Rabu, 16 Juni 2010

Nabi Muhammad BERMUKA MASAM...???..




ABASA (BERMUKA MASAM)

Selama ini kita diajari bahwa Nabi Saw pernah ditegur oleh Allah SWT perihal bermuka masamnya beliau ketika di datangi seorang buta bernama Abdullah Ibn Maktum ketika sedang berdakwah kepada para petinggi bani umayyah.

Namun dalam surat Abasa itu sendiri pada ayat 1 tidak dijelaskan atau tidak disebutkan siapa pelakunya. Dalam terjemahan bahasa indonesia sendiri seperti ini :

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling = perhatikan tanda dalam kurung merupakan terjemahan tambahan bukan terjemahan sebenarnya.

Jika kita simak ayat 1 dalam bahasa arabnya adalah ‘abasa wata walla, perhatikan bahwa tidak ada kata Muhammad Saw, yang seharusnya terjemahan sebenarnya adalah seperti ini :

Dia bermuka masam dan berpaling.

Jika kita perhatikan kata “Dia” sungguh tidak logis jika Allah menegur Nabi secara langsung menggunakan kata “Dia”, seharusnya menggunakan kata “Kamukarena Allah menegur beliau secara langsung. Dan seharusnya jika Nabi yg ditegur secara langsung maka ayat tersebut harusnya berbunyi :

Kamu bermuka masam dan berpaling

Dan bukannya

Dia bermuka masam dan berpaling.

Sampai disini bisa di ikuti?

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Allah bukanlah menegur Nabi bermuka masam, tapi memberitahu Nabi bahwa salah satu dari petinggi bani umayyah tsb bermuka masam dan berpaling karena kehadiran seorang yang buta bernama Abdullah Ibn Maktum.

Pada ayat 2-4 surat Abasa :

2.karena telah datang seorang buta kepadanya
3.Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya
4.atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?

Ayat 2 menjelaskan penyebab bermuka masamnya petinggi umayyah tsb, sedangkan pada ayat ke 3-4 Allah memberitahu Nabi dgn kata ”Kamu” bahwa si buta tsb hendak mendapatkan pencerahan dari sang Nabi.

5.Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup
6.maka kamu melayaninya
7.Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
8.Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
9.sedang ia takut kepada (Allah),
10.maka kamu mengabaikannya
11.Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,

Pada ayat ke 5 dan 6 Allah memberitahu ke Nabi bahwa lebih baik mengajari orang yg miskin dan hina tapi mau mendengar dan menerima risalah Nabi dari pada mengajarkan kalimat Allah thd orang-orang kaya (petinggi bani umayyah) namun tidak mau mendengarkan risalah yang Nabi bawakan.

Pada ayat 7 – 11 harusnya bisa lebih mudah dipahami, bahwa Allah memberitahu Nabi tidak usah bersusah payah meneruskan dakwah kepada petinggi umayyah tsb, lebih baik layani si orang buta tersebut, walau nantinya dakwah Nabi thd petinggi bani umayyah gagal jika lebih memilih menjawab pertanyaan ibn maktum tetap Nabi tidak akan mendapat celaan dari Allah, justru akan mendapatkan pujian dari Allah.

Sebagaimana kita tahu menurut Aisyah ra bahwa Nabi itu adalah Alquran yang berjalan, salah satu sifat Nabi adalah maksum (bebas dari dosa) sebab selalu didampingi oleh Allah dlm setiap tindakan dan ucapannya, dan setiap yg diucapkan Nabi adalah wahyu bukan berdasarkan nafsunya.

Logisnya jika nabi maksum dan jika Nabi merupakan al quran berjalan, lalu mengapa Nabi bermuka masam? Bukankah itu kontradiktif dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Allah mengutus seorang manusia yang mampu berbuat dosa untuk membimbing manusia? Bagaimana mungkin si Nabi menyuruh orang berbuat baik tetapi thd orang lain Nabi pun berbuat buruk? Astaghfirullah.

Dapat diambil kesimpulan bahwa bukanlah Nabi yang bermuka masam, namun salah satu dari petinggi bani umayyah yang hadir pada saat itulah yg bermuka masam, sebab Allah menegaskan dalam firmannya :

Dia bermuka masam dan berpaling
Dan bukannya :
Kamu bermuka masam dan berpaling

Dalam berbagai analisa dinyatakan bahwa tindakan para ulama mengorbankan Nabi sbg yang bermuka masam tiada lain adalah untuk menyelamatkan muka petinggi bani umayyah tsb yang sempat menjadi khalifah sepeninggal Nabi Saw adalah rekayasa dari kekhalifahan umayyah semata untuk menyelamatkan nama baik suku mereka dgn menjelekkan Nabi Saw.

Sayangnya mayoritas umat Islam banyak yang termakan tipuan tsb, sudah saatnya kita sadar dan berpikir dgn logika, apakah Nabi seorang yg berdosa ataukah seorang yg maksum?. Jika Nabi seorang yg berdosa, lalu sia-sia dong tindakan Allah membelah dada Nabi untuk membersihkan dari segala kekotoran jiwanya ketika isra miraj. Berarti Allah pun gagal dalam membersihkan sifat-sifat kotornya Nabi dong? Bukankah Allah membersihan Nabi sebersih2nya dgn membelah dadanya sebagai persiapan dalam berdakwah agar dapat dijadikan usuwah yang baik bagi umatnya? Sudah saatnya kita berpikir dan bertobat atas fitnah terbesar ini.

Kamis, 25 Februari 2010

Hari Raya Zahra

Hari Raya Zahra

Masa dua bulan yang menyedihkan mencapai klimaksnya pada hari wafatnya Imam Kesebelas, Imam Hasan Al-Askari, pada tanggal 8 Rabiul Awal. Satu hari setelahnya, menurut riwayat, adalah hari ied (perayaan) bagi pencinta Ahlulbait as. Dikenal sebagai Idul Zahra, hari ini menghormati putri Nabi Muhammad saw. sebagai hari kegembiraan dan kebahagiaan bagi orang-orang beriman.

Sekedar mengingat, 70 hari sebelumnya kita memperingati syahidnya tidak kurang dari enam manusia suci—Nabi Muhammad, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Zainal Abidin, Imam Ridha, dan Imam Askari (salâmullâh ‘alaihim). Selain itu, kita juga mengenang wafatnya pribadi-pribadi seperti Abul Fadhl Abbas bin Ali, Sayidah Ma’sumah dan para sahabat Imam Husain di tanah Karbala. Akhirnya, setelah masa kesedihan, kita mengganti kain hitam dan kembali untuk melaksanakan hikmah selama akhir bulan ini.

