adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW; salah satu dari kalangan khusus dan tokoh, namun demikianlah kenyataannya!

Contoh ketiga adalah Sa'ad bin Abi Waqqash. Ia pernah menjadi gubernur di Kufah. Dan ia pernah meminjam dari Baitul Mal (kas negara). Pada masa itu, Baitul Mal tidak berada di tangan penguasa, akan tetapi khalifah mempercayakannya kepada seseorang untuk mengelola urusan-urusan masyarakat. Juga ada satu orang yang diangkat oleh khalifah sebagai kepala bidang kekayaan negara dimana dia bertanggung jawab langsung kepada Khalifah sendiri. Yang menjadi gubernur di Kufah pada masa itu adalah Sa'd bin Abi Waqqash, sedangkan kepala Baitul Mal adalah Abdullah bin Mas'ud; salah seorang sahabat besar Nabi SAW dan berkedudukan tinggi. Sa'd pernah meminjam sejumlah uang dari Baitul Mal - seberapa ribu dinar, saya tidak tahu persis - namun ia tidak menunaikan hutangnya dan tidak mengembalikan penjamannya itu. Maka Abdullah bin Mas'ud menagihnya dan mengatakan, "Bayarlah uang Baitul Mal!" Sa'd bin Abi Waqosh membalas, 'Aku tidak punya uang." Terjadilah perang mulut dan pertikaian di antara mereka. Namun, seorang sahabat Amirul Mukminin [Ali bin Abu Thalib AS] dan orang yang sangat mulia bernama Hasyim bin Utbah bin Abi Waqqash maju merelai mereka dan mengatakan, "Ini tidak baik. Kalian berdua ini sahabat Rasulullah SAW. Masyarakat masih melihat kalian. Jangan bertikai, dan selesaikan perkara ini dengan cara lain! Ketika Abdullah bin Mas'ud melihat tidak bisa berbuat apa-apa, ia pergi keluar.

Bagaimanapun, ia adalah seoang lelaki yang terpercaya. Ia pergi menemui sekelompok masyarakat dan berseru, "Tariklah keluar harta itu dari dalam rumahnya!" Dan ternyata ada harta di dalam rumah Sa'd. Lalu orang-orang mengabarkan kejadian kepada Sa'd. Maka ia juga mengirim sekelompok orang dan memerintahkan, "Pergilah ke sana dan jangan biarkan mereka!" Jadi, karena Sa'd bin Abi Waqqash tidak membayar utangnya ke Baitul Mal, terjadilah pertikaian besar. Padahal, Sa'd bin Abi Waqqash ini adalah salah satu anggota dewan Syura; dia bagian dari enam anggota dewan; dia salah satu dari mereka. Namun, setelah beberapa tahun saja, keadaannya sampai sedemikian ini. Ibnu Atsir menuliskan, "Ini adalah pertikaian pertama yang terjadi di tengah penduduk Kufah", karena adalah salah seorang dari kalangan tokoh hidup demikian dalam mencintai dunia dan ia menunjukkan dirinya demikian secara tak sadar!

Kejadian lainnya, orang-orang Muslim pergi menuju Afrika; yaitu negeri Tunisia dan Maroko. Mereka menaklukannya dan membagikan harta rampasan perang kepada masyarakat dan pasukan perang. Mereka juga harus mengirimkan khumus (seperlima) dari harta rampasan perang itu. Dalam karya Ibnu Atsir itu tercatat bahwa khumus itu sudah banyak. Memang, di sini Ibnu Atsir tidak menukilkan hal ini, akan tetapi di tempat lain, ia membawakan kisah penaklukan ini dan menuliskan bahwa khumus itu banyak dan mereka mengirimkannya ke Madinah. Ketika harta khumus sampai di Madinah, Marwan bin Hakam datang dan mengatakan, "Aku beli semuanya seharga lima ratus ribu dirham." Maka khalifah pun menjualnya kepada Marwan! Lima ratus ribu dirham bukan uang sedikit. Tetapi, harta khumus itu juga masih jauh lebih berharga dari jumlah uang ini. Kejadian ini adalah salah satu kasus yang kemudian masyarakat memprotes khalifah. Ya, khalifah membawakan alasan dan mengatakan, "Ini demi silaturahmi kepada saudara; aku bersilaturahmi kepadanya, karena keadaan hidupnya tidak baik; aku ingin membantunya." Begitulah kalangan tokoh hanyut dalam kekayaan dunia.

Kasus berikutnya, Walid bin Uqbah bin Abu Mu'ith yang diangkat menjadi gubernur di Kufah. Walid bin Uqbah ini yaitu Walid yang biasa kalian kenal sebagai gubernur Kufah setelah Sa'd bin Abi Waqqash. Dia juga dari keluarga Bani Umayyah dan dari kerabat khalifah masa itu. Ketika ia tiba [di Kufah], masyarakat terheran-heran. Ada apa ini? Bagaimana orang ini bisa dijadikan gubernur?! Karena, Walid selain dikenal dengan kedunguannya, kebusukannya juga terkenal. Walid ini adalah orang yang disinggung oleh ayat yang mulia,
ان جاءكم فاسق بنبأ فتبيّنوا
"Jika datang kepada kalian seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka periksalah."

Al-Quran menyebutnya dengan nama 'orang fasik', karena dia membawa sebuah berita sehingga sebagian orang terancam bahaya, kemudian turunlah ayat, "Jika datang kepada kalian seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka periksalah", jika seorang fasik datang membawa sebuah berita, maka selidikilah; jangan percaya pada kata-katanya. Orang fasik itu adalah Walid ini. Dan ini terjadi pada masa Rasulullah SAW.

Coba kalian perhatikan bagaimana norma-norma, nilai-nilai dan perubahan orang-orang! Orang yng pada masa Rasulullah itu dan dalam Al-Quran disebut dengan nama 'orang fasik' dimana Al-Quran ini sendiri yang setiap hari dibaca oleh masyarakat, ternyata dia menjadi gubernur di Kufah! Baik Sa'd bin Abi Waqosh maupun Abdullah bin Mas'ud; mereka berdua sama-sama heran. Ketika melihat Walid, Abdullah bin Mas'ud mengatakan,
ماادرى اصلحت بعدنا ام فسد النّاس

"Aku tidak tahu; apakah setelah kami, kamu sudah menjadi baik atau masyarakat sudah menjadi rusak." Kamu bukan orang baik, masyarakat juga sudah rusak hingga mereka mengutus orang sepertimu ke sebuah kota sebagai gubernur. Sa'd bin Abu Waqqash dari sisi lain juga terheran-heran. Ia mengatakan, "Apakah di hadapanku kamu telah menjadi orang pandai atau kita ini bodoh di hadapanmu", kau yang dulu orang dungu, apakah lalu sekarang sudah jadi orang pintar, ataukah kami sudah sebegitu bodohnya sehingga mereka mengutamakanmu di atas kami?!

Walid berbalik dan menjawabnya, "Jangan merasa kesal, wahai Sa'd! Semua itu tidak ada yang benar; aku tidak pintar, dan kau pun bukan orang bodoh. Akan tetapi, masalahnya hanyalah kerajaan...!" Lihatlah perubahan dari pemerintahan Ilahi ini. Kekhalifahan dan wilayah ilahi diubah menjadi kerajaan dan ini adalah peristiwa yang sangat mengejutkan. [Ia melanjutkan], "... yang hari ini dipegang oleh sekelompok orang, dan pada hari esoknya dipegang oleh kelompok lain." Bagaimanapun, Sa'd bin Abu Waqqash adalah salah seorang sahabat Nabi SAW. Baginya, jawaban ini sangat menusuk telinga; bahwa masalahnya ternyata kerajaan. [Ibnu Atsir menulis], "Maka Sa'd berkata, 'Aku melihat kalian telah mengubah kekhalifahan menjadi kerajaan!'"

Pada suatu saat, khalifah Umar pernah berkata kepada Salman, "Menurutmu, apakah aku ini raja ataukah khalifah?" Salman adalah orang besar dan sangat terpandang. Ia seorang sahabat yang sangat mulia. Pandangan dan penilaiannya sangat penting. Oleh karena itu, Umar pada masa kekhalifahannya melontarkan pertanyaan ini kepadanya. "Maka Salman berkata kepadanya,
ان انت جبيت من ارض المسلمين درهماً او اقلّ او اكثر و وضعته فى غير حقّه فانت ملك لا خليفة
"Jika dari kekayaan masyarakat Islam, engkau mengambil [pajak] kurang dari satu dirham atau lebih dari itu, lalu engkau menyalurkannya bukan pada tempat yang semestinya, maka engkau adalah raja; bukan seorang khalifah."

[Dengan demikian], Salman telah menjelaskan kriterianya.