Salah satu hal penting adalah kita menandai hari pertama kepemimpinan imam kita yang masih hidup, Al-Hujjat bin Hasan Al-Askari (semoga Allah mempercepat kemunculannya). Sebagaimana yang disebutkan dalam doa, ziarah dan riwayat, kemunculan Imam Keduabelas akan menandai pembalasan atas darah yang tertumpah di Karbala.

Dengan peristiwa penting ini kita merayakan Idul Zahra dan dengan sungguh-sungguh kita mohon kepada Allah Swt. untuk mempercepat kemunculan hujjah terakhir-Nya. Melalui keadilan yang akan imam tunjukkan, hari ini akan benar-benar dirayakan sebagai Id Fatimah Az-Zahra dan seluruh pengikutnya yang sejati.

Pengamat sejarah menyatakan empat peristiwa bersejarah penting pada tanggal 9 Rabiul Awal. Pertama, beberapa sejarawan berpendapat bahwa Nabi Muhammad lahir pada tanggal 9 Rabiul Awal. Terdapat dua pendapat lain: 12 Rabiul Awal dan 17 Rabiul Awal. Bagi Syiah, riwayat yang paling terkenal adalah yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. lahir pada tanggal 17 Rabiul Awal 570 M.

Apapun keadaannya, tanggal tidaklah membuat perbedaan besar. Karena Ayatullah Khomeini, pendiri revolusi Islam telah mengumumkan pekan antara 9 dan 17 Rabiulawal sebagai “Usbû’ Al-Wahdah” berarti “Pekan Persatuan” di antara umat muslim. Umat muslim seluruh dunia diminta untuk bersama-sama dan merayakan mauled Nabi Muhammad selama sepekan.

Kedua, sehubungan dengan pentingnya hari ini, dicatat bahwa Nabi Muhammad sendiri terlihat senyum dan “merayakan” sekali dengan berkumpul di kota Madinah pada hari ini ketika kehadiran Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain kemudian berkata, “Pada hari inilah Allah Swt. akan menghancurkan musuh-musuh kalian dan musuh-musuh kakek kalian dan pada hari inilah ketika Allah (Swt.) akan menerima perbuatan pengikut kalian dan mereka yang mencintai kalian. Inilah hari ketika firman Allah menjadi kenyataan di mana Ia berfirman (dalam Quranul Karim): ‘Maka itulah rumah-rumah mereka dalam keadaan runtuh disebabkan kezaliman mereka…’ (QS. 27: 52). Dan pada hari inilah Firaun masa Ahlulbait akan dihancurkan…”

Ketiga, tanggal 9 Rabiul Awal juga dikenal sebagai Idul Zahra berarti perayaan Fatimah Az-Zahra as., karena 3-4 tahun setelah tragedi Karbala, pada hari inilah kegembiraan dan kebahagiaan terpulihkan dalam keluarga Ahlulbait as. Dari tragedi Karbala pada tahun 61 H hingga hari ini, anggota keluarga Nabi Muhammad saw. terus-menerus berduka dan bersedih atas kesyahidan Imam Husain as.

Umar bin Saad bin Abi Waqas adalah pembunuh Imam Husain yang pertama kali menembakkan panah ke arah Imam Husain pada tanggal 9 Muharam 61 H, yang dengan itu memulai secara resmi peperangan melawan Imam Husain as.! Dan ia menyatakan, “Hai warga Kufah dan Syam, jadilah saksi dengan ini pada Hari Pengadilan, bahwa akulah orang pertama yang menembakkan panah kepada Husain!” Kemudian, Imam Husain mengatakan kepada tentara Yazid yang dikomandani Umar, setelah memberikan khutbah yang luar biasa, bahwa beliau butuh satu malam lagi untuk beribadah!

Mukhtar bin Ubaidullah Ats-Tsaqafi mengumumkan tujuan revolusinya di Masjid Kufah, “Saya akan menyesuaikan kepada Kitabullah dan sunah nabi-Nya. Saya akan mengambil pembalasan terhadap pembunuh Imam Husain. Saya akan berperang melawan mereka yang merusak hukum Allah. Saya akan membela kaum lemah atas kaum kuat (penindas).” Hanyalah orang yang beruntung yang punya kesempatan untuk merayakan Id ini! Inilah hari; ketika pertama kalinya setelah pembantaian Imam Husain dan para sahabatnya, Imam Ali Zainal Abidin dapat tersenyum! Apakah alasan ini tidak cukup untuk merayakannya? Karena, kebahagiaan kita bersama kebahagiaan Maksumin dan kesedihan kita juga untuk mereka!

Karena 9 Rabiul Awal adalah hari kemuliaan, kehormatan, kejayaan dan rahmat. Inilah hari raya besar yang juga dinamai “Eid Asy-Syaja’.”

Keempat atau terakhir, 9 Rabiul Awal adalah hari pertama bagi keimamahan Al-Hujjah bin Hasan Al-Askari (semoga Allah mempercepat kemunculannya), sebuah hari suka cita dan perayaan.

Benar bahwa seorang imam menjadi imam sejak lahir, tapi setiap imam menjalankan peran resmi atas kepemimpinannya setelah wafatnya imam sebelumnya. Alasan mengapa kita merayakannya, khususnya Al-Hujjah bin Hasan, adalah untuk mengingatkan diri kita atas keberadaannya dan tanggung jawab kita kepadanya. Ayahnya sekaligus Imam Kesebelas, Imam Hasan Al-Askari wafat pada tanggal 8 Rabiul Awal 260 H dan Imam Keduabelas, Imam Mahdi, menjalankan keimamahannya secara resmi pada usia lima tahun pada tanggal 9 Rabiul Awal 260 H.

Kita berdoa kepada Allah untuk menjaga agar kita tetap kokoh pada jalan-Nya, dan agar selalu menjaga kita dari kelalaian dalam menjalankan tugas-tugas kita kepada-Nya dan Imam Muhammad Al-Mahdi (semoga Allah mempercepat kemunculannya), dan juga memasukkan kita ke dalam penolong dan sahabat Imam Mahdi. Ilahi amin.

Salah satu cara agar kita berusaha menjadi sahabat Imam Mahdi afs. adalah menjalankan tanggung jawab yang ada pada diri kita, termasuk membaca Doa Al-Ahd (Janji) setiap pagi di mana kita mengatakan:

“Ya Allah, sesungguhnya saya memperbarui (janji setia) pagi pagi hari ini dan semua hari sisa-sisa janjiku… Ya Allah, masukkan aku di antara penolongnya, pembelanya, yang memenuhi harapan dan perintahnya… Ya Allah, jadikanlah ia sebagai tempat berlindung bagi hamba-Mu yang tertindas; penolong bagi mereka yang tidak memiliki penolong selain-Mu… penguat ilmu agama-Mu dan sunah nabi-Mu. Semoga salawat Allah tercurahkan kepadanya dan keluarganya.”