Dalam riwayat Ibnu Atsir terdapat redaksi, "Maka, Umar pun menangis." Benar-benar sebuah nasihat yang luar biasa. Masalahnya adalah kekhalifahan. Kekhalifahan yang sebuah pemerintahan yang sejalan dengan kecintaan, sejalan dengan keseutuhan dengan rakyat, sejalan dengan kasih sayang terhadap tiap-tiap anggota masyarakat; bukan semata-mata pemerintahan dan kekuasaan. Adapun kerajaan tidaklah demikian. Kerajaan tidak punya urusan dengan rakyat. Raja adalah seorang penguasa dan pemerintah; dia akan melakukan apa saja yang dia inginkan.

Ini semua berkaitan dengan kalangan tokoh. Selama beberapa tahun itu, mereka telah berbuat sampai sedemikian rupa. Tentu, semua ini terjadi pada masa-masa empat khalifah rasyidin dimana mereka sendiri berwaspada, menjaga hukum, mencurahkan perhatian dan sekian tahun lamanya hidup bersama Rasulullah SAW. Seruan Rasulullah sampai saat itu masih menggema di Madinah, dan orang seperti Ali bin Abu Thalib as juga masih hidup di tengah masyarakat. Namun, ketika pemerintahan berpindah ke Syam, hal-hal ini sudah tidak ada lagi bekasnya. Semua ini adalah contoh-contoh kecil dari kalangan tokoh. Tentu saja, jika seseorang meneliti [permasalahan ini] dalam sejarah Ibnu Atsir atau dalam sumber-sumber lain yang diakui oleh semua saudara-saudara Ahli Sunnah kita, maka bukan hanya ratusan contoh, kita bahkan akan mendapatkan ribuan kasus semacam tadi.

Jelas sekali, ketika keadilan sudah tidak ada; ketika penghambaan diri [kepada Allah] sudah tidak ada, dan masyarakat menjadi rapuh, ketika itulah pikiran-pikiran pun menjadi rusak, yaitu dalam masyarakat dimana persoalan meraup kekayaan dan kecenderungan kepada harta duniawi serta keterikatan hati kepada keuntungan-keuntungan dunia sampai pada kondisi-kondisi seperti itu; dalam masyarakat dimana ada yang menjadi penyampai ilmu agama kepada masyarakat adalah orang seperti Ka'ab Al-Ahbar maka demikianlah keadaannya. Ka'ab Al-Ahbar adalah seorang Yahudi yang baru masuk Islam dan tak pernah berjumpa dengan Rasulullah. Pada masa Rasulullah, dia belum masuk Islam, pada masa Abu Bakar juga dia tidak masuk Islam. Baru pada masa Umar, ia menjadi muslim, dan meninggal dunia pada masa Utsman. Sebagian orang menyebutnya dengan nama Ka'ab Al-Akhbar. Ini salah. Yang benar adalah Ka'ab Al-Ahbar. Ahbar bentuk jamak dari hibr yang berarti rabbi Yahudi.

Ka'ab ini adalah rabbi terkemuka di tengah para rabbi Yahudi yang kemudian masuk Islam, lalu ia berbicara tentang ajaran-ajaran Islam. Ketika ia hadir di majelis pertemuan Utsman, Abu Dzarr datang. Dan ketika ia berkata sesuatu, Abu Dzarr marah dan mengatakan, "Rupanya engkau sudah mulai mengajari kita tentang Islam dan hukum-hukumnya! Kita sudah mendengar hukum-hukum ini langsung dari Rasulullah." Ketika kriteria-kriteria hilang; ketika nilai-nilai itu melemah; ketika hal-hal yang tampak itu rapuh; ketika nafsu rakus duniawi dan pemujaan harta berkuasa atas orang-orang - yang telah menghabiskan umur dengan mulianya, melewatkan sekian tahun lamanya tanpa peduli terhadap kenikmatan-kenikmatan duniawi, dan mereka telah mampu menegakkan panji kebesaran - ketika itulah dalam dunia budaya dan pengetahuan, ada seseorang yang menjadi sumber ilmu-ilmu Ilahi dan Islam; orang yang baru saja masuk Islam dan mengatakan apa saja yang dia pahami, bukan apa yang diajarkan Islam, sementara ada sebagian orang yang lebih mengutamakan ucapannya di atas ucapan orang-orang Muslim yang berprestasi.

Ini semua tentang kalangan tokoh. Lalu orang awam, yang ikut dengan kalangan tokoh, bergerak di belakang mereka kapan pun mereka berjalan ke suatu arah. Dosa terbesar para tokoh dan orang-orang terkemuka ialah jika ada penyimpangan yang dilakukan oleh mereka, maka penyimpangan ini mengakibatkan penyelewengan kebanyakan orang. Ketika kalian melihat bendungan-bendungan itu jebol; ketika kalian melihat tindakan-tindakan mereka - yang bertentangan dengan apa yang mereka katakan itu dan bertentangan dengan sabda-sabda yang dinukil dari Rasulullah - itu terus dilakukan, maka masyarakat juga akan berjalan ke arah yang sama. Di samping itu, ada juga kasus yang dilakukan oleh kalangan awam, yaitu seorang gubernur Bashrah pernah menulis surat kepada khalifah, "Kami membagikan pajak-pajak yang kami ambil dari negeri-negeri yang ditaklukkan kepada masyarakat. Akan tetapi, pajak itu sedikit, sedangkan masyarakat di sana banyak. Jadi, beri kami harta seukuran harta yang diberikan kepada dua kota."

Ketika warga Kufah mendengar Gubernur Bashrah - bahwa dia telah mengambil pajak dua kota untuk rakyatnya sendiri - mereka segera pergi menemui gubernur mereka. Siapa gubernur warga Kufah itu? Ammar bin Yasir; manusia yang komit dengan nilai-nilai agama dan teguh bagaikan gunung dan berdiri kokoh. Tentu, ada orang-orang sepertinya; mereka yang tak pernah goyah; tetapi mereka ini tidak banyak. Warga [Kufah] datang kepada Ammar bin Yasir dan mengatakan, "Kamu juga hendaknya menuntut seperti [gubernur Bashrah] itu untuk kami, dan ambillah [pajak] dua negeri untuk kami." Ammar menjawab, "Aku tidak akan berbuat demikian." Mereka lantas bermaksud untuk menyerang Ammar dan menghujatnya. Lalu mereka menulis surat [kepada khalifah]. Akhirnya, khalifah memecat Ammar. Kejadian seperti [Ammar] ini juga dialami oleh Abu Dzarr dan beberapa orang yang lain. Abdullah bin Mas'ud mungkin juga termasuk salah satu dari orang-orang ini. Ketika pemimpin-pemimpin ini tidak dipatuhi, maka masyarakat dari segi nilai dan kriteria menjadi rapuh. Di sinilah letak pentingnya memetik pelajaran.

Saudara-saudaraku! Orang akan lambat memahami perubahan masyarakat ini; [karena itu] ia harus waspada. Inilah takwa, yaitu orang-orang yang wilayah kekuasaan mereka adalah diri mereka sendiri, maka mereka ini harus waspada pada lingkup itu. Orang-orang yang wilayah kekuasaannya lebih luas dari diri mereka sendiri harus mewaspadai diri mereka sendiri juga mewaspadai orang lain. Mereka yang berada di pucuk kekuasaan harus mewaspadai diri mereka juga mewaspadai segenap masyarakat agar tidak bergerak ke arah kerakusan dunia, ke arah kenikmatan duniawi dan ke arah kepentingan diri sendiri. Ini bukan artinya tidak menyejahterakan masyarakat. Justru mereka itu harus memakmurkan masyarakat dan menghasilkan kekayaan yang banyak, akan tetapi hendaknya tidak rakus menguasainya untuk diri sendiri, karena ini adalah tindakan yang buruk sekali. Setiap orang yang bisa membuat masyarakat Islam menjadi kaya dan melakukan kerja-kerja besar, pasti dia mendapatkan pahala yang besar.

Dan orang-orang ini yang Alhamdulillah bisa membangun negara dalam beberapa tahun ini; yang menegakkan panji pembangunan di dalam negeri ini; melakukan kerja-kerja besar, mereka ini terus melakukan kerja-kerja yang sangat bagus; mereka bukan orang-orang yang rakus dunia. Rakus dunia ialah seseorang yang menginginkan segala sesuatu untuk diri sendiri, bekerja demi diri sendiri, menumpuk kekayaan dari Baitul Mal atau dari sumber lainnya untuk diri sendiri. Ini jelek sekali. Kita harus waspada. Semua harus waspada supaya tidak terjadi demikian. Kalau tidak ada kewaspadaan, pada saat itulah masyarakat akan mengalami kekosongan nilai-nilai mulia secara bertahap hingga sampai pada satu kondisi dimana yang tersisa hanya kulit luarnya saja, lalu tiba-tiba ada sebuah ujian besar - berupa kebangkitan Abu Abdillah (Imam Husain as), ketika itulah masyarakat tersebut akan gagal dalam menghadapi ujian ini!