Selain doa, tentu saja, kita harus juga menjadi sahabat sejati Imam Zaman, dengan mengingat Salman, Abu Dzar, Ammar bin Yasir, dan Malik yang menjadi sahabat Imam Ali. Begitu juga dengan para syuhada Karbala yang merupakan sahabat sejati Imam Husain. Kita harus membentuk karakter kita dalam jalan yang benar ini dan menjauh dari dosa. Kita tidak boleh puas dengan kondisi sekarang atau menjadi biasa-biasa saja.

Imam Shadiq as. pernah berkata, “Seseorang tidak dianggap sebagai pengikut kami jika ia hidup di suatu kota dengan populasi 100.000, dan ada orang yang lebih takwa daripadanya.” Kita harus menjaga konsep ini dalam hati dan memperjuangkan dengan semangat tinggi untuk mencapai peringkat tertinggi dalam ketakwaan.

Hadis tentang Imam Muhammad Al-Mahdi (semoga Allah mempercepat kemunculannya): “Dunia tidak akan berakhir, kata Nabi Muhammad saw., “sampai seorang laki-laki dari keluargaku (Ahlulbait) dan namanya seperti namaku akan menjadi pemimpin dunia. Ketika kalian melihat bendera hijau dari arah Khurasan, maka bergabunglah bersama mereka, bagi Imam Allah akan bersama panji-panji yang akan disebut Al-Mahdi.”

Terakhir dan ini penting: Ahmad bin Ishaq Al-Qummi adalah seorang sahabat besar dari Imam Kesebelas, Imam Hasan Askari as. Pada tanggal 9 Rabiul Awal, Muhammad Hamadani dan Yahya Baghdadi datang mengunjunginya dan diberi tahu bahwa Ahmad sedang sibuk melakukan ghusl (mandi) pada hari itu. Ketika mereka menanyakan tentang mandi apa itu, mereka diberi tahu bahwa Ahmad mendengar dari Imam Kesepuluh, Imam Hadi as., yang berkata: “Tanggal 9 Rabiul Awal adalah hari raya. Inilah hari raya besar kita dan hari raya pengikut kami.”

Setelah melakukan mandi, Ahmad bin Ishaq Al-Qummi mengatakan kepada tamunya, “Saya telah melakukan mandi karena hari ini adalah id 9 Rabiul Awal. Saya mengunjungi Imam Hasan Askari pada hari ini dan memperhatikan cincinnya bersinar. Orang-orang di rumahnya mengenakan pakaian baru dan memakai wewangian. Ketika saya menanyakan alasannya, Imam Askari berkata, ‘Hari ini tanggal 9 Rabiul Awal. Inilah hari Id bagi kita dan pengikut kita’.”

Sumber: ezsoftech dan Islamic Insight

Senin, 25 Januari 2010

Hubungan Antara Maturidiyah dan Asya`irah



Sepanjang kesaksian sejarah, pada masa kekhalifahan Muawiyah, umat Islam dikenal dalam dua kelompok, yaitu Alawiyah dan Utsmaniyah. Setelah itu, akibat beberapa peristiwa, di masa Umar bin Abdulaziz (versi pertama), atau di masa kekhalifahan Bani Abbas (versi kedua), istilah Ahlussunnah disematkan kepada Utsmaniyah (para pengikut Utsman), sementara Alawiyah (para pengikut Ali) tetap disebut dengan nama pertama mereka, yaitu Syiah.


Secara umum, umat Islam dibagi menjadi dua kelompok utama: Ahlussunnah dan Syiah.
Ahlussunnah bercabang kepada beberapa mazhab kalam (teologi), yang terpenting di antaranya adalah Mu`tazilah, Ahlul hadits (hadis centris), Asya`irah, Maturidiyah, dan Wahabiyah. Mu`tazilah adalah hasil dari pertentangan antara keyakinan Khawarij dan Murjiah.
Sebelum mazhab kalam Asya`irah dan Maturidiyah muncul, komunitas Ahlussunnah mengikuti dua mazhab Mu`tazilah dan Ahlul hadits atau Hanbaliyah. Akibat pertentangan keyakinan antara Mu`tazilah dan Ahlul hadits, para ulama Ahlussunnah berinisiatif untuk mereformasi mazhab mereka, khususnya untuk menghadapi prinsip-prinsip kalam Mu`tazilah. Buah dari reformasi ini, adalah kemunculan dua mazhab baru bernama Asya`irah dan Maturidiyah. Sehingga di masa ini, istilah Ahlussunnah wal Jama`ah khusus diberikan kepada dua mazhab terakhir ini.
Pendiri mazhab Asya`irah adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Asy`ari. Ia lahir pada tahun 260 H di Bashrah dan wafat tahun 324 H di Baghdad. Sampai usia empat puluh tahun, ia adalah salah satu murid Abu Ali Jubai yang mendukung mazhab Mu`tazilah. Abu Hasan Asy`ari keluar dari mazhab Mu`tazilah pada tahun 300 H. Setelah mengadakan beberapa perbaikan dalam ajaran Ahlul hadits, Abu Hasan Asy`ari mendirikan mazhab baru, yang berlawanan dengan Ahlul hadits dan juga Mu`tazilah. Dalam bidang fikih, Abu Hasan Asy`ari mengikuti mazhab Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian besar pengikutnya juga berkiblat kepada Imam Syafi`i dalam masalah hukum.
Sezaman dengan mazhab Asya`irah, Maturidiyah didirikan oleh Abu Manshur Muhammad bin Muhammad Maturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi.
Ada banyak kesamaan antara dua mazhab ini. Keduanya termasuk dalam aliran Ahlussunnah. Terkait kepemimpinan para khalifah setelah Nabi saw sesuai urutan historis yang telah terjadi, keduanya memiliki pandangan serupa. Juga tak ada perbedaan dalam pandangan mereka terhadap para penguasa Bani Umayah dan Bani Abbas. Dalam semua sisi masalah imamah pun mereka saling sepakat. Keduanya juga sepaham bahwa Allah bisa dilihat tanpa kaif (cara), had (batas), qiyam (berdiri) wa qu`ud (duduk) dan hal-hal sejenisnya. Berbeda dengan Hasyawiyah dan Ahlul hadits yang berpendapat bahwa Allah, seperti selain-Nya, bisa dilihat dengan kaif dan had. Dalam hal kalam Allah (Al-Quran), kedua mazhab ini juga memiliki pandangan sama, yaitu bahwa kalam-Nya memiliki dua tingkatan. Pertama adalah kalam nafsi yang bersifat qadim (dahulu), dan kedua adalah kalam lafdhi (lafal) yang bersifat hadits (baru). Ini adalah pendapat moderat dari kedua mazhab ini, yang berada di antara pendapat Mu`tazilah bahwa kalam Allah hadits secara mutlak, dan pendapat Ahlul hadits bahwa kalam-Nya qadim secara mutlak. Ringkas kata, Asya`irah dan Maturidiyah memiliki banyak kesamaan pandangan dalam masalah akidah. Namun, di saat yang sama, ada pula beberapa perbedaan dalam prinsip-prinsip teologis dua mazhab ini, yang membedakan mereka satu sama lain.
Dalam rangka mereformasi dan mengembangkan akidah Ahlussunnah di hadapan Mu`tazilah, Abu Hasan Asy`ari menempuh jalan Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam banyak kasus, ia memilih sikap jumud `ala dhawahir (hanya memerhatikan sisi lahiriah) dan jarang menggunakan akal dan argumentasi. Namun Abu Manshur Maturidi menjadikan metode Abu Hanifah sebagai dasar teologi Ahlussunnah dan banyak menggunakan argumentasi rasional. Perbedaan mendasar dalam metode ini pula yang memunculkan perbedaan pendapat antara teologi Maturidiyah dan Asya`irah dalam sebagian masalah. Karena itu, metode Maturidiyah lebih jauh dari tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk) dan tajsim (menganggap Tuhan memiliki bentuk seperti materi) serta lebih dekat kepada tanzih (penyucian). Sementara metode Asya`irah lebih condong kepada tasybih dan tajsim.
Parameter utama dalam perbedaan mazhab-mazhab Ahlussunnah adalah masalah husn wa qubh `aqli (baik dan buruk rasional) dan persoalan-persoalan terkait akal dan argumen rasional. Jika Mu`tazilah disebut sebagai simbol husn wa qubh `aqli, maka Maturidiyah berada di tingkat kedua, Asya`irah di tingkat ketiga, sementara Hasyawiyah menolak sepenuhnya masalah husn wa qubh `aqli. Sedangkan Wahabiyah adalah mazhab baru gabungan dari Hasyawiyah dan Hanbaliyah.
Perbedaan-perbedaan antara Maturidiyah dan Asya`irah bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
Terkait sifat-sifat khabariyah (sifat-sifat Alah yang tersebut dalam Al Qur'an, seperti yadullah [tangan Allah] dll), Asya`irah meyakini makna lahiriah ayat tanpa takwil dan tafwidh (menyerahkan maknya kepada Allah), sedangkan Maturidiyah menerima tafwidh dan menolak takwil. Sementara prinsip Mu`tazilah dalam masalah ini adalah menakwilkan sifat-sifat khabariyah.
Asya`irah menganggap makrifat Allah wajib berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, sementara Maturidiyah, seperti halnya Mu`tazilah, berpendapat bahwa kewajiban mengenal Allah bersifat rasional.
Karena Asya`irah mengingkari husn wa qubh `aqli, maka mereka berpendapat bahwa perbuatan Allah tidak berlandaskan tujuan. Namun Maturidiyah mengatakan bahwa perbuatan Allah berasaskan maslahat, sebab mereka menerima konsep husn wa qubh `aqli dalam sebagian tingkatannya.
Asya`irah berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, sementara manusia adalah wadah bagi perbuatan-Nya. Untuk menghindar dari problem jabr (determinasi), mereka mengemukakan solusi ‘kasb’. Maturidiyah menolak tafwidh (manusia bertindak bebas dan menafikan intervensi kekuasaan Tuhan) Mu`tazilah serta jabr Ahlul hadits dan Asya`irah. Mereka berpendapat bahwa meski perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, namun di saat yang sama, ia adalah pelaku dan kasib (hasil) perbuatannya sendiri.
Seperti kaum `Adliyyin, Asya`irah membagi sifat-sifat Allah kepada dzati dan fi`li. Namun Maturidiyah menolak pembagian ini dan menyatakan bahwa semua sifat fi`li-Nya qadim seperti sifat dzati.
Asya`irah mengatakan bahwa Allah mustahil membebankan taklif yang tak mampu dilakukan manusia, sementara Maturidiyah berpendapat sebaliknya.
Asya`irah meyakini bahwa semua yang dilakukan Allah adalah baik, sedangkan Maturidiyah, berdasarkan hukum akal, berpandangan bahwa Dia mustahil berbuat zalim.
Kesimpulannya, meski Asya`irah dan Maturidiyah tergabung dalam kelompok Ahlussunnah dan banyak memiliki kesamaan, namun mereka juga memiliki perbedaan pendapat dalam sebagian masalah.

Abadhiyah: Aliran Islam Yang Nyaris Tak Terdengar



Abadhiyah adalah nama golongan yang memberontak kepada khalifah masa itu (Sayidina Ali bin Abi Thalib) pasca perang Shiffin dan polemik hakamiyah (perihal menjadikan Al-Quran sebagai hakim). Saat itu, Abu Musa Asy`ari sebagai duta Ali dan `Amr bin `Ash sebagai duta Muawiyah, duduk bersama menelaah Al-Quran dan sunah Rasul saw untuk memutuskan kebenaran di pihak Ali atau Muawiyah. Ketika duta Syam menipu duta Irak dan orang-orang Irak sadar mereka telah dikecoh `Amr bin `Ash, mereka memprotes Sayidina Ali lantaran sikap beliau menerima hakamiyah. Mereka lalu membentuk kelompok tersendiri dan melawan Sayidina Ali. Mulanya, jumlah mereka hanya sedikit. Namun, jumlah mereka kian bertambah dari hari ke hari. Akhirnya, mereka berkumpul di suatu tempat bernama Harura. Mereka berperang melawan Sayidina Ali dan menelan kekalahan.


Abadhiyah (atau Ibadhiyah) adalah salah satu kelompok sempalan Khawarij yang berafiliasi kepada Abdullah bin Abadh Tamimi. Kelompok ini adalah salah satu kelompok tertua dalam sejarah Islam. Kendati kelompok ini adalah minoritas di tengah kaum Muslimin, namun aliran ini penting untuk dikaji dari sudut pandang sejarah dan penilaian berbagai mazhab Islam terhadapnya.
Hingga sekarang, komunitas Abadhiyah relatif hidup terpencil dan tidak begitu dikenal. Karena itu, mereka bisa disebut sebagai kelompok yang kurang atau relatif tidak dikenal.
Yang bisa disimpulkan dari sejarah adalah bahwa Abadhiyah muncul pada peristiwa pembangkangan Khawarij terhadap Sayidina Ali di perang Shiffin. Mereka lalu membentuk kelompok independen lantaran pengaruh pandangan-pandangan Abu Bilal Mardas bin Adyah. Mereka memisahkan diri dari kelompok-kelompok ekstrem Khawarij seperti Azariqah. Abu Bilal adalah poros tengah antara kelompok induk Khawarij dan kelompok-kelompok moderat. Pasca syahidnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Khawarij melakukan beberapa pemberontakan terhadap penguasa, salah satunya di bawah kepemimpinan Abu Bilal Mardas di masa Yazid bin Muawiyah. Di tahun 58 H, setelah dibebaskan dari penjara Ubaidillah bin Ziyad, Abu Bilal beserta tiga puluh pengikutnya keluar dari Bashrah dan menuju Ahvaz, atau lebih tepatnya, Asak. Pengikutnya di sana bertambah menjadi 40 orang. Ubaidillah lalu mengutus Aslam bin Zur`ah bersama dua ribu prajurit untuk menghentikan Abu Bilal dan pengikutnya. Sebelum pertempuran dimulai, Abu Bilal berkata kepada musuhnya, ”Kenapa kalian memerangi kami? Kami tidak berbuat kerusakan di muka bumi dan tidak pernah menghunus pedang di hadapan orang lain.” Alhasil, perang tetap terjadi dan 40 orang Khawarij berhasil mengalahkan pasukan Khalifah dan memaksa mereka melarikan diri. Di tahun berikutnya, Ubaidillah mengutus pasukan lain berjumlah 4000 orang untuk menumpas mereka. Pertempuran terjadi di hari Jumat di Darabjard Fars. Mulanya, pasukan Khalifah tidak memperoleh kemajuan. Saat waktu shalat (Jumat) tiba, Abu Bilal mengirim pesan untuk menunda pertempuran demi melaksanakan shalat. Namun, ketika pasukan Khawarij sedang melakukan shalat, pihak musuh menyerbu dan membunuh mereka semua, termasuk Mardas.
Setelah kematian Abu Bilal, Khawarij berkumpul di Bashrah untuk berjihad. Mereka lalu menuju Ahvaz bersama Nafi` bin Arzaq. Namun, kelompok yang tidak setuju melakukan pemberontakan, bersikukuh tinggal di Bashrah di bawah kepemimpinan Abdullah bin Abadh. Abdullah bin Abadh berasal dari kabilah Bani Tamim, atau menurut Thabari, dari Bani Shirm. Dia adalah seorang yang berwawasan dan moderat. Semenjak awal, dia tidak menyetujui sikap ekstrem sebagian Khawarij. Ia memisahkan diri dari mereka dan memilih jalan tengah.
Tidak ada data akurat terkait tanggal kelahiran dan kematian Abdullah bin Abadh. Dia adalah peletak fondasi akidah dan fikih mazhab Abadhiyah. Ia senantiasa diagung-agungkan oleh para pengikutnya. Dalam referensi-referensi Abadhiyah, ia disebut sebagai pembesar kaum, junjungan Muslimin, dan pemuka ahli tahqiq. Yang bisa dipastikan dari peristiwa-peristiwa yang terkait dengan kehidupan Abdullah adalah, setelah terbunuhnya Abu Bilal, Ubaidillah bin Ziyad mengirim pasukan ke Mekkah untuk menumpas habis Khawarij. Kaum Khawarij berjuang mempertahankan Mekkah dan berhasil mengalahkan pasukan Syam. Abdullah bin Abadh juga turut berperan dalam pertempuran ini.
Di abad-abad terdahulu, pengikut Abadhiyah hidup dalam wilayah yang amat luas. Beberapa kelompok dari mereka masih bertahan hingga sekarang. Mereka menetap di Oman, Tanzania (Zanjibar), dan Afrika Utara. Di masa kita sekarang, Abadhiyah adalah mazhab yang dianut mayoritas rakyat dan suku Oman. Kecenderungan masyarakat Oman kepada mazhab Abadhiyah bermula semenjak awal terbentuknya mazhab ini. Pada permulaan gerakan dan perang Khawarij melawan dinasti Bani Umayah, sebagian pemuka kelompok Abadhiyah datang ke Oman. Mereka menyebarkan ajaran Abadhiyah dan memperoleh banyak pengikut. Ketika Jabir bin Zaid diasingkan oleh Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi dari Bashrah ke Oman, penduduk Oman menyambut dakwah Abadhiyah. Sebab, Jabir berasal dari suku Azd yang merupakan suku mayoritas di Oman. Selain itu, pandangan moderat pemimpin Abadhiyah, yaitu Jabir bin Zaid, juga turut mempengaruhi sambutan rakyat Oman.
Terputusnya silsilah dinasti Bani Umayah di tahun 132 H/750 M dan kekacauan di pemerintah pusat, memberi peluang kepada pengikut Abadhiyah di Oman untuk mewujudkan mimpi membentuk pemerintahan. Mereka lalu mengangkat Jalandi bin Mas`ud bin Jaifar bin Jalandi Azdi sebagai imam bagi pengikut Abadhiyah di Oman.
Kelompok-kelompok Abadhiyah
Abadhiyah juga tak lepas dari penyempalan dan perpecahan. Ada beberapa kelompok dengan beragam kecenderungan yang menyempal dari mereka. Penyempalan ini disebabkan perbedaan kultur, politik, dan sosial di antara mereka. Berikut ini beberapa kelompok cabang dari Abadhiyah:
* Wahbiyah: Kelompok ini salah satu dari kelompok-kelompok utama Abadhiyah. Sebagian besar pengikut Abadhiyah berafiliasi kepada kelompok ini.
* Ibrahimiyah: Kelompok ini dinisbatkan kepada seorang penduduk Madinah bernama Ibrahim. Kemunculan kelompok ini bermula dari fatwa Ibrahim terkait dibolehkannya menjual hamba sahaya wanita Muslim kepada orang kafir (selain Abadhiyah). Ia juga melakukan hal serupa terhadap budak wanitanya. Salah satu pengikutnya yang bernama Maimun memprotes dan berpendapat bahwa ini tidak boleh dilakukan. Ibrahim lalu berargumen dengan ayat 275 surah Al-Baqarah bahwa Allah menghalalkan segala bentuk jual-beli. Namun, argumen ini tidak memuaskan Maimun dan ia pun memisahkan diri dari Ibrahim.
* Maimuniyah: Kelompok ini muncul setelah Maimun memisahkan diri dari kelompok Ibrahim.
* Hafshiyah: Mereka adalah pengikut Hafsh bin Abi Miqdam. Fakhrurrazi mengatakan bahwa kunyah (julukan)nya adalah Abu Ja`far. Hafshiyah berpendapat bahwa fondasi iman hanya berupa pengenalan terhadap Allah semata.
* Haritsiyah: Mereka adalah pengikut Harits Abadhi yang menganut pandangan Mu`tazilah dalam masalah takdir.
* Yazidiyah: Para pengikut Yazid bin Anis yang berpendapat bahwa Islam akan dihapus di akhir zaman dan ada nabi yang akan datang dari kaum Ajam (non-Arab).

Asya`irah Dalam Sorotan



Asya`irah adalah sebutan bagi para pengikut Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Asy`ari.
Tolak Ukur utama dalam meneliti proses terbentuknya Asya`irah adalah kinerja mazhab Mu`tazilah. Dijadikannya perubahan sebagai landasan penyingkapan hakikat oleh Mu`tazilah dan perselisihan mereka dengan para fukaha dan ahli hadis, memicu penentangan terhadap Mu`tazilah. Hingga akhirnya, dengan adanya provokasi dari pihak Mutawakkil, kelompok Mu`tazilah dikucilkan dan kemudian lahirlah kelompok moderat, yaitu Asya`irah.


Asya`irah menjadikan dalil rasional (`aqli) sebagai sarana pembuktian ajaran akidah konvensional. Di penghujung abad keenam, ada tiga tokoh yang memilih metode ini, yaitu Abu Al-Hasan Asy`ari di Baghdad, Thahawi (wafat 331 H) di Mesir, dan Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) di Samarqand. Kendati terdapat perbedaan antara mereka, namun mereka sepakat untuk sama-sama menentang Mu`tazilah.
Abu Al-Hasan Asy`ari lahir di Bashrah tahun 260 H. Garis keturunannya sampai kepada Abu Musa Asy`ari, salah seorang sahabat terkenal. Beliau adalah murid Abu Ali Jubai. Beliau mempelajari ilmu kalam (teologi) dari Mu`tazilah dan banyak menimba ilmu dari para fukaha dan ahli hadis. Setelah mengkaji hasil pelajaran terdahulunya, beliau lalu mengkritisi dan menolak sebagian keyakinan dirinya yang diambil dari Mu`tazilah. Di antara keyakinan terdahulunya adalah Al-Quran itu makhluk, kemustahilan melihat Allah, dan menghindari penisbatan keburukan kepada Allah. Kitab Al-Ibanah mengandung kritik-kritik Asy`ari terhadap Mu`tazilah. Dalam kitab itu, ia menyebut Mu`tazilah sebagai kelompok penakwil Al-Quran dan menyatakan kecenderungannya kepada Al-Quran, sunah, dan metode Ahmad bin Hanbal. Ibnu `Asakir menyebut judul 98 kitab yang ditulis Asy`ari hingga tahun 32 H. Empat karyanya yang terkenal adalah:
1. Al-Luma` fi Al-Rad `ala Ahl Al-Zaigh wa Al-Bida`.
2. Al-Ibanah fi Ushul Al-Diyanah.
3. Istihsan Al-Khaudh fi `Ilm Al-Kalam.
4. Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Mushallin.
Tiga kitab pertama seputar ilmu kalam dan kitab keempat tentang pengenalan mazhab-mazhab. Judul yang dipilih untuk kitab keempat menunjukkan sikap moderat dan toleransi Asy`ari.
Pandangan-pandangan Asy`ari
Asy`ari memilih metode `aqli-naqli (kombinasi akal dan riwayat) sebagai metode yang moderat. Misalnya, dalam bab tauhid, ia meyakini penambahan sifat atas zat Allah. Sikap moderat ini tampak dalam pandangan-pandangannya. Secara umum, Asya`irah membuktikan keberadaan Tuhan dengan tiga cara: naqli, `aqli, dan qalbi (hati) yang mirip dengan metode sufi Imam Ghazali dan Fakhrudin Razi. Berdasarkan pendapat Fakhrudin Razi, ada dua argumen filosofis, yaitu Burhan Imkan Al-Ajsam (argumentasi kemungkinan keberadaan materi) dan Imkan Al-A`radh (kemungkinan sifat), serta dua argumen teologis, yaitu Burhan Huduts Al-Ajsam (argumentasi barunya materi) dan Huduts Al-A`radh (barunya sifat), yang semua ini digunakan Asya`irah untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Terkait pengenalan Tuhan, sebagian Mu`tazilah (seperti Juwaini dan Ghazali) berpendapat bahwa hal ini tidak mungkin, sementara sebagian yang lain (seperti Baqalani) berpandangan sebaliknya.
Sifat-sifat Allah: Sifat-sifat Allah ada tiga bagian, yaitu salbi (negatif), tsubuti (tetap), dan ikhbari, yaitu seperti sifat manusia (misalnya, memiliki mata dan tangan). Asy`ari berpendapat bahwa bagian yang ketiga harus diyakini secara bila kaif (tanpa cara dan bagaimana), sebab substansi sifat-sifat ini tidak jelas bagi kita.
Determinasi (Jabr) dan Ikhtiar: Dalam masalah ini, demi menjaga sisi qadha dan qadar Allah serta ikhtiar manusia, Asya`irah mengemukakan pandangan kasb (usaha) yang merupakan istilah Al-Quran. Penafsiran mereka tentang kasb adalah sebagai berikut: Kemampuan (qudrah) ada dua macam, yaitu qadim/lama (yang merupakan milik Allah dan berperan dalam penciptaan perbuatan) dan hadits/baru (yang merupakan milik hamba). Satu-satunya fungsi kemampuan hadits adalah bahwa hamba merasakan kebebasan dalam dirinya. Oleh karena itu, makna kasb al-fi`l adalah berbarengannya penciptaan perbuatan dengan penciptaan kemampuan hadits pada diri manusia. Tentunya, Asy`ari menyebut kasb sendiri sebagai ciptaan Allah. Beliau berpendapat bahwa orang yang melakukan kasb adalah tempat Allah mewujudkan perbuatan-Nya dan orang itu berperan sebagai sarana perbuatan Allah.
Baik dan buruknya perbuatan (husn wa qubh): Asy`ari menyebut tiga makna baik dan buruknya perbuatan dan memilih makna ketiga sebagai makna yang benar. Tiga makna itu adalah:
1. Kesempurnaan dan kekurangan.
2. Mengandung maslahat atau madharat.
3. Layak dipuji atau dicela. Menurutnya, tidak ada perbuatan yang layak dipuji atau dicela secara mandiri. Hanya lantaran perintah dan larangan dari syariat-lah suatu perbuatan layak dipuji atau dicela.
Kosmologi: Meliputi dua masalah:

a) Struktur semesta: Asya`irah condong kepada teori atomisme (jauhar fard). Melalui teori ini, Asya`irah mendapat peluang untuk membuktikan bahwa dunia itu hadits (baru) dan Allah sebagai satu-satunya Zat yang qadim (dahulu).
b) Mortalitas semesta: Asya`irah berpendapat bahwa semesta itu mortal. Mereka menyebut `aradh (sifat) mortal dan jauhar (esensi) imortal. Tujuan dari pandangan ini adalah pembuktian sifat qadim Allah dan peran abadi-Nya dalam segala perkara semesta.
Antropologi: Meliputi dua pandangan:
a) Hakikat manusia adalah jauhar (esensi) jasmani (Juwaini).
b) Hakikat manusia adalah esensi ruhani (Baqalani).
Tokoh-tokoh Asya`irah: Di antaranya adalah: Abu Bakar Baqalani (penulis Al-Tamhid), Imam Ghazali, Imam Al-Haramain Juwaini, Fakhrurrazi, Baidhawi, dan Sayyid Syarif Jurjani.
Mazhab kalam ini memiliki peran penting di tengah kaum Muslimin, kendati di masa Asy`ari sendiri tidak begitu mendapat perhatian khalayak. Pada hakikatnya, Asy`ari dikucilkan lantaran penentangan dan perselisihan sengitnya dengan ahlul hadits (para pendukung hadis). Namun belakangan, khususnya setelah era Imam Al-Haramain Juwaini dan dukungan dinasti Saljuqi di masa Khaje Nidham Al-Mulk Thusi terhadap mazhab ini, Asya`irah menjadi mazhab kalam yang dominan di tengah Ahlussunnah. Hingga sekarang pun, sebagian besar kaum Muslimin Ahlussunah di seluruh dunia, khususnya yang bermazhab Syafi`i dan Hanafi, merujuk dan mengacu kepada Asya`irah dalam masalah-masalah akidah.

Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit: Imam Agung Ahlusunnah



Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (80-150 H) yang terkenal dengan sebutan “Imamul A`dzham” (Imam Agung) adalah salah satu dari ulama besar dan termasuk fukaha terpandang Ahlusunnah. Nama lengkap beliau Abu Hanifah Nu’man Ibn Tsabit bin Nu’man bin Zuthi bin Marzaban Tsabit. Beliau keturunan Iran dan berasal dari kota Kabul. Kakek Abu Hanifah berasal dari mawali (budak yang dimerdekakan). Abu Hanaifah sendiri dilahirkan pada tahun 80 Hijrah di kota Kufah.


Dalam pandangan ulama Ahlusunnah, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit termasuk fukaha terbesar. Menurut keterangan dari Abu Hanifah sendiri, beliau pernah belajar fikih dan ushul kepada Imam Ja’far ash-Shadiq. Tetapi pendapatnya tersebut ditolak oleh kalangan Ahlusunnah. Banyak sekali riwayat yang menceritakan bahwa Abu Hanifah pernah berjumpa dengan Imam Bagir di kota Madinah dimana ayah dari Imam ash Shadiq ini mengatakan bahwa metodologi qiyas yang dianut oleh Abu Hanifah telah menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad.
Pada masa pemerintahan Mansur Abbasi, Abu Hanifah diminta agar menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut. Karena itu, beliau dijebloskan ke penjara dan disiksa. Akhirnya Abu Hanifah wafat di penjara pada tahun 150 H karena racun yang diberikan padanya.
Umumnya para ulama mengenal Abu Hanifah sebagai seorang fuka yang reformis. Berkaitan dengan istinbath hukum syar’i, beliau memiliki metodologi yang berbeda dengan para fukaha lainnya. Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah berkata: “Sekiranya Rasulullah berada di tengah-tengah kita sekarang ini, pastilah beliau akan mengatakan apa yang saya katakan.” Para pengikut Abu Hanifah menamakan mazhab dan metodologinya sebagai mazhab “ahli ra’yu” (mazhab pendapat). Sebab, Abu Hanifah cenderung mengedepankan pendapat pribadinya dimana setelah mengeluarkan suatu fatwa beliau mengatakan: Ini adalah pendapat kami. Abu Hanifah berbeda pendapat dengan para ahli hadis. Beliau lebih mendukung hadis-hadit yang mutawatir saja yang diriwayatkan oleh para tabi’in sedangkan hadis dan khabar mufrad dengan tegas ditolaknya. Seperti yang dituturkan oleh Ibnu Khaldun bahwasanya, dari sekian banyak hadis yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad hanya 17 hadis saja yang diterima/dipercaya oleh Abu Hanifah. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh latarbelakang beliau sebagai ahli kalam dimana hal ini mempengaruhi metodologi fikh yang dikembangkannya. Beliau menerima qiyas dan istihsan sebagai dasar dalam ijtihad.
Secara garis besar bahwa dasar-dasar Mazhab Hanafi bersandar kepada:
1. Al-Qur’an
2. Sunnah Rasulullah saw
3. Fatwa sahabat
4. Qiyas dan ra’yu (pendapat pribadi)
5. Istihsan
6. Ijma’
7. Urf’ (adat/tradisi yang berlaku dikalangan masyarakat Islam).
Berkaitan dengan masalah iman dan kufr (kekafiran), Abu Hanifah berpendapat bahwa keduanya tidak bertambah dan tidak berkurang. Dasar iman adalah tashdiq (pembenaran), sedangkan dasar kekafiran adalah inkar (pengingkaran). Dalam kajian jab’r dan ikhtiar, beliau berkeyakinan bahwa manusia itu bebas untuk beramal. Abu Hanifah memperhatikan sumber perbuatan manusia dimana dalam hal ini beliau menyatakan: “Dalam kaitannya dengan qadha dan qadar, perbuatan manusia seperti pantulan cahaya matahari yang kembali ke matahari itu sendiri.” Di antara ciri khas fatwa yang dikeluarkan Abu Hanifah yang dicatat oleh para peneliti dan para fukaha adalah transparansi, ketegasan dan toleransi.
Dalam perkembangannya Abu Hanifah memiliki banyak sekali murid, diantara murid-muridnya; Zafar bin Hudail, Dawud ath-Thai, Abu Yusuf Qadhi’, Abu Muthi Balhi, Muhammad bin Hasan Syaibani, Asad bin Amr Bajli, Hasan bin Ziyad Lu’lui dan putranya Humad bin Abu Hanifah, Abdullah bin Mubarak, Jarud Naisaburi, Abdul Karim Jarjoni, Abu Na’im dan Waki’.

Adapun karya-karyanya seperti dalam ilmu hadis kitab “Musnad” yang dikumpulkan oleh murid-muridnya; “al-Maharij” dalam bidang fikih yang merupakan periwayatan Abu Yusuf dari beliau. Sebagian orang menisbatkan beberapa kitab yang salah kaprah kepada Abu Hanifah, diantaranya “Fiqh Akbar” yang menjelaskan akidah asli Abu Hanifah, “al-A’lim wal Muta’alim” dan “Fiqh al Absath”.
Dalam bidang fikih, Abu Hanifah menjadi pelopor utama dari empat fukaha Ahlusunnah yang secara tertib nama-nama mereka sebagai berikut ini:

1.
Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit
2.
Malik bin Anas
3.
Muhammad Idris Syafi’i
4.
Muhammad bin Hambal

Pengikut Abu Hanifah terkenal dengan sebutan Mazhab Hanafi.
Berikut ini adalah guru-guru Abu Hanifah:

1.
Akromah Maula Abdullah bin Abbas wafat 104 H
2.
Atho’ bin Abu Rubah wafat 114 H
3.
Na’fi Maula Ibn Umar wafat 117 H
4.
Hamad bin Abu Sulaiman wafat 129 H.

Murid-murid
Diantara murid-muridnya yang ternama antara lain:


1.
Za’far bin Zuhail wafat 158 H
2.
Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Anshari Wafat 182 H
3.
Muhammad bin Hasan Syi’bani wafat 189 H
4.
Dawud Thai’
5.
Asad bin Amr’
6.
Hasan bin Ziyad Lu’lu’i Kufi wafat 204 H.

Referensi :

1.
Dr. Fuad, Abdulnabi, Muhammad (al-Lu’Lui wal Murjan) didalam “Ihya Kutubul ar-Ba’ah”, cetakan Damaskus, tahun terbit 1900 M.
2.
Dr. Syukah, Mustafa, “A’imatul ar-ba’ah”, cetakan Beirut, tahun terbit 1985.
3.
Kamus “Ibn Nadhim”.
4.
Kardari, “Manaqibul Imamul A’dzham”.
5.
Khotib Bagdadi, “Thariqh Bagdad” jilid 13.

Imam Syafi’i Antara Konservatif dan Pembatasan Ruang Lingkup Sunah



Sosok Imam Syafi’i berbeda dengan sebagian besar fukaha dekade abad kedua Hijriah. Bisa dikatakan bahwa fukaha di era itu merupakan produk lokal, namun tidak demikian halnya dengan Imam Syafi’i. Sebab beliau mencari ilmu keliling ke manca negara, seperti Mekkah, Madinah, Yaman dan Irak. Sehingga pelbagai tempat yang dikunjunginya tersebut sedikit-banyak mempengaruhi pemikiran fikih Imam Syafi’i. Dan hal ini tampak pada karya-karya yang ditulisnya.


Dalam perjalanan keduanya ke kota Irak, Imam Syafi’i untuk pertama kalinya merumuskan sistem kaidah fikih yang tersusun secara sistematik dan memiliki metodologi yang bagus; dimana secara umum pendekatan yang dilakukannya sesuai dengan pendekatan tradisional yang digagas ashabul hadis (mereka yang menjadikan sunah Nabi saw sebagai pijakan). Selama di kota Irak beliau juga menulis kitab “ar-Risalah” yang berkaitan dengan pembahasan ilmu ushul (metodologi hukum Islam). Kemudian beliau menyelesaikan karyanya tersebut di Mesir.
Kalau kita membandingkan metodologi yang dikembangkan Imam Syafi’i dengan metodologi fukaha sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, maka Imam Syafi’i menjadikan hadis sebagai cermin utama dalam sistem fikih yang dikembangkannya. Dan bertumpu pada hadis ini sampai berkonsekuensi pada pembatasan merujuk langsung kepada Al Qur’an. Sehingga kemudian fikih Syafi’i terkenal dengan sebutan fikih “hadis sentris”.
Adapun pendapat Imam Syafi’i berkenaan dengan kitab Allah (Al-Qur’an), beliau berpendapat bahwa keumuman makna tekstual Al-Qur’an tidak dapat dijadikan sandaran ketika berhadapan dengan pengkhususan yang ada dalam sunah, tapi pengkhususan yang ada dalam sunah dapat dijadikan dalil dalam memaknai ungkapan umum yang ada dalam Al-Qur’an.
Pemikiran Imam Syafi’i yang meyakini bahwa sunah Nabi merupakan penafsir makna lahiriah Al-Qur’an dalam prakteknya membatasi berpegangan dengan tekstual Al-Qur’an. Bahkan lebih jauh dari masalah pengkhususan, terkadang dalam beberapa contoh, seperti ayat tasmiyah (membaca basmalah saat menyembelih hewan): “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (QS. Al-An’am: 121) Imam Syafi’i dengan berpijak pada hadis Nabi dan menggunakan takwil secara linguistik mengesampingkan makna lahiriah Al-Qur’an dimana beliau membolehkan untuk secara sengaja tidak menyebut basmalah ketika menyembelih binatang.
Masalah hadis-hadis yang kontradiktif atau terkenal dengan istilah “ikhtilaf al hadist”` mendapat tempat yang istimewa dalam fikih Syafi’i. Beliau berusaha keras untuk mengumpulkan antara pelbagai hadis yang bertentangan satu sama lain dan cara untuk mengatasi kontradiksi dijelaskannya secara ringkas dalam kitab “ar risalah” dan secara terperinci dalam “ikhtilaf al hadist”`.
Berkaitan dengan riwayat sahabat dan tabi’in, Imam Syafi’i menganggap—dengan mengemukakan defenisi yang sempit dari sunah—hanya hadis marfu’ yang bisa mewakili sunah. Sikap beliau ini sangat berbeda dengan metode para fukaha sebelumnya seperti Malik dan Auzai dimana mereka bertaklid kepada para sahabat dan bahkan terkadang mengutamakan pendapat/riwayat mereka ketimbang hadis marfu’. Dan dalam hal ini Imam Syafi’i pun tidak mengecualikan siroh (perilaku) Syaikhan.

Dalam kaitannya dengan Ijma, Imam Syafi’i menilai bahwa “ijma seluruh umat” merupakan dalil syar’i yang dapat dijadikan sandaran. Beliau berpendapat bahwa ijma tidak mungkin bertentangan dengan sunah nabawi, namun terkadang beliau menganggap ijma yang menentukan hadis fikih atau menyimpangkan indikasi makna zahirnya ke makna “muawwal” (yang ditakwilkan) merupakan suatu hujah (dalil/bukti).
Berkaitan dengan ijtihad dan qiyas, perlu dicatat di sini bahwa Imam Syafi’i disamping menegaskan bahwa qiyas merupakan suatu hujah (dalil), beliau juga menolak segala bentuk penggunaan pendapat dalam fikih dan pendapat yang dilandasi qiyas. Beliau menilai bahwa ijtihad yang sah sama dengan qiyas. Dalam pandangan teori fikih Syafi’i, qiyas merupakan dalil yang paling rendah dan penggunaannya terbatas hanya pada kasus-kasus darurat dan ketiadaan nas. Namun dalam prakteknya, Imam Syafi’i terkenal sebagai pengguna qiyas sebagaimana halnya Abu Hanifah yang terkenal memiliki pendapat yang dipengaruhi secara kental oleh penalaran. Dalam kaitannya dengan istihsan, beliau mengkritik keras metode istihsan dalam ucapannya yang terkenal: “Barangsiapa melakukan istihsan maka sesungguhnya ia telah menetapkan sebuah syariat.”