Penguasa masa itu mengatakan, 'Aku akan berikan kekuasaan negeri Rey kepadamu.' Pada masa itu, Rey adalah sebuah kota yang sangat besar dan banyak penghasilannya. Kekuasaannya juga bukan seperti kekuasaan atas sebuah provinsi di zaman ini. Sekarang, para gubernur atau pimpinan provinsi kita adalah seorang pejabat pemerintahan; mereka mendapatkan gaji dan bekerja keras. Tapi, pada zaman itu, keadaannya tidak seperti ini. Seseorang yang memerintah di suatu kota, yakni semua sumber-sumber penghasilan kota itu berada di dalam kewenangannya; lalu sebagian dari hasilnya dikirimkan ke pusat dan sisanya berada di bawah wewenangnya. Dia bisa melakukan pekerjaan apa saja yang dia inginkan. Oleh karena itu, [pemerintahan di suatu kota saja] sangat penting baginya. Lalu penguasa [masa itu] mengatakan, jika kamu tidak memerangi [Imam] Husain bin Ali, maka pemerintahan di Rey tidak akan jatuh ke tanganmu. Di sinilah seorang yang teguh dengan prinsip tidak akan berpikir sepintas pun dan dengan tegas akan mengatakan, "Enyahlah dan ambillah Rey! Apa arti Rey?"

Kalaupun semua dunia ini engkau berikan kepadaku, aku tidak akan pernah bermuka masam kepada Husain bin Ali. Aku tidak akan menunjukkan wajah garang kepada putra tercinta [Fathimah] Zahra as. Akankah aku pergi membunuh [Imam] Husain bin Ali dan anak-anaknya hanya supaya kalian memberikan kekuasaan Rey kepadaku?! Beginilah orang yang teguh dengan prinsip. Akan tetapi, ketika orang yang mendapat tawaran kehilangan jiwanya; ketika masyarakat jauh dari nilai-nilai mulia; ketika garis-garis besar dalam masyarakat itu sudah lemah, maka tangan dan kakinya akan tergelincir. Ya, maksimalnya, dia akan berpikir dulu untuk satu malam, yaitu ketika mereka mendesak keras dan memberi waktu satu malam sampai subuh untuk menimbang-nimbang! Kalaupun dia berpikir satu tahun, tetap saja dia akan mengambil keputusan yang sama. Cara berpikir ini tidak ada artinya. Satu malam dia berpikir, pada akhirnya dia mengatakan, 'Baiklah, saya menginginkan kekuasaan Rey.' Namun ternyata, Allah SWT pun tidak memberikan negeri itu kepadanya. Ketika itulah, saudara-saudaraku! tragedi Karbala itu terjadi.

Pada kesempatan ini, saya harus berbicara sedikit tentang analisa tragedi Asyura walaupun hanya sekilas. Orang seperti [Imam] Husain bin Ali as. - yang dirinya adalah perwujudan dari nilai-nilai kemuliaan - melakukan kebangkitan untuk memerangi kemerosotan ini, karena kemerosotan itu telah berlangsung hingga sampai pada kondisi dimana tidak ada lagi [nilai] yang tersisa semikian rupa sehingga kalau suatu saat, masyarakat dan kaum Muslimin ingin hidup dengan baik, maka tidak ada sesuatu apa pun yang dapat mereka pegang. Imam Husain bangkit, berjuang, bergerak dan melawan seorang diri terhadap laju keruntuhan yang begitu cepat menukik itu. Tentu, dalam misi ini, beliau mengorbankan jiwanya, jiwa orang-orang tercintanya, jiwa Ali Ashghar-nya; jiwa Ali Akbar-nya; jiwa Abbas-nya, dan beliau memetik hasilnya.

[Dalam Sabda Nabi SAW], "Dan aku dari Husain", yakni agama Nabi SAW adalah hidupnya Imam Husain bin Ali. Ini satu sisi dari lembaran itu. Satu sisi lembaran itu ialah peristiwa besar, semangat juang yang begitu mendidih dan pengalaman cinta di Asyura sehingga kejadian-kejadian di Karbala benar-benar tidak bisa dipahami kecuali dengan logika cinta dan dengan mata cinta. Kita harus melihat dengan mata cinta hingga dapat memahami apa yang telah dilakukan [Imam] Husain bin Ali dalam - kurang lebih - satu malam dan setengah hari atau kira-kira sehari semalam - dari waktu ashar hari Tasu'a (hari kesembilan Muharram) sampai waktu ashar 'Asyura (hari kesepuluh Muharram) - dan betapa beliau telah menciptakannya sedemikian agungnya. Oleh karena itu, beliau tetap hidup di dunia dan akan tetap hidup selama-lamanya. Banyak pihak yang berusaha mengubur tragedi Asyura hingga dilupakan orang, namun mereka tidak mampu.

(Pidato shalat Jumat di Tehran, 8 Mei 1998)

Tidak ada komentar: