Senin, 25 Januari 2010

Hubungan Antara Maturidiyah dan Asya`irah



Sepanjang kesaksian sejarah, pada masa kekhalifahan Muawiyah, umat Islam dikenal dalam dua kelompok, yaitu Alawiyah dan Utsmaniyah. Setelah itu, akibat beberapa peristiwa, di masa Umar bin Abdulaziz (versi pertama), atau di masa kekhalifahan Bani Abbas (versi kedua), istilah Ahlussunnah disematkan kepada Utsmaniyah (para pengikut Utsman), sementara Alawiyah (para pengikut Ali) tetap disebut dengan nama pertama mereka, yaitu Syiah.


Secara umum, umat Islam dibagi menjadi dua kelompok utama: Ahlussunnah dan Syiah.
Ahlussunnah bercabang kepada beberapa mazhab kalam (teologi), yang terpenting di antaranya adalah Mu`tazilah, Ahlul hadits (hadis centris), Asya`irah, Maturidiyah, dan Wahabiyah. Mu`tazilah adalah hasil dari pertentangan antara keyakinan Khawarij dan Murjiah.
Sebelum mazhab kalam Asya`irah dan Maturidiyah muncul, komunitas Ahlussunnah mengikuti dua mazhab Mu`tazilah dan Ahlul hadits atau Hanbaliyah. Akibat pertentangan keyakinan antara Mu`tazilah dan Ahlul hadits, para ulama Ahlussunnah berinisiatif untuk mereformasi mazhab mereka, khususnya untuk menghadapi prinsip-prinsip kalam Mu`tazilah. Buah dari reformasi ini, adalah kemunculan dua mazhab baru bernama Asya`irah dan Maturidiyah. Sehingga di masa ini, istilah Ahlussunnah wal Jama`ah khusus diberikan kepada dua mazhab terakhir ini.
Pendiri mazhab Asya`irah adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Asy`ari. Ia lahir pada tahun 260 H di Bashrah dan wafat tahun 324 H di Baghdad. Sampai usia empat puluh tahun, ia adalah salah satu murid Abu Ali Jubai yang mendukung mazhab Mu`tazilah. Abu Hasan Asy`ari keluar dari mazhab Mu`tazilah pada tahun 300 H. Setelah mengadakan beberapa perbaikan dalam ajaran Ahlul hadits, Abu Hasan Asy`ari mendirikan mazhab baru, yang berlawanan dengan Ahlul hadits dan juga Mu`tazilah. Dalam bidang fikih, Abu Hasan Asy`ari mengikuti mazhab Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian besar pengikutnya juga berkiblat kepada Imam Syafi`i dalam masalah hukum.
Sezaman dengan mazhab Asya`irah, Maturidiyah didirikan oleh Abu Manshur Muhammad bin Muhammad Maturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi.
Ada banyak kesamaan antara dua mazhab ini. Keduanya termasuk dalam aliran Ahlussunnah. Terkait kepemimpinan para khalifah setelah Nabi saw sesuai urutan historis yang telah terjadi, keduanya memiliki pandangan serupa. Juga tak ada perbedaan dalam pandangan mereka terhadap para penguasa Bani Umayah dan Bani Abbas. Dalam semua sisi masalah imamah pun mereka saling sepakat. Keduanya juga sepaham bahwa Allah bisa dilihat tanpa kaif (cara), had (batas), qiyam (berdiri) wa qu`ud (duduk) dan hal-hal sejenisnya. Berbeda dengan Hasyawiyah dan Ahlul hadits yang berpendapat bahwa Allah, seperti selain-Nya, bisa dilihat dengan kaif dan had. Dalam hal kalam Allah (Al-Quran), kedua mazhab ini juga memiliki pandangan sama, yaitu bahwa kalam-Nya memiliki dua tingkatan. Pertama adalah kalam nafsi yang bersifat qadim (dahulu), dan kedua adalah kalam lafdhi (lafal) yang bersifat hadits (baru). Ini adalah pendapat moderat dari kedua mazhab ini, yang berada di antara pendapat Mu`tazilah bahwa kalam Allah hadits secara mutlak, dan pendapat Ahlul hadits bahwa kalam-Nya qadim secara mutlak. Ringkas kata, Asya`irah dan Maturidiyah memiliki banyak kesamaan pandangan dalam masalah akidah. Namun, di saat yang sama, ada pula beberapa perbedaan dalam prinsip-prinsip teologis dua mazhab ini, yang membedakan mereka satu sama lain.
Dalam rangka mereformasi dan mengembangkan akidah Ahlussunnah di hadapan Mu`tazilah, Abu Hasan Asy`ari menempuh jalan Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam banyak kasus, ia memilih sikap jumud `ala dhawahir (hanya memerhatikan sisi lahiriah) dan jarang menggunakan akal dan argumentasi. Namun Abu Manshur Maturidi menjadikan metode Abu Hanifah sebagai dasar teologi Ahlussunnah dan banyak menggunakan argumentasi rasional. Perbedaan mendasar dalam metode ini pula yang memunculkan perbedaan pendapat antara teologi Maturidiyah dan Asya`irah dalam sebagian masalah. Karena itu, metode Maturidiyah lebih jauh dari tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk) dan tajsim (menganggap Tuhan memiliki bentuk seperti materi) serta lebih dekat kepada tanzih (penyucian). Sementara metode Asya`irah lebih condong kepada tasybih dan tajsim.
Parameter utama dalam perbedaan mazhab-mazhab Ahlussunnah adalah masalah husn wa qubh `aqli (baik dan buruk rasional) dan persoalan-persoalan terkait akal dan argumen rasional. Jika Mu`tazilah disebut sebagai simbol husn wa qubh `aqli, maka Maturidiyah berada di tingkat kedua, Asya`irah di tingkat ketiga, sementara Hasyawiyah menolak sepenuhnya masalah husn wa qubh `aqli. Sedangkan Wahabiyah adalah mazhab baru gabungan dari Hasyawiyah dan Hanbaliyah.
Perbedaan-perbedaan antara Maturidiyah dan Asya`irah bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
Terkait sifat-sifat khabariyah (sifat-sifat Alah yang tersebut dalam Al Qur'an, seperti yadullah [tangan Allah] dll), Asya`irah meyakini makna lahiriah ayat tanpa takwil dan tafwidh (menyerahkan maknya kepada Allah), sedangkan Maturidiyah menerima tafwidh dan menolak takwil. Sementara prinsip Mu`tazilah dalam masalah ini adalah menakwilkan sifat-sifat khabariyah.
Asya`irah menganggap makrifat Allah wajib berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, sementara Maturidiyah, seperti halnya Mu`tazilah, berpendapat bahwa kewajiban mengenal Allah bersifat rasional.
Karena Asya`irah mengingkari husn wa qubh `aqli, maka mereka berpendapat bahwa perbuatan Allah tidak berlandaskan tujuan. Namun Maturidiyah mengatakan bahwa perbuatan Allah berasaskan maslahat, sebab mereka menerima konsep husn wa qubh `aqli dalam sebagian tingkatannya.
Asya`irah berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, sementara manusia adalah wadah bagi perbuatan-Nya. Untuk menghindar dari problem jabr (determinasi), mereka mengemukakan solusi ‘kasb’. Maturidiyah menolak tafwidh (manusia bertindak bebas dan menafikan intervensi kekuasaan Tuhan) Mu`tazilah serta jabr Ahlul hadits dan Asya`irah. Mereka berpendapat bahwa meski perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, namun di saat yang sama, ia adalah pelaku dan kasib (hasil) perbuatannya sendiri.
Seperti kaum `Adliyyin, Asya`irah membagi sifat-sifat Allah kepada dzati dan fi`li. Namun Maturidiyah menolak pembagian ini dan menyatakan bahwa semua sifat fi`li-Nya qadim seperti sifat dzati.
Asya`irah mengatakan bahwa Allah mustahil membebankan taklif yang tak mampu dilakukan manusia, sementara Maturidiyah berpendapat sebaliknya.
Asya`irah meyakini bahwa semua yang dilakukan Allah adalah baik, sedangkan Maturidiyah, berdasarkan hukum akal, berpandangan bahwa Dia mustahil berbuat zalim.
Kesimpulannya, meski Asya`irah dan Maturidiyah tergabung dalam kelompok Ahlussunnah dan banyak memiliki kesamaan, namun mereka juga memiliki perbedaan pendapat dalam sebagian masalah.

Abadhiyah: Aliran Islam Yang Nyaris Tak Terdengar



Abadhiyah adalah nama golongan yang memberontak kepada khalifah masa itu (Sayidina Ali bin Abi Thalib) pasca perang Shiffin dan polemik hakamiyah (perihal menjadikan Al-Quran sebagai hakim). Saat itu, Abu Musa Asy`ari sebagai duta Ali dan `Amr bin `Ash sebagai duta Muawiyah, duduk bersama menelaah Al-Quran dan sunah Rasul saw untuk memutuskan kebenaran di pihak Ali atau Muawiyah. Ketika duta Syam menipu duta Irak dan orang-orang Irak sadar mereka telah dikecoh `Amr bin `Ash, mereka memprotes Sayidina Ali lantaran sikap beliau menerima hakamiyah. Mereka lalu membentuk kelompok tersendiri dan melawan Sayidina Ali. Mulanya, jumlah mereka hanya sedikit. Namun, jumlah mereka kian bertambah dari hari ke hari. Akhirnya, mereka berkumpul di suatu tempat bernama Harura. Mereka berperang melawan Sayidina Ali dan menelan kekalahan.


Abadhiyah (atau Ibadhiyah) adalah salah satu kelompok sempalan Khawarij yang berafiliasi kepada Abdullah bin Abadh Tamimi. Kelompok ini adalah salah satu kelompok tertua dalam sejarah Islam. Kendati kelompok ini adalah minoritas di tengah kaum Muslimin, namun aliran ini penting untuk dikaji dari sudut pandang sejarah dan penilaian berbagai mazhab Islam terhadapnya.
Hingga sekarang, komunitas Abadhiyah relatif hidup terpencil dan tidak begitu dikenal. Karena itu, mereka bisa disebut sebagai kelompok yang kurang atau relatif tidak dikenal.
Yang bisa disimpulkan dari sejarah adalah bahwa Abadhiyah muncul pada peristiwa pembangkangan Khawarij terhadap Sayidina Ali di perang Shiffin. Mereka lalu membentuk kelompok independen lantaran pengaruh pandangan-pandangan Abu Bilal Mardas bin Adyah. Mereka memisahkan diri dari kelompok-kelompok ekstrem Khawarij seperti Azariqah. Abu Bilal adalah poros tengah antara kelompok induk Khawarij dan kelompok-kelompok moderat. Pasca syahidnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Khawarij melakukan beberapa pemberontakan terhadap penguasa, salah satunya di bawah kepemimpinan Abu Bilal Mardas di masa Yazid bin Muawiyah. Di tahun 58 H, setelah dibebaskan dari penjara Ubaidillah bin Ziyad, Abu Bilal beserta tiga puluh pengikutnya keluar dari Bashrah dan menuju Ahvaz, atau lebih tepatnya, Asak. Pengikutnya di sana bertambah menjadi 40 orang. Ubaidillah lalu mengutus Aslam bin Zur`ah bersama dua ribu prajurit untuk menghentikan Abu Bilal dan pengikutnya. Sebelum pertempuran dimulai, Abu Bilal berkata kepada musuhnya, ”Kenapa kalian memerangi kami? Kami tidak berbuat kerusakan di muka bumi dan tidak pernah menghunus pedang di hadapan orang lain.” Alhasil, perang tetap terjadi dan 40 orang Khawarij berhasil mengalahkan pasukan Khalifah dan memaksa mereka melarikan diri. Di tahun berikutnya, Ubaidillah mengutus pasukan lain berjumlah 4000 orang untuk menumpas mereka. Pertempuran terjadi di hari Jumat di Darabjard Fars. Mulanya, pasukan Khalifah tidak memperoleh kemajuan. Saat waktu shalat (Jumat) tiba, Abu Bilal mengirim pesan untuk menunda pertempuran demi melaksanakan shalat. Namun, ketika pasukan Khawarij sedang melakukan shalat, pihak musuh menyerbu dan membunuh mereka semua, termasuk Mardas.
Setelah kematian Abu Bilal, Khawarij berkumpul di Bashrah untuk berjihad. Mereka lalu menuju Ahvaz bersama Nafi` bin Arzaq. Namun, kelompok yang tidak setuju melakukan pemberontakan, bersikukuh tinggal di Bashrah di bawah kepemimpinan Abdullah bin Abadh. Abdullah bin Abadh berasal dari kabilah Bani Tamim, atau menurut Thabari, dari Bani Shirm. Dia adalah seorang yang berwawasan dan moderat. Semenjak awal, dia tidak menyetujui sikap ekstrem sebagian Khawarij. Ia memisahkan diri dari mereka dan memilih jalan tengah.
Tidak ada data akurat terkait tanggal kelahiran dan kematian Abdullah bin Abadh. Dia adalah peletak fondasi akidah dan fikih mazhab Abadhiyah. Ia senantiasa diagung-agungkan oleh para pengikutnya. Dalam referensi-referensi Abadhiyah, ia disebut sebagai pembesar kaum, junjungan Muslimin, dan pemuka ahli tahqiq. Yang bisa dipastikan dari peristiwa-peristiwa yang terkait dengan kehidupan Abdullah adalah, setelah terbunuhnya Abu Bilal, Ubaidillah bin Ziyad mengirim pasukan ke Mekkah untuk menumpas habis Khawarij. Kaum Khawarij berjuang mempertahankan Mekkah dan berhasil mengalahkan pasukan Syam. Abdullah bin Abadh juga turut berperan dalam pertempuran ini.
Di abad-abad terdahulu, pengikut Abadhiyah hidup dalam wilayah yang amat luas. Beberapa kelompok dari mereka masih bertahan hingga sekarang. Mereka menetap di Oman, Tanzania (Zanjibar), dan Afrika Utara. Di masa kita sekarang, Abadhiyah adalah mazhab yang dianut mayoritas rakyat dan suku Oman. Kecenderungan masyarakat Oman kepada mazhab Abadhiyah bermula semenjak awal terbentuknya mazhab ini. Pada permulaan gerakan dan perang Khawarij melawan dinasti Bani Umayah, sebagian pemuka kelompok Abadhiyah datang ke Oman. Mereka menyebarkan ajaran Abadhiyah dan memperoleh banyak pengikut. Ketika Jabir bin Zaid diasingkan oleh Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi dari Bashrah ke Oman, penduduk Oman menyambut dakwah Abadhiyah. Sebab, Jabir berasal dari suku Azd yang merupakan suku mayoritas di Oman. Selain itu, pandangan moderat pemimpin Abadhiyah, yaitu Jabir bin Zaid, juga turut mempengaruhi sambutan rakyat Oman.
Terputusnya silsilah dinasti Bani Umayah di tahun 132 H/750 M dan kekacauan di pemerintah pusat, memberi peluang kepada pengikut Abadhiyah di Oman untuk mewujudkan mimpi membentuk pemerintahan. Mereka lalu mengangkat Jalandi bin Mas`ud bin Jaifar bin Jalandi Azdi sebagai imam bagi pengikut Abadhiyah di Oman.
Kelompok-kelompok Abadhiyah
Abadhiyah juga tak lepas dari penyempalan dan perpecahan. Ada beberapa kelompok dengan beragam kecenderungan yang menyempal dari mereka. Penyempalan ini disebabkan perbedaan kultur, politik, dan sosial di antara mereka. Berikut ini beberapa kelompok cabang dari Abadhiyah:
* Wahbiyah: Kelompok ini salah satu dari kelompok-kelompok utama Abadhiyah. Sebagian besar pengikut Abadhiyah berafiliasi kepada kelompok ini.
* Ibrahimiyah: Kelompok ini dinisbatkan kepada seorang penduduk Madinah bernama Ibrahim. Kemunculan kelompok ini bermula dari fatwa Ibrahim terkait dibolehkannya menjual hamba sahaya wanita Muslim kepada orang kafir (selain Abadhiyah). Ia juga melakukan hal serupa terhadap budak wanitanya. Salah satu pengikutnya yang bernama Maimun memprotes dan berpendapat bahwa ini tidak boleh dilakukan. Ibrahim lalu berargumen dengan ayat 275 surah Al-Baqarah bahwa Allah menghalalkan segala bentuk jual-beli. Namun, argumen ini tidak memuaskan Maimun dan ia pun memisahkan diri dari Ibrahim.
* Maimuniyah: Kelompok ini muncul setelah Maimun memisahkan diri dari kelompok Ibrahim.
* Hafshiyah: Mereka adalah pengikut Hafsh bin Abi Miqdam. Fakhrurrazi mengatakan bahwa kunyah (julukan)nya adalah Abu Ja`far. Hafshiyah berpendapat bahwa fondasi iman hanya berupa pengenalan terhadap Allah semata.
* Haritsiyah: Mereka adalah pengikut Harits Abadhi yang menganut pandangan Mu`tazilah dalam masalah takdir.
* Yazidiyah: Para pengikut Yazid bin Anis yang berpendapat bahwa Islam akan dihapus di akhir zaman dan ada nabi yang akan datang dari kaum Ajam (non-Arab).

Asya`irah Dalam Sorotan



Asya`irah adalah sebutan bagi para pengikut Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Asy`ari.
Tolak Ukur utama dalam meneliti proses terbentuknya Asya`irah adalah kinerja mazhab Mu`tazilah. Dijadikannya perubahan sebagai landasan penyingkapan hakikat oleh Mu`tazilah dan perselisihan mereka dengan para fukaha dan ahli hadis, memicu penentangan terhadap Mu`tazilah. Hingga akhirnya, dengan adanya provokasi dari pihak Mutawakkil, kelompok Mu`tazilah dikucilkan dan kemudian lahirlah kelompok moderat, yaitu Asya`irah.


Asya`irah menjadikan dalil rasional (`aqli) sebagai sarana pembuktian ajaran akidah konvensional. Di penghujung abad keenam, ada tiga tokoh yang memilih metode ini, yaitu Abu Al-Hasan Asy`ari di Baghdad, Thahawi (wafat 331 H) di Mesir, dan Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) di Samarqand. Kendati terdapat perbedaan antara mereka, namun mereka sepakat untuk sama-sama menentang Mu`tazilah.
Abu Al-Hasan Asy`ari lahir di Bashrah tahun 260 H. Garis keturunannya sampai kepada Abu Musa Asy`ari, salah seorang sahabat terkenal. Beliau adalah murid Abu Ali Jubai. Beliau mempelajari ilmu kalam (teologi) dari Mu`tazilah dan banyak menimba ilmu dari para fukaha dan ahli hadis. Setelah mengkaji hasil pelajaran terdahulunya, beliau lalu mengkritisi dan menolak sebagian keyakinan dirinya yang diambil dari Mu`tazilah. Di antara keyakinan terdahulunya adalah Al-Quran itu makhluk, kemustahilan melihat Allah, dan menghindari penisbatan keburukan kepada Allah. Kitab Al-Ibanah mengandung kritik-kritik Asy`ari terhadap Mu`tazilah. Dalam kitab itu, ia menyebut Mu`tazilah sebagai kelompok penakwil Al-Quran dan menyatakan kecenderungannya kepada Al-Quran, sunah, dan metode Ahmad bin Hanbal. Ibnu `Asakir menyebut judul 98 kitab yang ditulis Asy`ari hingga tahun 32 H. Empat karyanya yang terkenal adalah:
1. Al-Luma` fi Al-Rad `ala Ahl Al-Zaigh wa Al-Bida`.
2. Al-Ibanah fi Ushul Al-Diyanah.
3. Istihsan Al-Khaudh fi `Ilm Al-Kalam.
4. Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Mushallin.
Tiga kitab pertama seputar ilmu kalam dan kitab keempat tentang pengenalan mazhab-mazhab. Judul yang dipilih untuk kitab keempat menunjukkan sikap moderat dan toleransi Asy`ari.
Pandangan-pandangan Asy`ari
Asy`ari memilih metode `aqli-naqli (kombinasi akal dan riwayat) sebagai metode yang moderat. Misalnya, dalam bab tauhid, ia meyakini penambahan sifat atas zat Allah. Sikap moderat ini tampak dalam pandangan-pandangannya. Secara umum, Asya`irah membuktikan keberadaan Tuhan dengan tiga cara: naqli, `aqli, dan qalbi (hati) yang mirip dengan metode sufi Imam Ghazali dan Fakhrudin Razi. Berdasarkan pendapat Fakhrudin Razi, ada dua argumen filosofis, yaitu Burhan Imkan Al-Ajsam (argumentasi kemungkinan keberadaan materi) dan Imkan Al-A`radh (kemungkinan sifat), serta dua argumen teologis, yaitu Burhan Huduts Al-Ajsam (argumentasi barunya materi) dan Huduts Al-A`radh (barunya sifat), yang semua ini digunakan Asya`irah untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Terkait pengenalan Tuhan, sebagian Mu`tazilah (seperti Juwaini dan Ghazali) berpendapat bahwa hal ini tidak mungkin, sementara sebagian yang lain (seperti Baqalani) berpandangan sebaliknya.
Sifat-sifat Allah: Sifat-sifat Allah ada tiga bagian, yaitu salbi (negatif), tsubuti (tetap), dan ikhbari, yaitu seperti sifat manusia (misalnya, memiliki mata dan tangan). Asy`ari berpendapat bahwa bagian yang ketiga harus diyakini secara bila kaif (tanpa cara dan bagaimana), sebab substansi sifat-sifat ini tidak jelas bagi kita.
Determinasi (Jabr) dan Ikhtiar: Dalam masalah ini, demi menjaga sisi qadha dan qadar Allah serta ikhtiar manusia, Asya`irah mengemukakan pandangan kasb (usaha) yang merupakan istilah Al-Quran. Penafsiran mereka tentang kasb adalah sebagai berikut: Kemampuan (qudrah) ada dua macam, yaitu qadim/lama (yang merupakan milik Allah dan berperan dalam penciptaan perbuatan) dan hadits/baru (yang merupakan milik hamba). Satu-satunya fungsi kemampuan hadits adalah bahwa hamba merasakan kebebasan dalam dirinya. Oleh karena itu, makna kasb al-fi`l adalah berbarengannya penciptaan perbuatan dengan penciptaan kemampuan hadits pada diri manusia. Tentunya, Asy`ari menyebut kasb sendiri sebagai ciptaan Allah. Beliau berpendapat bahwa orang yang melakukan kasb adalah tempat Allah mewujudkan perbuatan-Nya dan orang itu berperan sebagai sarana perbuatan Allah.
Baik dan buruknya perbuatan (husn wa qubh): Asy`ari menyebut tiga makna baik dan buruknya perbuatan dan memilih makna ketiga sebagai makna yang benar. Tiga makna itu adalah:
1. Kesempurnaan dan kekurangan.
2. Mengandung maslahat atau madharat.
3. Layak dipuji atau dicela. Menurutnya, tidak ada perbuatan yang layak dipuji atau dicela secara mandiri. Hanya lantaran perintah dan larangan dari syariat-lah suatu perbuatan layak dipuji atau dicela.
Kosmologi: Meliputi dua masalah:

a) Struktur semesta: Asya`irah condong kepada teori atomisme (jauhar fard). Melalui teori ini, Asya`irah mendapat peluang untuk membuktikan bahwa dunia itu hadits (baru) dan Allah sebagai satu-satunya Zat yang qadim (dahulu).
b) Mortalitas semesta: Asya`irah berpendapat bahwa semesta itu mortal. Mereka menyebut `aradh (sifat) mortal dan jauhar (esensi) imortal. Tujuan dari pandangan ini adalah pembuktian sifat qadim Allah dan peran abadi-Nya dalam segala perkara semesta.
Antropologi: Meliputi dua pandangan:
a) Hakikat manusia adalah jauhar (esensi) jasmani (Juwaini).
b) Hakikat manusia adalah esensi ruhani (Baqalani).
Tokoh-tokoh Asya`irah: Di antaranya adalah: Abu Bakar Baqalani (penulis Al-Tamhid), Imam Ghazali, Imam Al-Haramain Juwaini, Fakhrurrazi, Baidhawi, dan Sayyid Syarif Jurjani.
Mazhab kalam ini memiliki peran penting di tengah kaum Muslimin, kendati di masa Asy`ari sendiri tidak begitu mendapat perhatian khalayak. Pada hakikatnya, Asy`ari dikucilkan lantaran penentangan dan perselisihan sengitnya dengan ahlul hadits (para pendukung hadis). Namun belakangan, khususnya setelah era Imam Al-Haramain Juwaini dan dukungan dinasti Saljuqi di masa Khaje Nidham Al-Mulk Thusi terhadap mazhab ini, Asya`irah menjadi mazhab kalam yang dominan di tengah Ahlussunnah. Hingga sekarang pun, sebagian besar kaum Muslimin Ahlussunah di seluruh dunia, khususnya yang bermazhab Syafi`i dan Hanafi, merujuk dan mengacu kepada Asya`irah dalam masalah-masalah akidah.

Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit: Imam Agung Ahlusunnah



Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (80-150 H) yang terkenal dengan sebutan “Imamul A`dzham” (Imam Agung) adalah salah satu dari ulama besar dan termasuk fukaha terpandang Ahlusunnah. Nama lengkap beliau Abu Hanifah Nu’man Ibn Tsabit bin Nu’man bin Zuthi bin Marzaban Tsabit. Beliau keturunan Iran dan berasal dari kota Kabul. Kakek Abu Hanifah berasal dari mawali (budak yang dimerdekakan). Abu Hanaifah sendiri dilahirkan pada tahun 80 Hijrah di kota Kufah.


Dalam pandangan ulama Ahlusunnah, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit termasuk fukaha terbesar. Menurut keterangan dari Abu Hanifah sendiri, beliau pernah belajar fikih dan ushul kepada Imam Ja’far ash-Shadiq. Tetapi pendapatnya tersebut ditolak oleh kalangan Ahlusunnah. Banyak sekali riwayat yang menceritakan bahwa Abu Hanifah pernah berjumpa dengan Imam Bagir di kota Madinah dimana ayah dari Imam ash Shadiq ini mengatakan bahwa metodologi qiyas yang dianut oleh Abu Hanifah telah menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad.
Pada masa pemerintahan Mansur Abbasi, Abu Hanifah diminta agar menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut. Karena itu, beliau dijebloskan ke penjara dan disiksa. Akhirnya Abu Hanifah wafat di penjara pada tahun 150 H karena racun yang diberikan padanya.
Umumnya para ulama mengenal Abu Hanifah sebagai seorang fuka yang reformis. Berkaitan dengan istinbath hukum syar’i, beliau memiliki metodologi yang berbeda dengan para fukaha lainnya. Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah berkata: “Sekiranya Rasulullah berada di tengah-tengah kita sekarang ini, pastilah beliau akan mengatakan apa yang saya katakan.” Para pengikut Abu Hanifah menamakan mazhab dan metodologinya sebagai mazhab “ahli ra’yu” (mazhab pendapat). Sebab, Abu Hanifah cenderung mengedepankan pendapat pribadinya dimana setelah mengeluarkan suatu fatwa beliau mengatakan: Ini adalah pendapat kami. Abu Hanifah berbeda pendapat dengan para ahli hadis. Beliau lebih mendukung hadis-hadit yang mutawatir saja yang diriwayatkan oleh para tabi’in sedangkan hadis dan khabar mufrad dengan tegas ditolaknya. Seperti yang dituturkan oleh Ibnu Khaldun bahwasanya, dari sekian banyak hadis yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad hanya 17 hadis saja yang diterima/dipercaya oleh Abu Hanifah. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh latarbelakang beliau sebagai ahli kalam dimana hal ini mempengaruhi metodologi fikh yang dikembangkannya. Beliau menerima qiyas dan istihsan sebagai dasar dalam ijtihad.
Secara garis besar bahwa dasar-dasar Mazhab Hanafi bersandar kepada:
1. Al-Qur’an
2. Sunnah Rasulullah saw
3. Fatwa sahabat
4. Qiyas dan ra’yu (pendapat pribadi)
5. Istihsan
6. Ijma’
7. Urf’ (adat/tradisi yang berlaku dikalangan masyarakat Islam).
Berkaitan dengan masalah iman dan kufr (kekafiran), Abu Hanifah berpendapat bahwa keduanya tidak bertambah dan tidak berkurang. Dasar iman adalah tashdiq (pembenaran), sedangkan dasar kekafiran adalah inkar (pengingkaran). Dalam kajian jab’r dan ikhtiar, beliau berkeyakinan bahwa manusia itu bebas untuk beramal. Abu Hanifah memperhatikan sumber perbuatan manusia dimana dalam hal ini beliau menyatakan: “Dalam kaitannya dengan qadha dan qadar, perbuatan manusia seperti pantulan cahaya matahari yang kembali ke matahari itu sendiri.” Di antara ciri khas fatwa yang dikeluarkan Abu Hanifah yang dicatat oleh para peneliti dan para fukaha adalah transparansi, ketegasan dan toleransi.
Dalam perkembangannya Abu Hanifah memiliki banyak sekali murid, diantara murid-muridnya; Zafar bin Hudail, Dawud ath-Thai, Abu Yusuf Qadhi’, Abu Muthi Balhi, Muhammad bin Hasan Syaibani, Asad bin Amr Bajli, Hasan bin Ziyad Lu’lui dan putranya Humad bin Abu Hanifah, Abdullah bin Mubarak, Jarud Naisaburi, Abdul Karim Jarjoni, Abu Na’im dan Waki’.

Adapun karya-karyanya seperti dalam ilmu hadis kitab “Musnad” yang dikumpulkan oleh murid-muridnya; “al-Maharij” dalam bidang fikih yang merupakan periwayatan Abu Yusuf dari beliau. Sebagian orang menisbatkan beberapa kitab yang salah kaprah kepada Abu Hanifah, diantaranya “Fiqh Akbar” yang menjelaskan akidah asli Abu Hanifah, “al-A’lim wal Muta’alim” dan “Fiqh al Absath”.
Dalam bidang fikih, Abu Hanifah menjadi pelopor utama dari empat fukaha Ahlusunnah yang secara tertib nama-nama mereka sebagai berikut ini:

1.
Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit
2.
Malik bin Anas
3.
Muhammad Idris Syafi’i
4.
Muhammad bin Hambal

Pengikut Abu Hanifah terkenal dengan sebutan Mazhab Hanafi.
Berikut ini adalah guru-guru Abu Hanifah:

1.
Akromah Maula Abdullah bin Abbas wafat 104 H
2.
Atho’ bin Abu Rubah wafat 114 H
3.
Na’fi Maula Ibn Umar wafat 117 H
4.
Hamad bin Abu Sulaiman wafat 129 H.

Murid-murid
Diantara murid-muridnya yang ternama antara lain:


1.
Za’far bin Zuhail wafat 158 H
2.
Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Anshari Wafat 182 H
3.
Muhammad bin Hasan Syi’bani wafat 189 H
4.
Dawud Thai’
5.
Asad bin Amr’
6.
Hasan bin Ziyad Lu’lu’i Kufi wafat 204 H.

Referensi :

1.
Dr. Fuad, Abdulnabi, Muhammad (al-Lu’Lui wal Murjan) didalam “Ihya Kutubul ar-Ba’ah”, cetakan Damaskus, tahun terbit 1900 M.
2.
Dr. Syukah, Mustafa, “A’imatul ar-ba’ah”, cetakan Beirut, tahun terbit 1985.
3.
Kamus “Ibn Nadhim”.
4.
Kardari, “Manaqibul Imamul A’dzham”.
5.
Khotib Bagdadi, “Thariqh Bagdad” jilid 13.

Imam Syafi’i Antara Konservatif dan Pembatasan Ruang Lingkup Sunah



Sosok Imam Syafi’i berbeda dengan sebagian besar fukaha dekade abad kedua Hijriah. Bisa dikatakan bahwa fukaha di era itu merupakan produk lokal, namun tidak demikian halnya dengan Imam Syafi’i. Sebab beliau mencari ilmu keliling ke manca negara, seperti Mekkah, Madinah, Yaman dan Irak. Sehingga pelbagai tempat yang dikunjunginya tersebut sedikit-banyak mempengaruhi pemikiran fikih Imam Syafi’i. Dan hal ini tampak pada karya-karya yang ditulisnya.


Dalam perjalanan keduanya ke kota Irak, Imam Syafi’i untuk pertama kalinya merumuskan sistem kaidah fikih yang tersusun secara sistematik dan memiliki metodologi yang bagus; dimana secara umum pendekatan yang dilakukannya sesuai dengan pendekatan tradisional yang digagas ashabul hadis (mereka yang menjadikan sunah Nabi saw sebagai pijakan). Selama di kota Irak beliau juga menulis kitab “ar-Risalah” yang berkaitan dengan pembahasan ilmu ushul (metodologi hukum Islam). Kemudian beliau menyelesaikan karyanya tersebut di Mesir.
Kalau kita membandingkan metodologi yang dikembangkan Imam Syafi’i dengan metodologi fukaha sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, maka Imam Syafi’i menjadikan hadis sebagai cermin utama dalam sistem fikih yang dikembangkannya. Dan bertumpu pada hadis ini sampai berkonsekuensi pada pembatasan merujuk langsung kepada Al Qur’an. Sehingga kemudian fikih Syafi’i terkenal dengan sebutan fikih “hadis sentris”.
Adapun pendapat Imam Syafi’i berkenaan dengan kitab Allah (Al-Qur’an), beliau berpendapat bahwa keumuman makna tekstual Al-Qur’an tidak dapat dijadikan sandaran ketika berhadapan dengan pengkhususan yang ada dalam sunah, tapi pengkhususan yang ada dalam sunah dapat dijadikan dalil dalam memaknai ungkapan umum yang ada dalam Al-Qur’an.
Pemikiran Imam Syafi’i yang meyakini bahwa sunah Nabi merupakan penafsir makna lahiriah Al-Qur’an dalam prakteknya membatasi berpegangan dengan tekstual Al-Qur’an. Bahkan lebih jauh dari masalah pengkhususan, terkadang dalam beberapa contoh, seperti ayat tasmiyah (membaca basmalah saat menyembelih hewan): “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (QS. Al-An’am: 121) Imam Syafi’i dengan berpijak pada hadis Nabi dan menggunakan takwil secara linguistik mengesampingkan makna lahiriah Al-Qur’an dimana beliau membolehkan untuk secara sengaja tidak menyebut basmalah ketika menyembelih binatang.
Masalah hadis-hadis yang kontradiktif atau terkenal dengan istilah “ikhtilaf al hadist”` mendapat tempat yang istimewa dalam fikih Syafi’i. Beliau berusaha keras untuk mengumpulkan antara pelbagai hadis yang bertentangan satu sama lain dan cara untuk mengatasi kontradiksi dijelaskannya secara ringkas dalam kitab “ar risalah” dan secara terperinci dalam “ikhtilaf al hadist”`.
Berkaitan dengan riwayat sahabat dan tabi’in, Imam Syafi’i menganggap—dengan mengemukakan defenisi yang sempit dari sunah—hanya hadis marfu’ yang bisa mewakili sunah. Sikap beliau ini sangat berbeda dengan metode para fukaha sebelumnya seperti Malik dan Auzai dimana mereka bertaklid kepada para sahabat dan bahkan terkadang mengutamakan pendapat/riwayat mereka ketimbang hadis marfu’. Dan dalam hal ini Imam Syafi’i pun tidak mengecualikan siroh (perilaku) Syaikhan.

Dalam kaitannya dengan Ijma, Imam Syafi’i menilai bahwa “ijma seluruh umat” merupakan dalil syar’i yang dapat dijadikan sandaran. Beliau berpendapat bahwa ijma tidak mungkin bertentangan dengan sunah nabawi, namun terkadang beliau menganggap ijma yang menentukan hadis fikih atau menyimpangkan indikasi makna zahirnya ke makna “muawwal” (yang ditakwilkan) merupakan suatu hujah (dalil/bukti).
Berkaitan dengan ijtihad dan qiyas, perlu dicatat di sini bahwa Imam Syafi’i disamping menegaskan bahwa qiyas merupakan suatu hujah (dalil), beliau juga menolak segala bentuk penggunaan pendapat dalam fikih dan pendapat yang dilandasi qiyas. Beliau menilai bahwa ijtihad yang sah sama dengan qiyas. Dalam pandangan teori fikih Syafi’i, qiyas merupakan dalil yang paling rendah dan penggunaannya terbatas hanya pada kasus-kasus darurat dan ketiadaan nas. Namun dalam prakteknya, Imam Syafi’i terkenal sebagai pengguna qiyas sebagaimana halnya Abu Hanifah yang terkenal memiliki pendapat yang dipengaruhi secara kental oleh penalaran. Dalam kaitannya dengan istihsan, beliau mengkritik keras metode istihsan dalam ucapannya yang terkenal: “Barangsiapa melakukan istihsan maka sesungguhnya ia telah menetapkan sebuah syariat.”

Potret Imam Syafi'i


Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i yang kemudian terkenal dengan nama Imam asy-Syafi’i adalah pendiri dan pemimpin Mazhab Syafi’i dan Imam ketiga dalam mazhab Ahlusunnah. Nasab beliau sampai kepada Hasyim bin Abdul Muthalib kemenakan dari Hasyim bin ‘Abdu Manaf yang dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin Saib yang hidup sezaman dengan Rasulullah saw.

Kebanyakan ahli sejarah mencatat bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di kota Gaza, Palestina, namun ada juga yang berpendapat bahwa beliau lahir di Asqalan. Ada juga yang mengatakan Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H di Yaman dimana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Ahlusunnah yang bernama Imam Abu Hanifah.

Sejak kecil Syafi’i telah kehilangan ayahnya. Kala itu beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan serba kekurangan. Imam Syafi’i mempelajari fikih dan hadis ketika di Mekkah dan untuk beberapa waktu beliau juga belajar syair, sastra bahasa (lughat) dan nahwu di Yaman. Sampai pada suatu waktu atas saran Mus’ab bin Abdullah bin Zubair, beliau pergi ke Madinah untuk menekuni ilmu hadis dan fikih. Diusianya yang relatif muda (sekitar 20 tahunan), beliau telah belajar kepada Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki.

Imam Syafi’i menuturkan masa lalunya seperti ini: Sewaktu saya belajar, guru saya mengajarkan kepada saya tentang Al-Qur’an dan saya pun menghafalnya. Saya ingat waktu itu guru saya pernah berkata: ‘Tidak halal bagi saya sekiranya mengambil imbalan dari kamu.” Dengan alasan tersebut, akhirnya saya meninggalkan guru tersebut. Sejak itu saya mengumpulkan potongan tembikar, kulit dan pelepah kurma yang agak besar sebagai sarana yang saya pakai untuk menuliskan hadis. Akhirnya, saya pergi ke Mekkah. Aku tinggal bersama kabilah Hudail yang terkenal dengan kefasihannya selama 17 tahun. Setiap kali mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain, aku pun mengikuti jejak mereka. Saat aku pulang ke Mekkah, aku telah menguasai banyak sekali disiplin ilmu. Waktu itu aku bertemu dengan salah seorang pengikut Zubair lalu salah seorang dari mereka berkata kepadaku: “Sangat berat bagiku melihat Anda yang begitu jenius dan fasih namun Anda tidak mempelajari fikih.” Tak lama setelah itu, mereka membawaku ke tempat Imam Malik.

Saya telah memiliki buku “Al-Muwatho’” Imam Malik dan cuma dalam waktu sembilan hari aku telah mempelajarinya. Kemudian saya pergi ke Madinah untuk belajar dan menghadiri majlis taklim Imam Malik.”

Imam Syafi’i tetap tinggal di kota Madinah sampai saat wafatnya Malik bin Anas. Kemudian beliau pergi ke Yaman dan beliau menghabiskan aktivitasnya di sana. Penguasa Yaman pada waktu itu seorang yang zalim dan bekerja sama dengan pemerintahan Harun ar-Rasyid, Khalifah Abassiyah. Dalam kondisi seperti itu, penguasa menangkap Imam Syafi’i dengan alasan dikhawatirkan beliau akan memberontak bersama Alawiyyin (keturunan Ali bin Abi Thalib) lalu beliau dibawa kepada Harun ar-Rasyid, tetapi Harun ar-Rasyid membebaskannya.

Muhammad bin Idris untuk beberapa waktu pergi ke Mesir dan kemudian pada tahun 195 H beliau mendatangi Bagdad dan mengajar disana. Setelah dua tahun tinggal di Bagdad, beliau kembali ke Mekkah. Tak lama setelah itu, beliau pergi lagi ke kota Bagdad dan dalam waktu yang cukup singkat tinggal di Bagdad. Pada tahun 200 H di penghujung bulan Rajab di usia 54 tahun beliau meninggal dunia di Mesir. Tempat pemakamannya di Bani Abdul Hakam berdekatan dengan makamnya para syuhada dan menjadi tempat ziarah kaum Muslimin, khususnya kalangan Ahlusunnah.

Salah satu murid Imam Syafi’i yang terkenal adalah Ahmad bin Hanbal, pendiri Mazhab Hanbali.

Karya-karya Imam Syafi’i

Imam Syafi’i memiliki banyak sekali karya berharga, di antaranya adalah:

1. Al-Umm

2. Musnad as-Syafi’i

3. As-Sunnan

4. Kitab Thaharah

5. Kitab Istiqbal Qiblah

6. Kitab Ijab al-jum’ah

7. Sholatul ‘Idain

8. Sholatul Khusuf

9. Manasik al Kabir

10. Kitab Risalah Jadid

11. Kitab Ikhtilaf Hadist

12. Kitab Syahadat

13. Kitab Dhahaya

14. Kitab Kasril Ard

Berhubung pusat pengajaran beliau berada di kota Bagdad dan Kairo, maka melalui dua kota tersebut secara perlahan Mazhab Syafi’i disebarkan oleh murid-muridnya ke negeri-negeri Islam lainnya, seperti Syam, Khurasan dan Mawara’u Nahr. Tetapi pada abad ke-5 dan ke-6 terjadi konflik keras antara para pengikut Syafi’i dan pengikut Hanafi di Bagdad dan juga pengikut Syafi’i dan Hanafi di Isfahan. Begitu juga para pengikut Syafi’i sempat bentrok dengan dengan para pengikut Syiah dan Hanafi pada zaman Yaqut dimana setelah itu mereka menguasai kota Rei.

Mazhab Syafi’i lebih dikenal dengan perpanduan antara ahli qiyas dan ahli hadis. Mazhab Syafi’i sekarang tersebar di Mesir, Afrika Timur, Afrika Selatan, Arab Saudi bagian Barat dan Selatan, Indonesia, sebagian dari Palestina dan sebagian dari Asia Tengah, khususnya kawasan Kurdistan.

Di antara ulama-ulama pengiku Mazhab Syafi’i yang terkenal adalah: Nasai’, Abu Hasan Asy’ari, Abu Ishaq Shirazi, Imamul Haramain, Abu Hamid Ghazali, dan Imam Rafi’i.

Minggu, 24 Januari 2010

Problema Kontemporer Dunia Islam



nabi ulul azmi menabuh gendrang dakwah untuk pertama kalinya, saat itu pula mereka menghadapi berbagai kendala dan konspirasi dari para pemuka orang-orang kafir dan penentang hak-hak manusia, Masalah ini menandai dimulainya konfrontasi abadi antra front kebenaran dan kebatilan sepanjang sejarah dimana hal ini tak dapat dihindari, kapan pun dan dimana pun. Namun perlu dicatat di sini bahwa tak ada satu pun dari agama samawi dan para pembawa pesannya yang menghadapi cobaan begitu berat dan pedih seberat dan sepedih apa yang dirasakan oleh Islam dan Nabi Muhammad saw. Berkaitan dengan hal ini, Nabi Muhammad saw bersabda: “Tidak ada satu nabi pun yang disakiti sebagaimana aku disakiti.”1


Sejak Nabi saw mendeklarasikan pesan: “Katakanlah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, niscaya kalian selamat” lalu beliau berdakwah secara terang-terangan, para pemuka kafir membentuk kekuatan dan front bersama untuk menghadapi dakwah ini dan mereka selalu berusaha untuk melenyapkannya. Dengan menutup mata atas semua perbedaan internal yang ada di antara mereka sendiri, pelbagai kekuatan batil hanya memfokuskan pada tujuan bersama mereka, yaitu mencegah tersebarnya pesan Islam ini dan kemudian menghancurkannya.
Salah satu perang yang dikobarkan untuk menentang kaum Muslimin adalah peperangan yang terkenal dengan dengan sebutan perang Ahzab. Dinamakan perang Ahzab karena dalam perang ini seluruh pembesar kafir bersatu padu untuk melenyapkan Islam yang baru dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki.
Keistimewaan dan rahasia apa yang dimiliki ideology Islam sehingga membuat pelbagai kekuatan kebatilan kebakaran jenggot dan meradang seperti ini?
Tak diragukan lagi bahwa pesan abadi dan pembebas "kalimat tauhid-lah” yang menjadikan para pembesar kafir dan para tiran meradang dan gregetan alias gemas. Pesan inilah yang menafikan seluruh tuhan buatan dan pelbagai kekuatan palsu dan hanya mengakui secara resmi keberadaan satu Tuhan, Pencipta semesta alam. Pesan inilah, sebagaimana saat turunnya, mampu menghancurkan semua infrastruktur yang salah,pelbagai tradisi dan budaya sesat yang telah mengakar dalam masyarakat di waktu itu dan membebaskan manusia di zaman itu dari pelbagai rantai yang membelenggu mereka dan melapangkan jalan kebangkitan dan penentangan kelompok tertindas terhadap pemegang kekuasaan yang zalim, hari ini pun bak pelita yang tetap menyala di tangan para pencari jalan kebenaran dan kaum tertindas.
Para tiran di zaman Nabi saw dengan baik menyadari realita ini, yaitu bila agama baru dan budaya yang agung serta pembebas ini dibiarkan tumbuh dan berkembang secara normal dan aman-aman saja di tengah masyarakat, maka ini akan berdampak pada goncangnya singgasana kekuasaan mereka. Dan inilah kenyataan yang sekarang dikhawatirkan oleh dunia kafir dan kekuatan adi daya. Dan masalah inilah yang memicu bersatunya pelbagai kekuatan sesat dan batil sepanjang sejarah manusia guna menentang para nabi dan utusan Allah.
Jadi, dapat dikatakan bahwa bahwa problem antara Islam dan kafir merupakan manifestasi dan lanjutan dari permusuhan antara front kebenaran dan kebatilan. Dan pembahasan yang kami kemukakan sekarang dalam artikel ini berkaitan dengan problematika kontemporer dunia Islam dan mengenal hakikatnya supaya kita dapat menemukan jalan/solusi untuk mengatasinya. Sebab, tanpa mengenal dan menyingkap pelbagai problematika secara benar maka kita tidak mungkin dapat memecahkan dan menyikapinya secara bijak dan dewasa.
Problematika Kontemporer:
Masa yang kami maksudkan di sini dimulai dari sejak jatuhnya Dinasti Usmani di dunia Islam dimana dibagi dalam dua bagian:
1- Masa sebelum Kebangkitan Islam:
Dunia Salib Barat, pasca runtuhnya Dinasti Usmani karena masalah internal yang kala itu disebut dengan "kematian orang yang sakit", yakin sekali bahwa tidak ada lagi kekuatan di dunia Islam yang secara militer mampu berhadapan dengan Barat. Kemudian mereka menyusun program "pelucutan Islam" dari kancah social masyarakat Islam. Program musuh ini bertujuan untuk mengubah identitas dan memutuskan tali hubungan umat Islam dengan latar belakang peradaban dan budaya masa lalunya. Sebab, musuh-musuh Islam sadar benar bahwa komitmen umat Islam terhadap akidah dan ikatan-ikatan keagamaan serta moral adalah hal yang selalu berpotensi mendatangkan lampu merah alias bahaya bagi mereka. Dan berikut ini kami akan menyebutkan beberapa sebab dan factor masalah ini.
Alhasil, untuk mencapai tujuannya di era ini dan mengkikis kekuatan kaum Muslimin, musuh menetapkan aksi-aksi di bawah ini sebagai bagian dari agenda dan program mereka:
a. Membagi kawasan Islam menjadi beberapa negara-negara kecil.
b. Mengangkat penguasa-penguasa yang menjadi boneka mereka.
c. Mengeksploitasi para penulis bayaran untuk tujuan-tujuan berikut:
- Memunculkan instabilitas akidah masyarakat.
- Menyebarkan pemikiran-pemikiran asing.
- Mengubah identitas budaya dan agama Islam.
Memecah dunia Islam menjadi beberapa negara kecil dari satu sisi dan mengangkat penguasa-penguasa boneka untuk mengaktualisasikan program pengaburan/pengkikisan identitas dari satu sisi yang lain termasuk agenda musuh yang sukses dijalankan dengan baik di era ini.
Dalam bidang ini, peran para pemikir yang kebarat-baratan dan para penulis yang secara sadar atau tidak kadang-kadang bergerak sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diprogram oleh musuh tidak kalah daripada peran para penguasa boneka mereka. Para penulis yang telah terkontaminasi dengan aroma weternisasi, seperti Toha Husein dan Salam Musa di Mesir dan dunia Arab, Diya’ Kuk Old di Turki, Sayid Ahmad Khan di India, dan Qasim Amin dan Taqi Zodeh di Iran, dan tentu masih banyak lagi para penulis dan kolomnis koran dan majalah lainnya yang nama mereka dapat disebut, menilai bahwa jalan kemajuan dapat dicapai dengan membebek dan mengikuti pola hidup ala Barat. Mereka menekankan masalah ini dalam pelbagai tulisan, orasi dan konferen-konferensi yang mereka ikuti.
Qasim Amin adalah pendukung keras anti jilbab, karena menurutnya fenomena religius, seperti jilbab kaum wanita mencegah kemajuan umat Islam. Sebagian dari mereka menganggap bahwa mengubah tulisan ke latin adalah salah satu cara lain untuk mendekatkan umat Islam ke kafilah peradaban manusia. Sebagaimana hal ini dipraktekkan secara resmi di Turki. Akibatnya, hubungan masyarakat dengan tulisan Al Qur'an pun terputus.
Meskipun permusuhan ini secara lahiriah menandai adanya peperangan antara tradisi dan modernitas, dan para pemikir ini mengklaim bahwa mereka berusaha untuk mengantarkan masyarakat pada kafilah peradaban manusia, namun sejatinya mereka hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh musuh dalam pertarungan ini; pertarungan yang esensinya adalah permusuhan peradaban dan budaya yang bertujuan untuk memutuskan umat Islam dari latarbelakang peradabannya.
Musuh sangat memahami bahwa selama hubungan masyarakat Islam dengan budaya dan peradaban masa lalu mereka terbangun dengan baik, maka hal itu berpotensi mendatangkan bahaya dan sewaktu-waktu dapat menggerakkan perlawanan dan resisitensi masyarakat terhadap serangan bangsa asing. Musuh mengetahui bahwa budaya ini memiliki benteng yang kokoh yang mampu memberikan pertahanan dan daya tahan khusus di hadapan serangan membabi-buta mereka, dan benteng yang dimaksud adalah akidah (keyakinan). Oleh karena itu, mereka berusaha semaksimal mungkin untuk membuat dan merancang strategi yang kiranya dapat melemahkan faktor-faktor, yang, membuat umat Islam terikat dengan keyakinan dan kepercayaan keagamaan mereka.
Berkaitan dengan hal ini, ada suatu fenomena menarik yang kiranya dapat menjadi bahan renungan kita bersama, yaitu pada tahun 1920 M dan selanjutnya di daerah yang paling strategis di beberapa kawasan dunia Islam yang notabene berbeda secara bahasa, geografi dan mazhab, namun uniknya para pemimpin di pelbagai kawasan ini secara serempak menyatakan perang dan protes keras terhadap pelbagai symbol dan identitas keagamaan dan budaya masyarakat mereka sendiri. ‘Di Turki, pasca tumbangnya Pemerintahan Usmani, Musthafa Kamal Atatruk mengambil tampuk kepemimpinan pada tahun 1923 M, di Iran dikuasai oleh Reza Pahlavi pada tahun 1925 M dan di Afganistan kursi kekuasaan diduduki oleh Amanullah Khan pada tahun 1919 M.
Yang menarik, di tiga kawasan strategis Islam tersebut semua penguasanya melakukan gerakan yang nyaris sama dimana mereka semua berusaha merusak budaya lokal dan mengajak masyarakat untuk mengikuti gaya hidup ala Barat serta memerangi dengan serius segala bentuk fenomena keagamaan, seperti jilbab, masjid, shalat, para alim ulama, tulisan Arab, dan pelbagai fenomena religius dan budaya masyarakat lainnya.
Tak syak lagi, fenomena ini bukanlah suatu kebetulan semata dan juga tidak apat dikatakan bahwa mereka sebenarnya berusaha untuk memerangi kemunduran dan berpikir untuk kemajuan bangsa mereka. Para pemimpin boneka ini dengan sadar sedang memainkan scenario penjajah di negara-negara yang mereka ditugaskan di situ. Oleh karena itu, di era tersebut para penguasa inilah yang menandatangani kontrak/perjanjian politik dan militer yang paling merugikan.
Di seluruh negara dan kawasan Islam lainnya juga terjadi keadaan yang serupa. Termasuk program dan agenda yang diterapkan dengan serius dan sistematis di era ini di pelbagai negeri Islam lainnya adalah mensosialisasikan pelbagai pemikiran dan "isme" yang diimpor dari Timur dan Barat dan menyebarkan paham nasionalisme serta menghidupkan kembali pelbagai adat istiadat dan tradisi kaum Jahiliya dengan asumsi bahwa hal tersebut merupakan latarbelakang nasional.
Kendatipun pelbagai konspirasi ini mendapat perlawanan kuat dan reaksi keras serta efektif para ulama Islam, khususnya ulama Syiah di Iraq dan Iran, namun lemahnya sarana dan alat dakwah dibandingkan dengan sarana yang digunakan pihak musuh dan usaha biadab dan tak manusiawi pihak penguasa dalam mengkikis peran ulama dan menghentikan gerakan-gerakan Islam, menyebabkan budaya impor ini berhasil melakukan penetrasi secara mendalam di banyak dari masyarakat Islam.
Sebagai contoh, di zaman inilah, Jamal Abdu Nasir di Mesir dan kalangan intelektual dan para pembaharu, seperti Sayid Qutub dan Hasan al Banna dibunuh dan gugur sebagai syahid. Bahkan gerakan dan ormas "Ikhwanu Muslimin" pun dibubarkan dan berusaha dihancurkan. Di saat yang sama dan seolah sebagai alternatifnya, dikibarkanlah bendera "Nasionalisme Arab" sebagai satu ideologi. Hal ini menandai bahwa perang budaya yang disertai dengan penghancuran pelbagai gerakan Islam telah ditabuh di Mesir.
Di banyak negara Arab faham nasionalisme berkolaborasi dengan sosialisme. Kolaborasi ini begitu penting karena meskipun nasionalisme Arab mempunyai daya tarik kebangsaan, namun ia sendiri tidak cukup untuk mengisi kekosongan pada program dan pedoman kehidupan. Karena itu, sosialisme disosialisasikan sebagai system politik-sosial yang berdampingan dengan nasionalisme Arab.
Dan dengan penggabungan ini, setelah mensosialisasikan penon-aktifan agama dari panggung social, mereka berusaha untuk mengisi kekosongan ideologi. Di zaman itu, ideologi Sosialisme-Marxsisme yang berseberangan dengan sistem Kapitalisme yang menjadi penguasa dunia tampil sebagai sistem politik revolusioner baru yang memiliki daya tarik tersendiri di kalangan anak-anak muda dan para mahasiswa. Karena alasan ini, di banyak negara Arab, nasionalisme Arab yang memiliki karakter sosialisme berhasil mengait pengikut dan simpatisan,khususnya di kalangan cendekiawan dan generasi muda. Di Iraq, kelompok Komunis—karena dukungan dan lampu hijau dari pemerintah—secara terang-terangan bergabung dengan Materialisme-Marxsisme yang dasar pemikirannya berhaluan pada pengingkaran terhadap metafisik dan Pencipta alam. Dengan kata lain, mereka mengajak masyarakat kepada kekufuran dan ketidakberimanan kepada Tuhan. Masalah ini memunculkan kecaman dan protes keras kalangan agamis, sehingga Ayatullah al-‘Udzma Sayid Muhammad Hakim mengeluarkan fatwa bersejarah yang berlebel “Komunisme adalah kafir dan tak kenal Tuhan” . Fatwa ini berhasil menghentikan kesesatan tersebut. Sebab, dengan keluarnya fatwa ini masyarakat termotivasi untuk melakukan kebangkitan kolektif dimana mereka menyerang pusat kelompok sesat ini, sehingga membuat pemerintah mengubah sikapnya dan menarik dukungannya terhadap gerakan Komunis ini.
Oleh karena itu, dengan mudah dapat dikatakan bahwa tujuan dan agenda musuh di era ini dan di masa sebelum dimulainya kebangkitan Islam secara utama terpusat dan terfokus pada usaha menyingkirkan peran agama dan menumbuhkan pemikiran Materialisme.
Keimanan yang kuat dan kokoh masyarakat terhadap Islam dan pelbagai ajaran abadi Al Qur'an menjadi penghalang melemahnya keterikatan mereka pada Islam, meskipun serangan musuh di era ini bak ombak besar yang menerjang masyarakat Islam dari pelbagai arah, dan kendatipun sekolah, dan universitas, koran, majalah, pena-pena bayaran, dukungan para pengusa boneka berhasil menyebarkan budaya impor dan gaya hidup Barat dan pelbagai asesorisnya di tengah masyarakat.
Tetapi, mereka sama sekali tidak mampu mengubah identitas asli Islam masyarakat dan hubungan mereka dengan Islam. Sebagai contoh, di Turki, meskipun setelah jatuhnya Kerajaan Usmani, penguasa boneka Barat berhasil menjalankan pemerintahan sekularis dan menggunakan pendekatan kekerasan dalam rangka menerapkan program "menyingkirkan Islam", seperti mengubah huruf Arab, melarang wanita memakai jilbab, dan bahkan mengubah model pakaian dan menyebarkan Nasionalisme Turki dst… dll. Namun, setelah beberapa decade berlalu; dengan hanya tersedianya kebebasan untuk menampakkan akidah dan terciptanya kondisi untuk mewujudkan keinginan masyarakat, maka hanya satu kelompok politik yang menang, yaitu yang kendaraan politiknya bernamakan Islam.
Berkaitan dengan masalah Palestina juga demikian halnya. Meskipun para pemimpin bayaran dan para tokoh negara Arab yang pro-Barat dalam beberapa tahun yang lalu berusaha melihat masalah Palestina dari kaca mata non-Islam dan memberikan warna Nasionalisme Arab padanya, namun sekarang kita menyaksikan di Palestina bahwa gerakan politik dan ormas yang berhasil menarik mayoritas suara rakyat adalah gerakan politik dan ormas yang memperkenalkan dirinya dengan syiar jihad.
2. Era Kebangkitan Islam:
Kebangkitan Islam adalah nama dari suatu tahapan dimana kaum Muslimin—setelah berabad-abad terlelap dalam tidur dan kelalaiannya—mengharapkan hegemoni Islam di tengah masyarakat mereka. Era ini identik dengan kembalinya orang-orang Islam pada peradaban terdahulunya dengan tujuan menghidupkannya kembali. Tahapan ini bisa disebut era percaya diri dan penolakan terhadap semua solusi politik-sosial yang diimpor dari Timur dan Barat, dan kembali pada kekuasaan politik Islam. Keberhasilan kebangkitan Islam ini yang mampu mengubah secara luas wajah dunia dimotori oleh para reformis, pembaharu, gerakan-gerakan Islam, pusat-pusat pencerahan yang dipimpin oleh para ulama dan hauzah (sentral-sentral pendidikan tradisional agama) di Irak dan Iran. Tak diragukan lagi, terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi perubahan ini, dan kami akan mengisyaratkan sebagiannya di bawah ini:

1.
Telah tampak dengan jelas ketidakberdayaan semua pemikiran dan "isme" yang diimpor dari Timur dan Barat.
2.
Telah terbongkar kedok para penguasa boneka dan para pengklaim gerakan modernisme sebagai antek-antek penjajah dan masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap kinerja mereka pada sejarah kontemporer.
3.
Tindakan zalim para penguasa boneka yang sangat keterlaluan dan mereka dengan sengaja mengunakan aset dan kekayaan nasional untuk kepentingan penjajah.

Dengan kemenangan Revolusi Islam Iran, seolah ruh dan nyawa baru ditiupkan pada kebangkitan ini. Revolusi Islam Iran menjadi contoh bagi pelbagai gerakan kebebasan untuk semua orang-orang tertindas didunia. Revolusi Islam Iran dengan kepemimpinan Imam Khomaini adalah bak ledakan cahaya di tengah dunia gelap yang melanda orang-orang tertindas.
Musuh awalnya berada dalam kebingungan di hadapan ombak dan perubahan besar ini dan mereka berada dalam ketakutan yang luar biasa. Dan akhirnya, mereka pelan-pelan mulai memikirkan bagaimana menemukan cara dan strategi untuk menghadapi gelombang ombak ini.
Pertama, mereka memaksakan perang melalui partai Ba’ts, Iraq yang dipimpim oleh Saddam Husein Takriti. Kekuatan Adi Daya mendukung Saddam secara penuh (media, logistic, alat militer) untuk menghancurkan Revolusi Islam yang baru berlangsung di Iran. Dengan hancurnya Iran yang jelas-jelas mengangkat bendera Islam maka harapan rakyat terhadap pemerintahan dan kemuliaan Islam di dunia akan sirna. Di samping perang yang dipaksakan, Saddam juga menyiapkan pelbagai ambisi pribadi jahatnya, namun gelombang ombak ini bukan hanya tidak berhenti, tapi justru semakin tumbuh subur dan akarnya semakin kuat. Gaung kebangkitan Islam di Iran justru—hari demi hari—semakin menyebar kemana-mana dan gerakan Islam di Iran semakin matang dan mantap dalam menghadapi pelbagai konspirasi musuh eksternal dan internal.
Sampai sekarang tekad dan perlawanan yang tumbuh dari kekuatan iman masyarakat Muslim Iran menjadi faktor utama yang mampu menjaga cita-cita Imam Khomeini dan pemerintahan Islam dan juga menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi pelbagai konspirasi yang disusun sejak awal Revolusi Islam Iran.
Hari demi hari dunia Islam terus menghadapi pelbagai konspirasi yang dilancarkan para musuh untuk menghambat laju kebangkitan Islam. Konspirasi ini bukan hanya tidak berhenti, bahkan hari demi hari lebih dalam, lebih luas dan lebih sulit.
Untuk generasi yang hidup di era kebangkitan Islam dan Revolusi Islam, sangat penting bagi mereka untuk mengetahui problematika kontemporer dunia Islam dan tujuan buruk segi tiga kejahatan, yaitu kekuatan kekufuran, Zionisme, dan kaum Salibisme internasional. Di samping pengetahuan ini, memahami potensi dan kekuatan perlawanan serta unsur kemenangan di hadapan musuh-musuh bersama akan menjamin basirah (ketajaman mata hati) dan membuat kita yang berada di barisan kebenaran mengenal bagaimana caranya menghadapi front kebatilan dalam peperangan panjang yang sangat menentukan ini.
Esensi Problematika di Era Kebangkitan
Barat dalam analisa dan penelitiannya mengetahui dengan baik bahwa pesan yang selalu menjadikan masyarakat Muslim tetap tegar bak tembok kokoh di hadapan para tiran telah hidup untuk kedua kalinya di hati dan jiwa masyarakat. Bangsa-bangsa Muslim, setelah cukup lama setelah beberapa abad terlelap dalam kelalaian, kini telah kembali pada identitas peradabannya. Pesan yang dimaksud Barat adalah pesan yang pernah disampaikan di masa lalu, tepatnya di zaman turunnya Al Qur'an. Pesan tauhid inilah yang mampu menyatukan masyarakat di hadapan para tiran zaman itu, dan ia juga mampu berhasil membangun revolusi budaya tersukses sepanjang sejarah manusia dan ia dapat membidani lahirnya peradaban yang abadi dan cemerlang dalam sejarah.


Mereka telah merasakan pengalaman pahit di masa lalu yang tak seberapa jauh, yaitu pasca jatuhnya Kerajaan Usmani dimana mereka berpikir bahwa seluruh kekuatan Islam telah habis dan gulung tikar. Dan mereka pun merasakan dahsatnya pengaruh pesan tauhid ini saat serangan Napoleon ke Mesir dan kalahnya kekuatan militernya; saat kemenangan rakyat Irak dan diusirnya kekuatan penjajah Inggris tahun 1920 M; saat gagalnya rencana jahat penjajah Inggris di Iran dalam peristiwa pengharaman tembakau; saat pendirian pemerintah Islam di benua India dengan nama Pakistan; saat terbentuknya gerakan rakyat di Afganistan dan terusirnya tentara Soviet; dan akhirnya saat terbentuknya gerakan jihad di Palestina. Alhasil, musuh telah membuktikan dan melihat sendiri keampuhan pesan ini dalam rentetan kemenangan pelbagai kelompok kecil Islam yang bersenjatakan tidak secanggih musuhnya.


Oleh karena itu, musuh melihat bahwa dirinya berada di depan hidupnya kembali suatu pemikiran yang tak dapat dibendung dengan aksi militer ini, dan juga berada di hadapan pelbagai bangsa yang menginginkan dipraktekkannya dominasi Islam dalam kehidupan social mereka.
Melihat realita tersebut, musuh menyusun strategi baru guna menghadapi fenomena ini, meskipun dalam dua era sebelum dan setelah masa kebangkitan Islam kekuatan Adi Daya menggunakan pendekatan perang budaya. Namun pada masa kebangkitan Islam dan kalahnya rencana penghapusan agama, penyebaran faham Liberalisme, yaitu program pemisahan agama dari kehidupan di-setting untuk menjadi alternatifnya. Sebab, Liberalisme di-make up sebagai kebebasan mutlak dan demokrasi yang di satu sisi mengakui keberadaan agama dan keimanan kepada Tuhan sebatas keyakinan dan adab-adab beribadah, namun di sisi lain ia menegaskan supaya manusia membebaskan diri dari segala ikatan Ilahi dan religius dalam masalah-masalah social dan kehidupan.
Dengan demikian, pada era pertama musuh berusaha memisahkan kaum Muslimin dari keyakinan terhadap Tuhan dan metafisik, sedangkan pada era kedua meskipun pihak Barat mengakui keberadaan metafisik, namun mereka berupaya memisahkan agama dari pentas kehidupan, yakni menentang dan melawan Islam sebagai system politik dan social
Karena alasan inilah, Barat mulai melakukan peperangan yang keras terhadap pemikiran Islam yang berbau politik. Sebab, bila pelbagai bangsa di dunia mengenal pesan kebebasan Islam; dan jika saja penetrasi ajaran-ajaran Islam yang sangat inspiratif dibiarkan begitu saja maka ini sama dengan bunuh diri bagi mereka dan sudah barang tentu akan menjadi ancaman serius bagi kemapanan imperialisme. Jadi, pesan kebangkitan ini membuat musuh terancam justru di dalam rumahnya sendiri. Dan berbeda dengan masa sebelumnya dimana musuh selalu meng-obok-obok Islam di tubuh internal masyarakat Muslim, namun kali ini pesan Islam mampu menembus batas kekuasaan musuh dan memaksanya bertahan di dalam daerah kekuasaan dan pusat kekuatannya.
Adapun strategi yang disusun Barat untuk menghadapi dunia Islam pada era kebangkitan Islam adalah:

1.
Mengkikis peran Islam dari percaturan masyarakat dunia.
2.
Menghapus peran Islam di antara masyarakat Islami sendiri.
3.
Melucuti infrastruktur dan potensi yang dimiliki negara-negara Islam.

Sekarang, kami akan menjabarkan ketiga strategi tersebut di bawah ini:
a. Mengkikis peran Islam dari percaturan masyarakat dunia

1.
Meragukan keberadaan Islam sebagai agama samawi.
2.
Meragukan keotentikan Al Qur'an.
3.
Mendistorsi sejarah dan kehidupan Nabi Muhammad saw yang jelas-jelas diakui kebenarannya oleh seluruh umat Islam.
4.
Memberikan gambaran yang tidak benar berkenaan dengan ajaran Islam dan Al Qur'an, dan mengenalkannya sebagai sumber kekerasan.
5.
Mewujudkan kebencian dan ketegangan di antara kaum Muslimin dan para pengikut agama lainnya, khususnya umat Kristen.
6.
Mengadakan pelbagai seminar ilmiah dan mendirikan pusat penelitian untuk mengenal Islam dengan tujuan untuk mempelajari kelemahan dan kekurangan agama Islam.

b. Menghapus peran Islam di antara masyarakat Islam sendiri dan menyebarkan pemikiran Liberalisme

1.
Menolak kemampuan Islam dalam mengatur kehidupan manusia kontemporer.
2.
Kontradiksi antara hukum social Islam dan modernitas.
3.
Meragukan kembali hal-hal yang sudah pasti dan disepakati dalam Islam, seperti jilbab, hukum waris, hukum peradilan Islam, dan menganggap hokum-hukum tersebut hanya berlaku dan cocok pada masa tertentu.
4.
Melawan otoritas para ulama.
5.
Menolak ijtihad dan taklid dan tidak setuju kepada keharusan spesialisasi dalam hukum Islam.
6.
Menyebarkan penghalalan apa saja dengan dalih kebebasan.

1.
Menanamkan keraguan pada keyakinan beragama para pemuda berkaitan dengan masalah dasar-dasar epistimologi Islam.
2.
Mensosialisasikan pemahaman yang dimpor dari pusat akademi Barat dan menerapkannya pada prinsip-prinsip epistimologi Islam, seperti; pluralisme agama, hermeneutic, menolak kebenaran makna lahiriah Al Qur'an dan hadis dan pembahasan-pembahasan yang serupa dengan ini.
3.
Memerangi prinsip dan nilai akhlak yang mendominasi masyarakat Islam dengan memanfaatkan konvensi internasional dengan judul hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, kebebasan dan lain-lain dan kemudian memaksa negara-negara Islam untuk menjalankan keputusan ini.

c. Melucuti infrastruktur dan potensi yang dimiliki negara-negara Islam


1.
Menyalakan konflik antar pelbagai kaum dan mazhab di dalam negara-negara Islam.
2.
Mendalangi terjadinya krisis dan ketegangan politik di negara-negara Islam melalui antek-antek bayaran mereka.
3.
Mengembangbiakkan teroris dan mewujudkan instabilitas di tengah masyarakat Islam.
4.
Memecah belah di antara negara-negara Islam untuk mencegah persatuan dan keharmonisan hubungan sesama mereka dan menghalangi kemungkinan tercapainya satu kata atau satu sikap di pelbagai lembaga dan organisasi internasional.

1.
Menghancurkan pondasi perekonomian negara-negara Islam dan menghabiskan kekayaan alam anegerah Ilahi pelbagai negara ini dengan tujuan menahan potensi pertumbuhan masyarakat Islam. Strategi ini menggunakan beberapa kiat di bawah ini:

- Menciptakan musuh imajiner dengan maksud memaksa suatu negara untuk membeli senjata dangan modal besar.
- Membuat pelbagai negara sibuk dengan masalah-masalah dalam negeri dan menjadikan mereka terpaksa menaggung biaya yang sangat besar untuk mengontrol keadaan dalam negerinya.
- Memunculkan krisis dengan tujuan untuk menahan laju perkembangan ekonomi.

1.
Melemahkan rasa percaya diri bangsa-bangsa Islam dan menanamkan rasa putus asa di antara mereka dengan tujuan menghilangkan spirit perlawanan dan rasa percaya diri. Dan mematikan segala usaha di bidang independensi unsur bersama pada seluruh tema yang telah kami paparkan di atas, politik, dan mendesain pelbagai problema dan fitnah ini dalam kemasan perang budaya dan peradaban. Sebab, sebagaimana yang telah kami singgung bahwa fenomena kebangkitan Islam tidak akan pernah dicegah oleh musuh melalui pendekatan dan aksi militer.

Referensi:
1-Bihar al-Anwar, juz 39, hal. 56.
sumber:http://www.taghrib.ir/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=161:problema-kontemporer-dunia-islam&catid=35:1388-06-21-07-28-12&Itemid=54

Selasa, 05 Januari 2010

Sekilas Tentang Empat Periode Kehidupan Imam Khomeini r.a



Khomeini adalah nama yang selalu dirndukan oleh jutaan Muslim di seluruh dunia. ‎Tatapannya yang tajam menggetarkan Barat dan Timur. Pemimpin bersahaja ini telah ‎mengubah alur sejarah, bukan hanya Iran, negerinya, tetapi juga seluruh dunia.‎

Imam Khomeini (r.a) lahir pada tanggal 20 Jumada Thaniyah tahun 1321 hijriyah. ‎Kelahirannya bertepatan dengan hari lahir Sy. Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW. ‎Imam Khomeini yang terlahir dengan nama Ruhullah Mostafavi (Musavi) berasal dari ‎keluarga yang dikenal dengan ketinggian ilmu, taqwa dan perjuangan melawan kezaliman. ‎Ayah beliau, Ayatollah Sayid Mostafa Musavi gugur Shahid di tangan berandalan lokal karena ‎pembelaannya terhadap orang-orang yang tertindas. Ketika itu, Ruhullah masih berusia lima ‎bulan. ‎

Sepeninggal ayahnya, Imam Khomeini hidup di bawah bimbingan ibunya (Banu Hajar) yang ‎penyayang, bibinya (Sahebeh Khanoum) yang dikenal bertaqwa dan pemberani, serta ‎pengasuhnya yang saleh (Nane Khavar). Sejak kanak-kanak beliau sudah mempelajari ‎kemahiran berkuda dan menembak.‎

Periode Pertama
Masa kanak-kanak dan remaja dilewati oleh Sayid Ruhullah ketika Iran sedang mengalami ‎gejolak besar politik dan sosial. Sejak masa itu, Ruhullah telah mengenal dari dekat kesulitan ‎yang dialami oleh masyarakat umum. Keterlibatan keluarganya dalam membela hak-hak ‎kaum tertindas membuatnya kelak tumbuh menjadi pejuang hakiki. Ketika masih kanak-kanak ‎ia sering melukiskan perasaannya yang memprihatinkan kondisi masyarakat sekitar dalam ‎corat-coret buku gambarnya. Di masa remaja, perasaan itu semakin dalam ia rasakan. Dalam ‎salah satu bukunya yang ia tulis di masa remaja, Ruhullah yang kala itu masih berusia antara ‎‎9 dan 10 tahun menulis demikian; ‎

Di manakah kecemburuan Islam?‎
Di manakah gerakan kebangsaan?


Kepada bangsa Iran Sayid Ruhullah menulis;‎
Wahai bangsa Iran, Iran terancam petaka
Negeri Daryush dijarah bangsa Nicholas (1‎

Tulisan itu bisa disebut sebagai statemen politik pertama yang dibuat oleh Sayid Ruhullah ‎remaja yang kelak akan memimpin bangsa Iran, sekaligus menunjukkan perhatiannya yang ‎besar kepada nasib negeri dan bangsanya. ‎

Sayid Ruhullah sangat tertarik kepada tokoh-tokoh pejuang. Ketika Mirza Kucik Khan Jangali ‎bangkit berjuang dengan mengangkat senjata, Ruhullah ikut membantu menyampaikan ‎pidato dan membaca syair tentang Mirza Jangali. Ia juga terlibat mengumpulkan dana untuk ‎membantu gerakan Mirza. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk bergabung dengan ‎kelompok Jangali dan bertemu Mirza. (2‎

Pendidikan
Sayid Ruhullah Musavi (Mustafavi) memiliki kecerdasan yang luar biasa. Ia berhasil ‎menguasai berbagai cabang ilmu. Selain ilmu fiqih, ushul dan filsafat, ia juga menguasai irfan. ‎Kedalaman ilmunya diakui oleh para gurunya sendiri. Sayid Ruhullah belajar dari sejumlah ‎guru di kota Khomein, Arak dan Qom. Hanya dalam waktu enam tahun ia berhasil ‎mempelajari banyak cabang ilmu sebelum akhirnya mengukuhkan diri sebagai salah seorang ‎ulama dan pengajar di pusat ilmu Islam di kota Qom. (3‎

Pidato Resmi Pertama
Ketika masih menjadi pelajar agama di kota Arak, Sayid Ruhullah Mosavi yang kala itu ‎berusia 19 tahun untuk pertama kalinya mendapat kesempatan secara resmi berpidato di ‎depan umum. Pidato itu dalam acara memperingati tokoh penting Revolusi Konstitusi ‎Mojtahed Tabatabai. Pidato yang lebih mirip dengan statemen politik itu disampaikan oleh ‎seorang pelajar agama yang masih muda untuk mengenang jasa tokoh perjuangan Revolusi ‎Konstitusi. (4‎

Imam Khomeini mengenai hari itu menceritakan demikian;
‎"...Aku diminta untuk menyampaikan khotbah di atas mimbar. Tawaran itu aku terima dengan ‎baik. Malam itu aku tak banyak tidur, bukan karena takut berbicara di depan umum tetapi ‎karena meyakini bahwa aku bakal berdiri di mimbar milik Rasulullah SAW. Karena itu aku ‎memohon kepada Allah untuk memberikan pertolonganNya kepadaku, agar di antara semua ‎yang ku ucapkan sejak awal hingga akhir, jangan ada kata-kata yang tidak ku yakini. ‎Permohonan ini adalah ikrar antara aku dan Allah. Khotbahku yang pertama kali berlangsung ‎panjang, tapi tidak ada orang yang merasa lelah...Aku mendengar suara sebagian orang ‎yang memuji pidatoku. Terlintas di hatiku perasaan senang mendengar pujian itu. Karena itu ‎undangan kedua dan ketiga untuk berpidato aku tolak dan selama empat tahun setelah itu ‎aku tidak pernah naik ke mimbar dan berkhotbah." (5‎

Periode Kedua
Periode ini dimulai ketika Sayid Ruhulah Mosavi hijrah ke kota suci Qom. Saat itu, Reza Khan ‎Pahlevi, raja pertama dinasti Pahlevi melanjutkan kebijakannya yang anti agama. Di masa ini, ‎Sayid Ruhullah yang sedang sibuk dengan aktivitas belajar, mengajar dan menulis buku, ‎mulai berkenalan dengan para ulama pejuang seperti Ayatollah Haj Agha Nurullah Esfahani, ‎Ayatollah Modarres dan sejumlah nama besar lainnya. Di masa kekuasaan Reza Khan ini ‎tercipta kondisi yang sangat mencekik. Karena itu para ulama berjuang untuk ‎mempertahankan dan melindungi hauzah ilmiah yang merupakan pusat pendidikan agama ‎Islam di Qom. Bisa dikatakan bahwa perjuangan mempertahankan hauzah di zaman itu tidak ‎kalah pentingnya dari membentuk pemerintahan Islam yang kelak terjadi tahun 1979. (6‎

Periode Ketiga
Periode ini dimulai ketika Imam Khomeini (ra) menginjak usia 40 tahun. Saat itu terjadi dua ‎peristiwa besar, pertama berkecamuknya Perang Dunia II dan jatuhnya Iran ke tangan ‎pendudukan asing, dan kedua larinya Reza Khan ke luar negeri dan anaknya yang bernama ‎Mohammad Reza naik ke singgasana kekuasaan. ‎

Melihat kondisi yang ada, Sayid Ruhullah Mosavi merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk ‎melakukan gerakan kebangkitan demi memperbaiki kondisi negeri yang carut marut. Meski ‎telah melakukan banyak usaha, namun kebangkitan yang diinginkan tidak terjadi. Imam ‎Khomeini yang telah dikenal sebagai salah seorang ulama besar di Qom memiliki kecakapan ‎yang seharusnya untuk memimpin sebuah gerakan kebangkitan rakyat. Beliau sudah ‎merasakan 20 tahun kekuasaan Reza Khan dan memiliki wawasan politik yang luas. Pada ‎tanggal 11 Jumada Thani tahun 1363 hijriyah atau sekitar tahun 1944 masehi, Imam ‎Khomeini merilis sebuah statemen yang menyerukan rakyat bangkit dengan memanfaatkan ‎kondisi yang ada. "Hari ini bertiup angin ruhani yang sejuk dan hari ini adalah hari yang paling ‎baik untuk sebuah kebangkitan demi perbaikan. Jika kalian lewatkan kesempatan ini dan ‎tidak bangkit demi ridha Allah serta tidak mengambalikan syiar agama ke posisinya semula, ‎maka besok, orang-orang tak bermoral dan pengumbar Shahwat akan menguasai kalian. ‎Mereka akan mempermainkan kehormatan kalian demi kepentingannya." Demikian bunyi ‎statemen itu. (7‎

Periode Keempat
Periode keempat kehidupan Imam Khomeini berbarengan dengan dua peristiwa duka. ‎Pertama adalah wafatnya Ayatollah al-Udzma Boroujerdi pada tanggal 29 Maret 1961. ‎Dengan wafatnya marji besar Syiah ini, dunia Islam kehilangan salah satu tokoh penting yang ‎membentengi Islam, dan di sisi lain musuh-musuh Islam dan Iran bersuka cita atas kepergian ‎Ayatollah Boroujerdi (ra). Peristiwa kedua adalah wafatnya Ayatollah Kashani, pejuang besar ‎dalam melawan kekuasaan imperialisme Inggris. Nama Ayatollah Kashani cukup membuat ‎hati penguasa Britania Raya dan musuh-musuh Islam bergetar. Wafatnya dua ulama besar ‎ini terjadi seiring dengan dimulainya periode masuknya pengaruh Amerika Serikat (AS) di Iran. ‎

AS gencar menekan rezim Shah Pahlevi untuk memberlakukan perubahan di semua bidang ‎sesuai kemauan Washington. Imam Khomeini menangkap sinyal bahaya besar di balik ‎perombakan gaya AS ini. Langkah-langkah rezim Pahlevi hanya akan membuka jalan bagi ‎AS dan Israel untuk menguasai Iran. Imam Khomeini gencar mengingatkan semua pihak ‎untuk menyadari bahaya dari langkah-langkah Shah. Rezim melakukan pembalasan atas ‎gerakan Imam dengan sebuah tindakan yang brutal. Tentara dan dinas keamanan (SAVAK) ‎tanggal 22 Maret tahun 1963, bertepatan dengan peringatan Shahadah Imam Jafar Shadiq ‎‎(as), dikerahkan untuk menyerang madrasah Feiziyah di Qom, tempat Imam Khomeini ‎mengajar. Banyak pelajar agama yang gugur Shahid dalam peristiwa itu.‎

Peristiwa Feiziyah semakin mendorong Imam Khomeini untuk melanjutkan gerakannya. ‎Memperingati 40 hari gugurnya para pelajar Feiziyah, Imam Khomeini menyampaikan ‎pidatonya yang berapi-api. Beliau mengumumkan tidak akan diam sebelum menundukkan ‎rezim Shah. Malam harinya, Imam Khomeini ditangkap dan dijebloskan ke penjara Qasr. Pagi ‎hari, berita penangkapan Imam Khomeini didengar oleh masyarakat luas di Tehran dan kota-‎kota lainnya. ‎

Massa dalam jumlah besar berbondong-bondong memenuhi jalanan dan bergerak menuju ‎istana Shah. Mereka berjalan dengan meneriakkan yel-yel "Khomeini atau Mati". Dengan ‎slogan ini mereka menuntut rezim untuk membebaskan ulama pejuang ini. Rezim pun ‎melakukan tindakan brutal dengan membantai para demonstran. Korban pun berjatuhan.‎
Kepemimpinan Imam Khomeini dalam gerakan melawan Shah nampaknya reda ketika rezim ‎mengasingkan beliau ke Turki lalu Irak. Namun aktivitas perjuangan Imam Khomeini tidak ‎berhenti meski di pengasingan. Tahun 1978, putra tertua Imam Khomeini bernama Ayatollah ‎Sayid Mostafa Khomeini dalam sebuah peristiwa mencurigakan didapatkan terbujur kaku di ‎kamarnya. Banyak bukti yang mengarah kepada keterlibatan SAVAK dalam pembunuhan ‎Ayatollah Mustafa yang selalu menyertai ayahnya dalam setiap langkah. ‎

Syahidnya Ayatollah Mostafa Khomeini kembali menyulut gelora perjuangan yang selama ini ‎dilakukan di bawah tanah. Gelora itu kian membara setelah koran Ettelaat memuat tulisan ‎artikel yang menghujat Imam Khomeini dan kalangan ulama secara umum. Masyarakat ‎Muslim menggelar aksi demo dan memprotes kekurangajaran koran Ettelaat. Aksi demo itu ‎berujung pada peristiwa pembantaian yang dilakukan tentara terhadap warga kota Qom. ‎Gerakan kebangkitan rakyat silih berganti terjadi di beberapa kota penting, Qom, Tabriz, ‎Isfahan, Yazd, Shiraz dan kota-kota lainnya. Puncak politik tangan besi rezim Shah terjadi ‎pada peristiwa yang dikenal dengan nama peristiwa 17 Shahrivar 1357. ‎

Shah Mohammad Reza Pahlevi yang menyaksikan kondisi Iran sudah tidak memungkinkan ‎baginya untuk menetap lebih lama, segera angkat kaki meninggalkan Iran dan ‎singgasananya. Dengan larinya Shah, Imam Khomeini yang saat itu berada di Paris ‎memutuskan untuk kembali ke Iran. Jutaan warga menyambut kedatangan Imam Khomeini. ‎Tiba di Tehran, Imam langsung menuju Behesht-e Zahra, taman makam para pahlawan ‎perjuangan melawan rezim Shah. Di sana beliau menyampaikan pidatonya yang bersejarah. ‎Imam menyatakan bahwa kekuasaan yang ada saat ini tidak legal. ‎

Tiba tanggal 1 Februari 1979, Imam Khomeini segera memimpin langsung perjuangan rakyat ‎Iran menumbangkan kekuasaan despotik Shah Pahlevi yang sudah di ujung tanduk. Tanggal ‎‎10 Februari, PM Shapour Bakhtiar mengeluarkan undang-undang darurat militer dan jam ‎malam. Imam dalam sebuah amaran singkatnya menyebut jam malam tidak legal. Selama 24 ‎jam terjadi bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara yang masih setia kepada rezim ‎Shah. ‎

Pagi hari tanggal 11 Februari 1979, dengan kaburnya Bakhtiar ke luar negeri, kekuasaan ‎Shah Pahlevi berakhir. Sebagai gantinya berdiri pemerintahan baru dengan sistem Republik ‎Islam. ‎

Sejak kemenangan revolusi Islam hingga 2 Juni 1989 (hari wafat Imam Khomeini) terjadi ‎banyak peristiwa penting di Iran yang menunjukkan betapa Amerika Serikat (AS) memusuhi ‎pemerintahan Islam ini. Kelompok pemberontak sayap kanan atau kiri di Iran yang berusaha ‎menumbangkan pemerintahan Islam didukung secara penuh, baik secara politik maupun ‎financial, oleh Barat dan Timur. Adi daya dunia pun mendorong Saddam Hossein, dikatator ‎Irak untuk menyerang Iran. Perang pun meletus dan berlangsung selama delapan tahun.‎
Berbagai makar dan tipu daya dalam skala besar dilakukan oleh adi daya Barat dan Timur ‎untuk menggulung pemerintahan Islam di Iran. Namun berkat pertolongan Allah dan di bawah ‎kepemimpinan Imam Khomeini, semua tipu daya itu dapat digagalkan dan pemerintahan ‎Islam di Iran tetap berdiri dengan tegaknya. ‎

Tanggal 2 Juni 1989, Imam Khomeini memenuhi panggilan Tuhannya. Rakyat Iran tenggelam ‎dalam duka. Rasa duka juga dirasakan oleh jutaan pencinta Imam Khomeini di seluruh dunia. ‎Imam Khomeini, sang Pemimpin Besar Revolusi Islam telah tiada, namun rakyat Iran tetap ‎teguh memperjuangkan cita-citanya. Salam bagi Imam Khomeini (ra). (taghrib) ‎

Catatan kaki:‎
‎1) Kautsar (Kumpulan Pidato Imam Khomeini r.a), diterbitkan oleh Yayasan Penyusunan ‎dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan pertama, jilid 1 hal: 615 .‎
‎2) Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan ‎Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 hal: 232 - ‎‎236.‎
‎3) Amir Reza Sotoudeh, Pa be Paye Aftab (Kumpulan kisah hidup Imam Khomeini r.a), ‎jilid 1 halaman: 30.‎
‎4) Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan ‎Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 hal: 260, ‎juga Sar Gozashtehaye Vijeh jilid 6 halaman: 11.‎
‎5) Sayid Ali Qaderi, Ruhullah Khomeini (Biografi Imam Khomeini r.a), Yayasan ‎Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ketiga, jilid 1 hal: 260‎
‎6) Buletin Khabar Nameh yang diterbitkan untiuk seminar Haj Agha Nurullah Esfahani ‎nomor 1 halaman 16 - 17 dan nomor 2 halaman 12 - 13, mengutip pernyataan ‎Ayatollah Pasandideh dan Ayatollah Mazaheri.‎
‎7) Sahifeye Nour, Yayasan Penyusunan dan Penerbitan karya Imam Khomeini, cetakan ‎ketiga, jilid 1 hal: 4 - 6.‎

Jumat, 01 Januari 2010

Dalam pembahasan seputar Asyura, ada tiga topik utama:

Pertama, pembahasan tentang sebab-sebab dan motif-motif dari kebangkitan Imam Husain as; kenapa Imam Husain bangkit melawan? Yakni, analisis keagamaan, ilmiah dan politis terhadap kebangkitan ini. Dalam hal ini, saya sebelumnya telah menyampaikan uraian dan pandangan saya secara terperinci. Para ulama juga telah mengulas hal-hal ini dengan cermat. Sekarang ini kita tidak akan masuk ke dalam topik ini.

Topik kedua, pembahasan tentang pelajaran-pelajaran Asyura. Ini sebuah topik pembahasan yang hidup, abadi, dan berkesinambungan; tidak khusus pada masa tertentu. Terapkanlah pelajaran Asyura; pelajaran pengorbanan, keberanian, simpati, dan pelajaran kebangkitan demi Allah serta pelajaran cinta. Salah satu dari pelajaran Asyura ialah revolusi besar dan agung ini dimana kalian; bangsa Iran berada di barisan yang mengikuti gerak [Imam] Husain di zaman ini dan keturunan dari Abu Abdillah [Imam] Husain as. ini. [Revolusi] ini sendiri sudah cukup menjadi bagian dari Asyura. Terkait hal ini, saya juga tidak berniat untuk membahasnya sekarang.

Topik ketiga berkaitan dengan pelajaran-pelajaran Asyura yang beberapa tahun yang lalu juga telah saya kemukakan, bahwa Asyura memiliki pelajaran-pelajaran di samping pesan-pesannya. Pembahasan mengenai pelajaran-pelajaran Asyura terkait secara khusus dengan masa dimana Islam berkuasa. Yaitu setidak-tidaknya kita katakan bahwa duduk pembahasan ini khusus terkait dengan masa yang demikian ini; yakni masa kita dan negara kita dimana kita akan memetik pelajaran. Dulu saya pernah mengemukakan masalah ini, bahwa mengapa masyarakat Islam dengan Rasulullah Saw. yang Mulia sebagai porosnya; dengan kecintaan besar mereka kepada beliau; dengan iman kuat mereka kepada beliau; yaitu masyarakat yang penuh dengan semangat dan gelora agama; dengan hukum-hukum yang nanti sedikit banyaknya akan saya bahas; yaitu masyarakat yang telah matang ini; yaitu umat Islam itu sendiri; bahkan sebagian dari mereka adalah orang-orang yang mengalami masa-masa yang dekat dengan masa masa hidup Rasulullah Saw., ternyata setelah lima puluh tahun mereka sampai berbuat untuk bersatu dan membantai anak Rasulullah Saw, itupun dilakukan dengan cara yang sangat kejam?! Adakah kesesatan, keterbelakangan dan langkah balik ke belakang yang lebih parah dari ini?!

Atas dasar inilah Zainab Kubra as (putri Imam Ali as) di pasar kota Kufah telah menyampaikan pidato yang luar biasa itu, "Wahai warga Kufah! Wahai warga penipu dan pengkhianat! Mengapa kalian mesti menangis?!" Ketika warga Kufah menyaksikan kepala suci Imam Husain ditancapkan di atas tombak, melihat anak perempuan Imam Ali as menjadi tawanan dan mereka menyaksikan dari dekat dan merasakan langsung tragedi itu, mereka tersentak dan menangis. Zainab mengatakan, "Mengapa kalian mesti menangis?! Semoga tangisan kalian ini tak akan pernah habis." Lalu beliau mengatakan lagi, "Kalian ini sama dengan perempuan yang mencerai berai tali pintal setelah diikat erat karena kalian telah mencampakkan sumpah setia!" Inilah yang disebut balik ke belakang itu. Di sinilah pelajaran bisa dipetik. Setiap masyarakat Islam akan terancam dengan bahaya ini.

Imam Khomeini yang besar dan pemimpin tercinta kita punya kebanggaan yang besar, yaitu sebuah umat yang patuh pada ucapan-ucapan Rasulullah SAW. Apakah kepribadian orang-orang selain nabi dan selain manusia maksum bisa dibandingkan dengan kepribadian manusia besar ini? Beliau telah menciptakan masyarakat itu, dan mereka sendirilah yang kemudian mengikutinya. Apakah setiap masyarakat Islam punya pengalaman ini? Kalaulah kita petik pelajaran, tentu saja tidak demikian. Akan tetapi, jika kita tidak mengambil pelajaran, ya demikianlah. Di sinilah pelajaran-pelajaran Asyura.

Kita sebagai masyarakat masa ini, Alhamdulillah dengan kemurahan Allah, telah mendapatkan taufik dimana kita tempuh kembali jalan itu, kita hidupkan kembali Islam di dunia, dan kita kibarkan kembali panji Islam dan Al-Quran. Di dunia ini, kebanggaan itu telah menjadi milik kalian. Bangsa ini sampai sekarang juga - yang usianya telah lewat kira-kira dua puluh tahun sejak revolusinya - berdiri kuat dan kokoh di atas jalan ini dan bergerak menempuhnya. Akan tetapi, jika kita tidak teliti; jika kita tidak waspada; jika kita tidak menjaga diri kita tetap berada di jalan ini sebagaimana mestinya, maka bisa jadi nasib buruk itu akan menimpa kita. Di sinilah pelajaran Asyura dipetik.

Kini, saya ingin berbicara sedikit tentang sebuah masalah yang beberapa tahun yang lalu pernah saya memukakan dan, Alhamdulillah, saya telah melihat banyak ulama yang membahasnya, menelitinya, menceramahkannya dan menuliskannya secara panjang lebar. Tentu saja, pembahasan lengkap tentang masalah ini tidak bisa dibahas dalam pidato shalat Jum'at, karena begitu panjangnya. Insya-Allah, jika kita punya umur dan mendapatkan taufik, saya akan membahas masalah ini secara terperinci dengan sekian aspeknya dalam sebuah pertemuan selain forum shalat Jum'at. Pada hari ini, saya ingin memeriksa sekilas saja tentang masalah ini, dan jika Allah memberi taufik, saya akan menerangkan pembahasan yang sepanjang satu buku itu dalam bentuk pidato dan menyuguhkan kepada kalian.

Pertama, kita harus memahami peristiwa ini betapa besarnya lalu kita memeriksa sebab-sebabnya. Jangan sekali-kali orang mengatakan bahwa peristiwa Asyura hanyalah pembantaian dengan beberapa orang yang mati terbunuh. Sebagaimana kita semua membaca doa ini dalam ziarah Asyura, "Sungguh besar bencana ini, sungguh besar dan agung musibah ini!" Bencana ini adalah sebuah peristiwa yang sangat besar. Peristiwa ini luar biasa sekali. Tragedi ini sangat mengguncangkan dan tak ada bandingnya.

Untuk sedikit menerangkan betapa besarnya peristiwa ini, saya akan berbicara tentang tiga periode pendek dari sekian periode kehidupan Abu Abdillah Imam Husain as secara global. Coba kalian amati pribadi ini yang orang mengenalnya selama tiga periode ini; apakah ia bisa memprediksikan bahwa keadaan beliau sebegitu rupa sehingga pada hari Asyura, ada sekelompok orang yang mengaku dari umat datuk beliau mengepungnya, dan dengan begitu mengenaskan mereka membantai beliau, bersama seluruh kawan dan sahabat serta keluarganya lalu menyandera wanita-wanita mereka?

Tiga periode ini; yang pertama adalah periode kehidupan Rasulullah SAW.; yang kedua, periode masa muda [Imam] Husain bin Ali as., yakni periode dua puluh lima tahun sampai pemerintahan Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.]; yang ketiga, periode kekosongan, yaitu dua puluh tahun setelah kesyahidan Amirul Mukminin sampai peristiwa Karbala.

Pada peeriode kehidupan Rasulullah SAW., Imam Husain adalah anak kecil yang bercahaya dan buah hati Rasulullah SAW. Rasulullah memiliki seorang anak perempuan yang bernama Fathimah, dan semua orang pada masa itu tahu bahwa Rasulullah bersabda,
انّ اللَّه ليغضب لغضب فاطمة
"Sesungguhnya Allah pasti murka demi kemurkaan Fathimah."

Jika ada seseorang yang membuat Fathimah marah, maka dia sesungguhnya telah membuat Allah marah kepadanya.
و يرضى لرضاها
"Dan Allah rela karena kerelaan Fathimah",

Jika ada orang yang membuat Fathimah senang, maka dia juga telah membuat Allah senang. Coba kalian perhatikan; bagaimana Rasulullah SAW dengan nada itu berbicara tentang anak perempuan yang sangat mulia ini di hadapan masyarakat dan di hadapan khalayak. Ini jelas bukan masalah yang biasa.

Dalam masyarakat Islam, Rasulullah SAW. telah menyerahkan anak perempuan ini kepada seseorang yang dari segi prestasi berada di tingkat teratas; yaitu Ali bin Abi Thalib as. Dia seorang pemuda pemberani, terhormat, paling mukmin, orang yang paling unggul dari segalanya, paling pemberani dari semuanya, dan berada di segenap medan perang. Dialah orang yang dengan pedangnya telah menegakkan Islam; di manapun semua orang tidak bisa berbuat apa-apa, anak muda ini maju ke depan, membuka kebuntuan dan memecahkan kesulitan. Menantu tercinta dan mulia ini - yang kecintaan kepadanya bukan lantaran hubungan kekeluargaan, akan tetapi karena kebesaran pribadinya - adalah suami dari anak tercinta Rasulullah SAW. Dan lahirlah seorang anak dari mereka. Dia adalah Husain bin Ali as.

Tentu saja, semua pembahasan tadi juga terkait dengan Imam Hasan as, akan tetapi sekarang ini pembahasan saya terfokus pada pribadi Imam Husain as. sebagai yang orang tercinta dari orang-orang yang dicintai Rasulullah Saw.; yaitu sosok figur yang oleh pemimpin agung dunia Islam, pemimpin masyarakat Muslim dan kinasih hati semua orang, sering dipeluk dan dibawa ke masjid. Semua orang tahu betapa anak kecil ini begitu dicintai oleh sosok manusia yang dicintai oleh semua orang. Pernah, ketika Nabi sedang berpidato di atas mimbar, anak kecil ini tersandung hingga jatuh. Melihat itu Rasulullah SAW langsung turun dari mimbar lalu mengendongnya dan menenangkannya. Perhatikanlah bagaimana masalah ini.

Tentang Imam Hasan dan Imam Husain yang berusia enam atau tujuh tahun, Rasulullah SAW bersabda, "Mereka berdua adalah penghulu kaum pemuda surga." Mereka yang masih kanak-kanak, bukanlah anak muda, akan tetapi Rasulullah SAW mengatakan bahwa mereka ini penghulu kaum pemuda surga. Yakni, pada periode enam atau tujuh tahun, ia sudah setingkat anak muda; dia memahami, mengerti, berbuat, bertindak, beradab dan seluruh wujudnya diliputi kemuliaan. Jika pada masa itu orang mengatakan bahwa anak ini akan dibunuh oleh umat Rasulullah SAW sendiri tanpa dosa dan kesalahan, jelas orang-orang tidak akan percaya akan hal ini, sebagaimana Rasulullah SAW. telah mengatakan dan menangis hingga semua orang terheran; apakah itu bisa terjadi?!

Periode kedua adalah periode dua puluh lima tahun setelah wafat Rasulullah SAW. hingga pemerintahan Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.]. Husain tampil muda, mulia, alim dan pemberani. Ia ikut serta dalam berbagai peperangan, terlibat dalam kerja-kerja besar, semua orang mengenalnya sebagai sosok agung. Ketika para penyemat nama besar hadir, semua mata tertuju kepadanya. Dalam setiap keutamaan, di tengah kaum muslimin Mekkah dan Madinah, di setiap tempat dimana Islam menggema, ia bagaikan matahari bersinar cemerlang. Semua orang hormat kepadanya. Para khalifah masa-masa itu hormat kepadanya dan kepada saudaranya; mereka memberikan penghormatan dan pengagungan kepadanya; mereka menyebut namanya dengan begitu besarnya. Dialah figur teladan pemuda di masa itu dan terhormat bagi semua orang. Jika pada masa itu ada seseorang yang mengatakan bahwa anak muda ini akan dibunuh oleh orang-orang itu juga, maka tidak ada satu orangpun yang akan percaya.

Periode ketiga adalah periode setelah kesyahidan Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.]. Yakni, periode keterasingan Ahlul Bait. Imam Hasan dan Imam Husain as. masih berada di Madinah. Dua puluh tahun setelah itu, Imam Husain hidup sebagai imam spiritual bagi segenap kaum Muslimin, mufti besar seluruh umat Islam, dihormati oleh semua orang Muslim, tempat lalu lalang semua penuntut ilmu, tempat pegangan dan perantara semua orang yang ingin mengungkapkan kecintaan mereka kepada Ahlul Bait. Dia pribadi yang dicintai, agung, mulia, suci, kokoh dan alim. Kepada Mu'awiyah, ia menulis surat; surat yang siapa saja menulisnya untuk penguasa manapun, ganjarannya adalah kematian.

Namun, Mu'awiyah menerima surat itu dengan penuh penghormatan. Dia membacanya, menahan rasa dan tidak berkata apa-apa. Jika pada masa-masa itu saja oang mengatakan bahwa dalam waktu dekat, orang terhormat, mulia, agung dan suci ini - sebagai perwujudan Islam dan Al-Quran di hadapan pemandang - mungkin akan dibunuh oleh umat pengikut Al-Quran dan Islam ini, itupun dengan cara yang sangat kejam, maka ini tidak bisa dimengerti oleh siapa saja. Akan tetapi, peristiwa yang tak bisa dipercaya ini; peristiwa aneh dan mengherankan ini ternyata terjadi! Siapakah yang melakukannya? Mereka adalah orang-orang yang datang kepada beliau dan mengungkapkan salam dan kecintaan. Apa artinya ini? Artinya, masyarakat Islam selama lima puluh tahun telah kehilangan spiritualitas dan hakikat Islam. Lahiriyahnya Islam, tapi batinnya sudah rapuh. Di sinilah bahaya. Shalat didirikan, shalat jamaah didirikan, orang-orang juga bernama muslim dan ada sebagian orang yang juga berpihak kepada Ahlul Bait!

Tentu saja harus saya katakan kepada kalian bahwa di seluruh dunia Islam, semua orang menerima Ahlul Bait. Sekarang juga mereka demikian, dan tidak ada seorang pun yang ragu akan hal ini. Kecintaan kepada Ahlul Bait ada di seluruh dunia Islam. Sekarang pun juga masih demikian. Kemana pun kalian sekarang ini pergi, mereka cinta Ahlul Bait. Masjid yang dikaitkan dengan Imam Husain as, dan masjid lain di Kairo yang dikaitkan dengan Sayyidah Zainab; di sana kalian saksikan para peziarah dan penduduk yang berjubel. Orang-orang pergi berziarah ke makam itu; mereka menciuminya dan bertawassul.

Bahkan satu dua tahun sebelum ini, saya mendapatkan sebuah buku baru; bukan klasik, karena masalah ini sudah wajar disinggung dalam buku-buku klasik. Buku itu membahas seputar makna dari Ahlul Bait. Salah seorang penulis kontemporer dari Hijaz telah meneliti dan ia dalam buku ini membuktikan bahwa Ahlul Bait itu adalah Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Bagi kita yang menganut faham Syi'ah, pendapat seperti itu adalah bagian dari darah daging kita, namun saudara muslim selain Syi'ah itu telah menuliskan yang demikian dan dia menyebarkannya. Jadi ada buku ini, dan saya juga memilikinya. Tentunya, buku ini dicetak dalam ribuan naskah dan telah disebarkan.

Oleh karena itu, Ahlul Bait sangat dihormati. Pada masa itu, mereka juga sangat dihormati. Akan tetapi, pada saat yang sama, ketika masyarakat telah kosong dan rapuh, terjadilah peristiwa ini. Lalu, di mana letak pelajaran [dapat dipetik]? Letak pelajaran itu ialah apa yang harus kita lakukan sehingga masyarakat tidak jadi demikian itu. Kita harus memahami apa yang tela terjadi di sana sehingga masyarakat sampai kepada kondisi yang demikian itu. Ini jelas pembahasan yang panjang dan terperinci dan saya hanya akan mengupasnya secara singkat. Pertama-tama, sebagai mukadimah saya katakan bahwa Rasulullah Saw. telah menciptakan sebuah sistem [sosial] yang garis-garis dasarnya terdari dari beberapa hal. Dari garis-garis dasar ini, saya mendapatkan empat hal; pertama, pengetahuan yang jelas dan gamblang; pengetahuan tentang agama; pengetahuan tentang Tuhan; pengetahuan tentang Rasulullah Saw.; pengetahuan tentang alam. Pengetahuan inilah yang kemudian berakhir sampai pada ilmu dan semangat ilmu pengetahuan dan telah membawa masyarakat Islam di abad keempat Hijriah sampai ke puncak peradaban ilmu pengetahuan. Rasulullah Saw. tidak pernah membiarkan ada kekaburan. Dalam hal ini, ada ayat-ayat yang sangat menarik dari Al-Quran dan bukan saatnya di sini untuk saya bahas. Di manapun terjadi ketakjelasan, ada saja satu ayat yang diturunkan untuk menghilangkan ketakjelasan itu.

Garis dasar kedua ialah keadilan mutlak dan tindakan tanpa pandang bulu; keadilan dalam peradilan; keadilan dalam pemanfataan layanan publik dan bukan pribadi, yaitu fasilitas-fasilitas milik semua rakyat dan harus dibagikan kepada mereka secara adil; keadilan dalam menerapkan hukum-hukum Allah; keadilan dalam jabatan, pelimpahan dan penerimaan tugas. Tentu saja, keadilan tidaklah sama dengan penyama-rataan. Ini jangan disalahpahami. Kadangkala, penyamarataan itu kedzaliman. Keadilan yaitu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dan memberikan hak kepada pemiliknya. Itulah keadilan mutlak dan tanpa pandang bulu. Pada masa Rasulullah SAW, tidak ada seorang pun dalam masyarakat Islam yang keluar dari lingkaran keadilan.

[Garis dasar] ketiga ialah penghambaan diri secara sempurna dan semata-mata di hadapan Tuhan Pengatur
, yakni penghambaan diri kepada Allah dalam kerja dan aktifitas personal, penghambaan diri dalam shalat yang harus diniati dengan ‘mendekatkan diri kepada-Nya', hingga penghambaan diri kepada-Nya dalam membangun masyarakat, dalam sistem pemerintahan, sistem kehidupan masyarakat dan hubungan-hubungan sosial rakyat dibangun di atas dasar penghambaan diri kepada Allah. Dan ini sendiri membutuhkan penjelasan dan perincian yang panjang.

[Garis dasar] keempat ialah cinta dan peluapan emosi. Ini juga salah satu ciri dasar masyarakat Islam; cinta kepada Allah; cinta Allah kepada rakyat;
يحبّهم و يحبّونه

"Dia mencintai mereka dan mereka juga mencintai-Nya";
ان اللَّه يحبّ التّوابين و يحبّ المتطهّرين

"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang pentaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci";
قل ان كنتم تحبّون اللَّه فاتّبعونى يحببكم اللَّه
"Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, pasti Allah cinta kepada kalian".

Cinta dan kasih; cinta kepada istri; cinta kepada anak -dimana Anda disunnahkan mencium anak, disunnahkan menunjukkan kecintaan kepada anak, disunnahkan mencintai istri, disunnahkan mencintai saudara-saudara yang muslim - cinta kepada Rasulullah SAW; cinta kepada Ahlul Bait, الاّ المودّة فى القربى "[Aku tidak meminta upah apa pun atas seruan ini] kecuali kecintaan kepada keluargaku."

Rasulullah SAW telah menjelaskan garis-garis ini dan atas dasar garis-garis ini pula beliau membangun masyarakat. Demikian ini pula Rasulullah SAW telah mengatur pemerintahan sepanjang sepuluh tahun. Tentu saja, pembinaan masyarakat adalah kerja bertahap; bukan kerja spontan. Selama sepuluh tahun ini, Rasulullah SAW telah berusaha agar pondasi-pondasi ini kuat dan kokoh serta mengakar dalam. Akan tetapi, supaya beliau dapat mengubah masyarakat yang dulunya berlawanan keras dengan ciri-ciri dasar itu, maka sepuluh tahun ini adalah masa yang sangat singkat.

Masyarakat Jahiliyah berlawanan dengan empat garis dasar itu dalam segala perkara; orang-orang tidak punya pengetahuan apa-apa; mereka hidup dalam kebingungan dan kebodohan; mereka juga tidak punya penghambaan diri [kepada Allah]; yang ada adalah kekuasaan dzalim dan penindasan; juga tidak ada keadilan apa pun; semuanya yang ada adalah kedzaliman; semuanya adalah diskriminasi dimana Amirul Mukminin dalam Nahjul Balaghah - dalam rangka menjelaskan kedzaliman dan diskriminasi di era Jahiliyah - menyampaikan uraian-uraian yang mencengangkan, membongkar fakta hingga nampak bagaikan sebuah lukisan seni,
فى فتن داستهم باخفافها و وطئتهم باظلافها

"Dalam situasi-situasi buruk yang menginjak-injak mereka dengan telapak-telapak kakinya dan menerjang mereka dengan tapal-tapalnya."

Di sana tidak ada cinta. Mereka mengubur anak-anak perempuan mereka sendiri hidup-hidup. Mereka membunuh orang dari kabilah lain tanpa dosa apapun. "Kamu telah membunuh satu orang dari kami, maka kami juga harus membunuh satu orang dari kabilahmu!" Ada atau tidaknya pembunuh, ataukah dia tidak berdosa apa-apa, atau tidak tahu menahu, [yang jelas] itu adalah kedzaliman mutlak, kekejaman mutlak; ketiadaan total cinta dan naluri.

Masyarakat yang tumbuh dalam suasana seperti itu bisa saja dibina dalam sepuluh tahun; diubah menjadi manusia dan dimuslimkan, akan tetapi pembinaan ini tidak bisa menembus ke kedalaman jiwa mereka, apalagi untuk segitu dalamnya merembas hingga bisa pada gilirannya mempengaruhi orang lain.

Kemudian orang-orang menjadi muslim secara berduyun-duyun. Merekalah orang-orang yang tidak pernah melihat Rasulullah SAW; orang-orang yang tidak mengalami sepuluh tahun [pembinaan] itu. Masalah ‘wasiat' yang dipercayai oleh kaum Syi'ah bermula dari sini. Wasiat atau suksesi dan pelantikan Ilahi (kekhalifahan) berawal dari sini; yaitu dalam rangka melanjutkan pembinaan itu. Jelas sekali, wasiat ini bukan seperti wasiat-wasiat biasa di dunia dimana setiap orang meninggal dunia lalu ia mewasiatkan kepada anak lelakinya. Duduk masalahnya ialah setelah ketiadaan Rasulullah SAW, agenda-agenda [pembinaan] beliau harus terus berlanjut.

Sekarang ini, saya tidak ingin mask ke pembahasan-pembahasan teologis. Saya ingin membahas sejarah dan sedikit menganalisis sejarah dan kalian juga menganalisisnya lebih lanjut. Masalah ini juga berkaitan dengan semua orang; tidak khusus hanya dengan orang Syi'ah. Masalah ini berkaitan dengan kaum Syi'ah, Ahli Sunnah dan seluruh golongan Islam. Kalian semua harus peduli dengan masalah ini, karena hal ini penting untuk semua orang.

Adapun sejarah setelah wafat Rasulullah SAW. apa yang telah terjadi sehingga dalam lima puluh tahun ini, masyarakat Islam berbalik dari keadaan ini ke keadaan semula itu? Di sinilah duduk permasalahan, dan di sini pula dokumen-dokumen sejarah harus dirujuk. Tentunya, bangunan [sosial] yang telah didirikan oleh Rasulullah SAW bukanlah sebuah bangunan yang dalam waktu singkat mudah hancur. Oleh karena itu, di awal-awal pasca wafat Rasulullah SAW seperti yang kalian sendiri amati, semuanya - kecuali masalah wasiat itu - tidak berubah; masih ada keadilan yang cukup; masih ada dzikir yang bagus; masih ada penghambaan diri yang bagus. Kalau seseorang mengamati struktur umum masyarakat Islam dalam tahun-tahun pertama (pasca ketidaan Rasulullah SAW), dia akan menemukan bahwa secara lahiriyah, tidak ada sesuatu pun yang berbalik ke belakang. Tentu saja, ada hal-hal yang mungkin berubah, akan tetapi secara dzahir, itu masih menampilkan pondasi-pondasi dan basis-basis yang telah diletakkan oleh Rasulullah SAW. Namun, keadaan ini tidak bertahan. Semakin waktu berlalu, masyarakat Islam turun semakin melemah dan rapuh secara bertahap.

Coba kalian perhatikan: ada sebuah poin penting dalam surah Al-Fatihah dimana saya telah menyampaikannya dalam berbagai pertemuan berkali-kali. Ketika seseorang mengatakan kepada Sang Pencipta alam semesta, اهدنا الصّراط المستقيم, artinya, "Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus", lalu Allah mengartikan ‘jalan yang lurus' ini demikian, صراط الّذين انعمت عليهم "Jalan orang-orang yang kenikmatan diberikan kepada mereka". Banyak kenikmatan yang Allah berikan; Dia memberikan nikmat juga kepada Bani Israil,
يا بنى‏اسرائيل اذكروا نعمتى الّتى انعمت عليكم
"Wahai Bani Israil, ingatlah nikmatku yang telah aku berikan kepadamu."

Nikmat Allah itu bukan khusus milik kaum nabi, orang-orang shaleh dan para syahid,
فاولئك مع الّذين انعم‏اللَّه عليهم من النّبيّين والصّدّيقين والشّهداء والصّالحين

"Maka, mereka itulah bersama orang-orang yang kepada mereka Allah memberikan dari para nabi, orang-orang jujur tulus, para syahid dan orang-orang shaleh!" Mereka ini diberi nikmat, akan tetapi Bani Israil juga diberi nikmat.

Orang-orang yang diberi nikmat itu ada dua golongan: pertama, mereka yang ketika mendapatkan nikmat Allah tidak sesekali membuat Allah marah terhadap mereka, tidak pula mereka menjadi tersesat. Mereka itulah orang yang kita menyebut mereka dengan: "Ya tunjukkanlah jalan mereka kepada kami." "Yang tidak dimurkai" dalam istilah teknis sastranya adalah ajektif untuk "orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka", yaitu bahwa ciri-ciri orang-orang ini adalah "yang tidak dimurkai juga tidak tersesat."

Golongan lain adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, akan tetapi mereka mengubah nikmat Allah dan merusaknya. Oleh karena itulah mereka mendapatkan kemurkaan [Ilahi]; atau orang-orang yang berjalan mengikuti mereka hingga tersesat. Dalam riwayat-riwayat kita disebutkan bahwa maksud dari "yang tidak dimurkai" adalah orang-orang Yahudi, dan ini hanyalah penjelasan referensial (contoh konkret), karena orang Yahudi itu sampai pada masa Nabi Isa AS atau Nabi Musa AS dan para penerusnya melakukan penentangan secara sadar dan sengaja. Adapun "yang tersesat" adalah orang-orang Nasrani, karena mereka ini telah menjadi orang-orang sesat. Kondisi orang Nasrani ketika itu ialah mereka telah tersesat sejak awal, atau setidak-tidaknya, kebanyakan dari mereka dalam kondisi demikian. Sementara orang-orang Muslim telah mendapatkan nikmat. Kenikmatan ini juga didapat oleh ‘orang-orang yang dimurkai" dan "orang-orang tersesat." Oleh karena itu, ketika Imam Husain as gugur sebagai syahid, Imam Ja'far as. dalam sebuah riwayat yang dinukil dari beliau mengatakan,
فلما ان قتل الحسين صلوات‏اللَّه‏عليه اشتدّ غضب اللَّه تعالى على اهل الارض

"Tatkala Husain as telah dibunuh, murka Allah SWT menjadi sangat besar terhadap penduduk bumi." Ya, karena beliau adalah manusia maksum.

Oleh sebab itu, masyarakat yang diberi nikmat oleh Allah tetapi berjalan menuju murka [Ilahi]; maka kita harus mencermati perjalanan mereka. Ini sangat penting; sangat susah; perlu ketelitian yang tinggi. Berikut ini, saya hanya akan membawakan beberapa contoh. Orang-orang awam dan kalangan khusus punya kondisi masing-masing yang khas. Kalangan khusus yang tersesat itu boleh jadi "orang-orang yang dimurkai", dan kalangan awam itu mungkin saja "orang-orang yang tersesat." Sudah barang tentu, dalam kitab-kitab sejarah ada banyak contoh. Dari sekarang sampai berikutnya, saya akan menukil dari kitab sejarah Ibnu Atsir; saya tidak akan menukil dari sumber-sumber Syi'ah, saya pun tidak akan merujuk sumber-sumber sejarah Ahli Sunnah yang riwayat mereka oleh Ahli Sunnah sendiri masih diragukan seperti Ibnu Qutaibah. Ibnu Qutaibah Daynuri dam kitab ‘Al-Imamah wa Al-Siyasah' mencatat hal-hal aneh dan semua itu tidak akan saya singgung.

Ketika seseorang merujuk kitab ‘Kamil Al-Tawarikh' karya Ibnu Atsir, ia akan menemukan betapa karyanya ini mengandung fanatisme Bani Umayyah dan dan Utsmaniyyah. Namun, menurut saya, ada kemungkinan ia bersikap toleran karena alasan-alasan tertentu. Dalam peristiwa ‘Yaum Al-Dar' dimana Khalifah Utsman dibunuh oleh orang-orang Mesir, Kufah, Bashrah, Madinah dan warga kota-kota lainnya, dan setelah membawakan berbagai riwayat, Ibnu Atsir mengatakan bahwa sebab peristiwa ini adalah faktor-faktor ‘yang tidak ingin saya uraikan'. Ketika ia membawakan kejadian sahabat mulia Abu Dzar lalu ia mengatakan bahwa Mu'awiyah menaikkan Abu Dzar ke unta tanpa perbekalan dan dalam keadaan itulah mengirimkannya hingga ke Madinah lalu dibuang ke Rabadzah, di sini ia menuliskan ‘ada hal-hal yang telah terjadi dan saya tidak ingin mencatatnya'. Yang demikian ini entah apakah Ibnu Atsir benar-benar - dalam istilah kita sekarang - punya sistem autosensor, ataukah ia melakukan hal itu karena fanatisme. Yang jelas, ia bukan orang Syi'ah, juga tidak punya hubungan dengan kesyi'ahan. Dia seorang yang bahkan mungkin juga punya hubungan dengan Bani Umayyah dan Utsmaniyyah. Apa yang dari sekarang akan saya sampaikan; semuanya dari Ibnu Atsir ini.

Ada beberapa contoh dari kalangan khusus; apa yang terjadi pada mereka ini selama lima puluh tahun itu sehingga situasinya sampai sedemikian buruknya? Ketika saya mencermati, saya melihat ada goncangan pada empat garis dasar itu; penghambaan diri [kepada Allah], pengetahuan, keadilan dan kecintaan. Saya akan membawakan contoh-contoh ini sesuai dengan redaksi sejarah. Sa'id bin ‘Ash adalah salah satu anggota Bani Ummayah dan dari sanak keluarga Utsman. Setelah Walid bin Uqbah bin Abu Mu'ith - yaitu orang yang kalian saksikan dalam film serial Imam Ali sekaitan dengan pembunuhan penyihir di hadapannya - Sa'id bin ‘Ash naik berkuasa untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh Walid. Dalam ruang pertemuannya, ada seseorang mengatakan, ‘Betapa dermawannya Thalhah itu!' Maksudnya adalah Thalhah bin Ubaidillah. Tentu, dia memberikan sekian uang kepada seseorang, atau dia memberikan kepada orang-orang yang dia kenal. Maka Sa'id membalas, ‘Sesungguhnya orang yang memiliki Nisyastej itu pantas sekali menjadi orang dermawan."

Ada sebuah ladang yang sangat besar bernama Nisyastej di sekitar kota Kufah, dan mungkin Nesyasteh yang kita kenal dalam bahasa kita juga berasal dari nama ini. Di sekitar Kufah, ada daerah yang makmur dan subur. Ladang luas ini milik Thalhah; seorang sahabat Rasulullah SAW di Madinah. Sa'id bin ‘Ash mengatakan,
واللَّه لو ان لى مثله لاعاشكم اللَّه به عيشا رغدا

"Orang yang punya kekayaan seperti ini tentu seorang dermawan. Dan demi Allah, andai saja aku punya sepertinya, aku akan memberikan kelapangan dalam hidup kalian; itu bukanlah apa-apa sehingga kalian mengatakan dia itu orang yang dermawan." Sekarang, kalian bandingkan ini dengan kezuhudan masa Rasulullah SAW dan kezuhudan di awal-awal ketiadaan Rasulullah SAW, dan kalian perhatikan tokoh-tokoh, pemimpin-pempimpin dan para sahabat dalam beberapa tahun itu; bagaimana mereka itu hidup dan dengan mata apa mereka melihat dunia? Lalu, setelah lewat sepuluh atau lima belas tahun, kondisi berakhir sampai sedemikian mengenaskan.

Contoh berikutnya adalah Abu Musa Al-Asy'ari; yaitu Abu Musa yang terkenal dalam kasus ‘Tahkim'. Orang-orang ingin pergi ke medan jihad, lalu ia segera naik mimbar dan mendorong masyarakat untuk berjihad. Ia berbicara banyak tentang keutamaan jihad dan pengorbanan. Banyak dari masyarakat yang tidak punya kuda untuk ditunggangi. Setiap orang harus pergi dengan menunggangi kudanya sendiri. Supaya para pejuang pejalan kaki mau pergi, Abu Musa membesar-besarkan keutamaan jihad berjalan kaki, ‘Berjihad dengan berjalan kaki sungguh mulia, demikian dan demikian keutamaannya!' Sedemikian rupa mulut dan nafas menghangatkan dorongan-dorongan itu hingga ada sekelompok orang dari mereka yang punya kuda mengatakan bahwa kita juga akan berjalan kaki, dan kuda-kuda ini telah membuat kami kehilangan pahala yang banyak; kami ingin pergi berperang dengan berjalan kaki supaya pendapatkan pahala-pahala besar ini!

Ada juga sekelompok orang yang sedikit mau berpikir banyak. Mereka mengatakan, ‘Tunggu dulu! Jangan tergesa-gesa! Kita lihat dulu; seorang pimimpin yang berbicara seperti itu tentang jihad berjalan kaki bagaimana dia sendiri keluar dari rumahnya? Kita perhatikan apakah perbuatannya juga seperti ucapannya ataukah tidak? Setelah itu, kita ambil keputusan berjalan kaki atau menunggang.' Ini redaksi dari Ibnu Atsir. Ia menuliskan, "Ketika Abu Musa keluar dari istananya, ia membawa barang-barang berharga dari istananya di atas empat puluh unta dan menuju ke medan jihad." Pada masa itu, tidak ada bank, dan tidak ada jaminan kelanggengan kekuasaan. Mungkin ketika perang tengah berkecamuk, tiba-tiba berita datang dari khalifah bahwa engkau telah dimakzulkan dari pemerintahan Bashrah. Orang-orang tidak akan membiarkan ia bisa datang lagi dan mengambil semua barang berharga itu dari dalam istana. Jadi, ke manapun pergi, ia terpaksa membawanya. Empat puluh unta adalah barang-barang berharga miliknya yang ia angkut lalu ia keluarkan dari dalam istana lantas dibawa ke medan perang!

Ketika Abu Musa keluar, orang-orang yang pergi jihad dengan berjalan kaki mendekatinya lalu menarik tali kekang kudanya. Mereka mengatakan, "Naikkan kami ke atas kekayaan-kekayaan yang berlebihan ini! Apa yang sedang engkau bawa ini ke medan perang? Kita ini berjalan kaki. Bawa kita naik! Berjalan kakilah sebagaimana engkau membujuk kami untuk berjalan kaki!" Akan tetapi, Abu Musa menyabet mereka dengan cambuknya dan mengatakan, "Pergilah! Tidak ada gunanya kalian berkata seperti itu!" Lalu orang-orang meninggalkannya. Akan tetapi, mereka tentu saja tidak tahan. Mereka datang ke Madinah menemui Utsman dan mengadu kepadanya, kemudian ia pun memecat Abu Musa dari jabatannya. Abu Musa ini adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW; salah satu dari kalangan khusus dan tokoh, namun demikianlah kenyataannya!

Contoh ketiga adalah Sa'ad bin Abi Waqqash. Ia pernah menjadi gubernur di Kufah. Dan ia pernah meminjam dari Baitul Mal (kas negara). Pada masa itu, Baitul Mal tidak berada di tangan penguasa, akan tetapi khalifah mempercayakannya kepada seseorang untuk mengelola urusan-urusan masyarakat. Juga ada satu orang yang diangkat oleh khalifah sebagai kepala bidang kekayaan negara dimana dia bertanggung jawab langsung kepada Khalifah sendiri. Yang menjadi gubernur di Kufah pada masa itu adalah Sa'd bin Abi Waqqash, sedangkan kepala Baitul Mal adalah Abdullah bin Mas'ud; salah seorang sahabat besar Nabi SAW dan berkedudukan tinggi. Sa'd pernah meminjam sejumlah uang dari Baitul Mal - seberapa ribu dinar, saya tidak tahu persis - namun ia tidak menunaikan hutangnya dan tidak mengembalikan penjamannya itu. Maka Abdullah bin Mas'ud menagihnya dan mengatakan, "Bayarlah uang Baitul Mal!" Sa'd bin Abi Waqosh membalas, 'Aku tidak punya uang." Terjadilah perang mulut dan pertikaian di antara mereka. Namun, seorang sahabat Amirul Mukminin [Ali bin Abu Thalib AS] dan orang yang sangat mulia bernama Hasyim bin Utbah bin Abi Waqqash maju merelai mereka dan mengatakan, "Ini tidak baik. Kalian berdua ini sahabat Rasulullah SAW. Masyarakat masih melihat kalian. Jangan bertikai, dan selesaikan perkara ini dengan cara lain! Ketika Abdullah bin Mas'ud melihat tidak bisa berbuat apa-apa, ia pergi keluar.

Bagaimanapun, ia adalah seoang lelaki yang terpercaya. Ia pergi menemui sekelompok masyarakat dan berseru, "Tariklah keluar harta itu dari dalam rumahnya!" Dan ternyata ada harta di dalam rumah Sa'd. Lalu orang-orang mengabarkan kejadian kepada Sa'd. Maka ia juga mengirim sekelompok orang dan memerintahkan, "Pergilah ke sana dan jangan biarkan mereka!" Jadi, karena Sa'd bin Abi Waqqash tidak membayar utangnya ke Baitul Mal, terjadilah pertikaian besar. Padahal, Sa'd bin Abi Waqqash ini adalah salah satu anggota dewan Syura; dia bagian dari enam anggota dewan; dia salah satu dari mereka. Namun, setelah beberapa tahun saja, keadaannya sampai sedemikian ini. Ibnu Atsir menuliskan, "Ini adalah pertikaian pertama yang terjadi di tengah penduduk Kufah", karena adalah salah seorang dari kalangan tokoh hidup demikian dalam mencintai dunia dan ia menunjukkan dirinya demikian secara tak sadar!

Kejadian lainnya, orang-orang Muslim pergi menuju Afrika; yaitu negeri Tunisia dan Maroko. Mereka menaklukannya dan membagikan harta rampasan perang kepada masyarakat dan pasukan perang. Mereka juga harus mengirimkan khumus (seperlima) dari harta rampasan perang itu. Dalam karya Ibnu Atsir itu tercatat bahwa khumus itu sudah banyak. Memang, di sini Ibnu Atsir tidak menukilkan hal ini, akan tetapi di tempat lain, ia membawakan kisah penaklukan ini dan menuliskan bahwa khumus itu banyak dan mereka mengirimkannya ke Madinah. Ketika harta khumus sampai di Madinah, Marwan bin Hakam datang dan mengatakan, "Aku beli semuanya seharga lima ratus ribu dirham." Maka khalifah pun menjualnya kepada Marwan! Lima ratus ribu dirham bukan uang sedikit. Tetapi, harta khumus itu juga masih jauh lebih berharga dari jumlah uang ini. Kejadian ini adalah salah satu kasus yang kemudian masyarakat memprotes khalifah. Ya, khalifah membawakan alasan dan mengatakan, "Ini demi silaturahmi kepada saudara; aku bersilaturahmi kepadanya, karena keadaan hidupnya tidak baik; aku ingin membantunya." Begitulah kalangan tokoh hanyut dalam kekayaan dunia.

Kasus berikutnya, Walid bin Uqbah bin Abu Mu'ith yang diangkat menjadi gubernur di Kufah. Walid bin Uqbah ini yaitu Walid yang biasa kalian kenal sebagai gubernur Kufah setelah Sa'd bin Abi Waqqash. Dia juga dari keluarga Bani Umayyah dan dari kerabat khalifah masa itu. Ketika ia tiba [di Kufah], masyarakat terheran-heran. Ada apa ini? Bagaimana orang ini bisa dijadikan gubernur?! Karena, Walid selain dikenal dengan kedunguannya, kebusukannya juga terkenal. Walid ini adalah orang yang disinggung oleh ayat yang mulia,
ان جاءكم فاسق بنبأ فتبيّنوا
"Jika datang kepada kalian seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka periksalah."

Al-Quran menyebutnya dengan nama 'orang fasik', karena dia membawa sebuah berita sehingga sebagian orang terancam bahaya, kemudian turunlah ayat, "Jika datang kepada kalian seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka periksalah", jika seorang fasik datang membawa sebuah berita, maka selidikilah; jangan percaya pada kata-katanya. Orang fasik itu adalah Walid ini. Dan ini terjadi pada masa Rasulullah SAW.

Coba kalian perhatikan bagaimana norma-norma, nilai-nilai dan perubahan orang-orang! Orang yng pada masa Rasulullah itu dan dalam Al-Quran disebut dengan nama 'orang fasik' dimana Al-Quran ini sendiri yang setiap hari dibaca oleh masyarakat, ternyata dia menjadi gubernur di Kufah! Baik Sa'd bin Abi Waqosh maupun Abdullah bin Mas'ud; mereka berdua sama-sama heran. Ketika melihat Walid, Abdullah bin Mas'ud mengatakan,
ماادرى اصلحت بعدنا ام فسد النّاس

"Aku tidak tahu; apakah setelah kami, kamu sudah menjadi baik atau masyarakat sudah menjadi rusak." Kamu bukan orang baik, masyarakat juga sudah rusak hingga mereka mengutus orang sepertimu ke sebuah kota sebagai gubernur. Sa'd bin Abu Waqqash dari sisi lain juga terheran-heran. Ia mengatakan, "Apakah di hadapanku kamu telah menjadi orang pandai atau kita ini bodoh di hadapanmu", kau yang dulu orang dungu, apakah lalu sekarang sudah jadi orang pintar, ataukah kami sudah sebegitu bodohnya sehingga mereka mengutamakanmu di atas kami?!

Walid berbalik dan menjawabnya, "Jangan merasa kesal, wahai Sa'd! Semua itu tidak ada yang benar; aku tidak pintar, dan kau pun bukan orang bodoh. Akan tetapi, masalahnya hanyalah kerajaan...!" Lihatlah perubahan dari pemerintahan Ilahi ini. Kekhalifahan dan wilayah ilahi diubah menjadi kerajaan dan ini adalah peristiwa yang sangat mengejutkan. [Ia melanjutkan], "... yang hari ini dipegang oleh sekelompok orang, dan pada hari esoknya dipegang oleh kelompok lain." Bagaimanapun, Sa'd bin Abu Waqqash adalah salah seorang sahabat Nabi SAW. Baginya, jawaban ini sangat menusuk telinga; bahwa masalahnya ternyata kerajaan. [Ibnu Atsir menulis], "Maka Sa'd berkata, 'Aku melihat kalian telah mengubah kekhalifahan menjadi kerajaan!'"

Pada suatu saat, khalifah Umar pernah berkata kepada Salman, "Menurutmu, apakah aku ini raja ataukah khalifah?" Salman adalah orang besar dan sangat terpandang. Ia seorang sahabat yang sangat mulia. Pandangan dan penilaiannya sangat penting. Oleh karena itu, Umar pada masa kekhalifahannya melontarkan pertanyaan ini kepadanya. "Maka Salman berkata kepadanya,
ان انت جبيت من ارض المسلمين درهماً او اقلّ او اكثر و وضعته فى غير حقّه فانت ملك لا خليفة
"Jika dari kekayaan masyarakat Islam, engkau mengambil [pajak] kurang dari satu dirham atau lebih dari itu, lalu engkau menyalurkannya bukan pada tempat yang semestinya, maka engkau adalah raja; bukan seorang khalifah."

[Dengan demikian], Salman telah menjelaskan kriterianya.

Dalam riwayat Ibnu Atsir terdapat redaksi, "Maka, Umar pun menangis." Benar-benar sebuah nasihat yang luar biasa. Masalahnya adalah kekhalifahan. Kekhalifahan yang sebuah pemerintahan yang sejalan dengan kecintaan, sejalan dengan keseutuhan dengan rakyat, sejalan dengan kasih sayang terhadap tiap-tiap anggota masyarakat; bukan semata-mata pemerintahan dan kekuasaan. Adapun kerajaan tidaklah demikian. Kerajaan tidak punya urusan dengan rakyat. Raja adalah seorang penguasa dan pemerintah; dia akan melakukan apa saja yang dia inginkan.

Ini semua berkaitan dengan kalangan tokoh. Selama beberapa tahun itu, mereka telah berbuat sampai sedemikian rupa. Tentu, semua ini terjadi pada masa-masa empat khalifah rasyidin dimana mereka sendiri berwaspada, menjaga hukum, mencurahkan perhatian dan sekian tahun lamanya hidup bersama Rasulullah SAW. Seruan Rasulullah sampai saat itu masih menggema di Madinah, dan orang seperti Ali bin Abu Thalib as juga masih hidup di tengah masyarakat. Namun, ketika pemerintahan berpindah ke Syam, hal-hal ini sudah tidak ada lagi bekasnya. Semua ini adalah contoh-contoh kecil dari kalangan tokoh. Tentu saja, jika seseorang meneliti [permasalahan ini] dalam sejarah Ibnu Atsir atau dalam sumber-sumber lain yang diakui oleh semua saudara-saudara Ahli Sunnah kita, maka bukan hanya ratusan contoh, kita bahkan akan mendapatkan ribuan kasus semacam tadi.

Jelas sekali, ketika keadilan sudah tidak ada; ketika penghambaan diri [kepada Allah] sudah tidak ada, dan masyarakat menjadi rapuh, ketika itulah pikiran-pikiran pun menjadi rusak, yaitu dalam masyarakat dimana persoalan meraup kekayaan dan kecenderungan kepada harta duniawi serta keterikatan hati kepada keuntungan-keuntungan dunia sampai pada kondisi-kondisi seperti itu; dalam masyarakat dimana ada yang menjadi penyampai ilmu agama kepada masyarakat adalah orang seperti Ka'ab Al-Ahbar maka demikianlah keadaannya. Ka'ab Al-Ahbar adalah seorang Yahudi yang baru masuk Islam dan tak pernah berjumpa dengan Rasulullah. Pada masa Rasulullah, dia belum masuk Islam, pada masa Abu Bakar juga dia tidak masuk Islam. Baru pada masa Umar, ia menjadi muslim, dan meninggal dunia pada masa Utsman. Sebagian orang menyebutnya dengan nama Ka'ab Al-Akhbar. Ini salah. Yang benar adalah Ka'ab Al-Ahbar. Ahbar bentuk jamak dari hibr yang berarti rabbi Yahudi.

Ka'ab ini adalah rabbi terkemuka di tengah para rabbi Yahudi yang kemudian masuk Islam, lalu ia berbicara tentang ajaran-ajaran Islam. Ketika ia hadir di majelis pertemuan Utsman, Abu Dzarr datang. Dan ketika ia berkata sesuatu, Abu Dzarr marah dan mengatakan, "Rupanya engkau sudah mulai mengajari kita tentang Islam dan hukum-hukumnya! Kita sudah mendengar hukum-hukum ini langsung dari Rasulullah." Ketika kriteria-kriteria hilang; ketika nilai-nilai itu melemah; ketika hal-hal yang tampak itu rapuh; ketika nafsu rakus duniawi dan pemujaan harta berkuasa atas orang-orang - yang telah menghabiskan umur dengan mulianya, melewatkan sekian tahun lamanya tanpa peduli terhadap kenikmatan-kenikmatan duniawi, dan mereka telah mampu menegakkan panji kebesaran - ketika itulah dalam dunia budaya dan pengetahuan, ada seseorang yang menjadi sumber ilmu-ilmu Ilahi dan Islam; orang yang baru saja masuk Islam dan mengatakan apa saja yang dia pahami, bukan apa yang diajarkan Islam, sementara ada sebagian orang yang lebih mengutamakan ucapannya di atas ucapan orang-orang Muslim yang berprestasi.

Ini semua tentang kalangan tokoh. Lalu orang awam, yang ikut dengan kalangan tokoh, bergerak di belakang mereka kapan pun mereka berjalan ke suatu arah. Dosa terbesar para tokoh dan orang-orang terkemuka ialah jika ada penyimpangan yang dilakukan oleh mereka, maka penyimpangan ini mengakibatkan penyelewengan kebanyakan orang. Ketika kalian melihat bendungan-bendungan itu jebol; ketika kalian melihat tindakan-tindakan mereka - yang bertentangan dengan apa yang mereka katakan itu dan bertentangan dengan sabda-sabda yang dinukil dari Rasulullah - itu terus dilakukan, maka masyarakat juga akan berjalan ke arah yang sama. Di samping itu, ada juga kasus yang dilakukan oleh kalangan awam, yaitu seorang gubernur Bashrah pernah menulis surat kepada khalifah, "Kami membagikan pajak-pajak yang kami ambil dari negeri-negeri yang ditaklukkan kepada masyarakat. Akan tetapi, pajak itu sedikit, sedangkan masyarakat di sana banyak. Jadi, beri kami harta seukuran harta yang diberikan kepada dua kota."

Ketika warga Kufah mendengar Gubernur Bashrah - bahwa dia telah mengambil pajak dua kota untuk rakyatnya sendiri - mereka segera pergi menemui gubernur mereka. Siapa gubernur warga Kufah itu? Ammar bin Yasir; manusia yang komit dengan nilai-nilai agama dan teguh bagaikan gunung dan berdiri kokoh. Tentu, ada orang-orang sepertinya; mereka yang tak pernah goyah; tetapi mereka ini tidak banyak. Warga [Kufah] datang kepada Ammar bin Yasir dan mengatakan, "Kamu juga hendaknya menuntut seperti [gubernur Bashrah] itu untuk kami, dan ambillah [pajak] dua negeri untuk kami." Ammar menjawab, "Aku tidak akan berbuat demikian." Mereka lantas bermaksud untuk menyerang Ammar dan menghujatnya. Lalu mereka menulis surat [kepada khalifah]. Akhirnya, khalifah memecat Ammar. Kejadian seperti [Ammar] ini juga dialami oleh Abu Dzarr dan beberapa orang yang lain. Abdullah bin Mas'ud mungkin juga termasuk salah satu dari orang-orang ini. Ketika pemimpin-pemimpin ini tidak dipatuhi, maka masyarakat dari segi nilai dan kriteria menjadi rapuh. Di sinilah letak pentingnya memetik pelajaran.

Saudara-saudaraku! Orang akan lambat memahami perubahan masyarakat ini; [karena itu] ia harus waspada. Inilah takwa, yaitu orang-orang yang wilayah kekuasaan mereka adalah diri mereka sendiri, maka mereka ini harus waspada pada lingkup itu. Orang-orang yang wilayah kekuasaannya lebih luas dari diri mereka sendiri harus mewaspadai diri mereka sendiri juga mewaspadai orang lain. Mereka yang berada di pucuk kekuasaan harus mewaspadai diri mereka juga mewaspadai segenap masyarakat agar tidak bergerak ke arah kerakusan dunia, ke arah kenikmatan duniawi dan ke arah kepentingan diri sendiri. Ini bukan artinya tidak menyejahterakan masyarakat. Justru mereka itu harus memakmurkan masyarakat dan menghasilkan kekayaan yang banyak, akan tetapi hendaknya tidak rakus menguasainya untuk diri sendiri, karena ini adalah tindakan yang buruk sekali. Setiap orang yang bisa membuat masyarakat Islam menjadi kaya dan melakukan kerja-kerja besar, pasti dia mendapatkan pahala yang besar.

Dan orang-orang ini yang Alhamdulillah bisa membangun negara dalam beberapa tahun ini; yang menegakkan panji pembangunan di dalam negeri ini; melakukan kerja-kerja besar, mereka ini terus melakukan kerja-kerja yang sangat bagus; mereka bukan orang-orang yang rakus dunia. Rakus dunia ialah seseorang yang menginginkan segala sesuatu untuk diri sendiri, bekerja demi diri sendiri, menumpuk kekayaan dari Baitul Mal atau dari sumber lainnya untuk diri sendiri. Ini jelek sekali. Kita harus waspada. Semua harus waspada supaya tidak terjadi demikian. Kalau tidak ada kewaspadaan, pada saat itulah masyarakat akan mengalami kekosongan nilai-nilai mulia secara bertahap hingga sampai pada satu kondisi dimana yang tersisa hanya kulit luarnya saja, lalu tiba-tiba ada sebuah ujian besar - berupa kebangkitan Abu Abdillah (Imam Husain as), ketika itulah masyarakat tersebut akan gagal dalam menghadapi ujian ini!

Penguasa masa itu mengatakan, 'Aku akan berikan kekuasaan negeri Rey kepadamu.' Pada masa itu, Rey adalah sebuah kota yang sangat besar dan banyak penghasilannya. Kekuasaannya juga bukan seperti kekuasaan atas sebuah provinsi di zaman ini. Sekarang, para gubernur atau pimpinan provinsi kita adalah seorang pejabat pemerintahan; mereka mendapatkan gaji dan bekerja keras. Tapi, pada zaman itu, keadaannya tidak seperti ini. Seseorang yang memerintah di suatu kota, yakni semua sumber-sumber penghasilan kota itu berada di dalam kewenangannya; lalu sebagian dari hasilnya dikirimkan ke pusat dan sisanya berada di bawah wewenangnya. Dia bisa melakukan pekerjaan apa saja yang dia inginkan. Oleh karena itu, [pemerintahan di suatu kota saja] sangat penting baginya. Lalu penguasa [masa itu] mengatakan, jika kamu tidak memerangi [Imam] Husain bin Ali, maka pemerintahan di Rey tidak akan jatuh ke tanganmu. Di sinilah seorang yang teguh dengan prinsip tidak akan berpikir sepintas pun dan dengan tegas akan mengatakan, "Enyahlah dan ambillah Rey! Apa arti Rey?"

Kalaupun semua dunia ini engkau berikan kepadaku, aku tidak akan pernah bermuka masam kepada Husain bin Ali. Aku tidak akan menunjukkan wajah garang kepada putra tercinta [Fathimah] Zahra as. Akankah aku pergi membunuh [Imam] Husain bin Ali dan anak-anaknya hanya supaya kalian memberikan kekuasaan Rey kepadaku?! Beginilah orang yang teguh dengan prinsip. Akan tetapi, ketika orang yang mendapat tawaran kehilangan jiwanya; ketika masyarakat jauh dari nilai-nilai mulia; ketika garis-garis besar dalam masyarakat itu sudah lemah, maka tangan dan kakinya akan tergelincir. Ya, maksimalnya, dia akan berpikir dulu untuk satu malam, yaitu ketika mereka mendesak keras dan memberi waktu satu malam sampai subuh untuk menimbang-nimbang! Kalaupun dia berpikir satu tahun, tetap saja dia akan mengambil keputusan yang sama. Cara berpikir ini tidak ada artinya. Satu malam dia berpikir, pada akhirnya dia mengatakan, 'Baiklah, saya menginginkan kekuasaan Rey.' Namun ternyata, Allah SWT pun tidak memberikan negeri itu kepadanya. Ketika itulah, saudara-saudaraku! tragedi Karbala itu terjadi.

Pada kesempatan ini, saya harus berbicara sedikit tentang analisa tragedi Asyura walaupun hanya sekilas. Orang seperti [Imam] Husain bin Ali as. - yang dirinya adalah perwujudan dari nilai-nilai kemuliaan - melakukan kebangkitan untuk memerangi kemerosotan ini, karena kemerosotan itu telah berlangsung hingga sampai pada kondisi dimana tidak ada lagi [nilai] yang tersisa semikian rupa sehingga kalau suatu saat, masyarakat dan kaum Muslimin ingin hidup dengan baik, maka tidak ada sesuatu apa pun yang dapat mereka pegang. Imam Husain bangkit, berjuang, bergerak dan melawan seorang diri terhadap laju keruntuhan yang begitu cepat menukik itu. Tentu, dalam misi ini, beliau mengorbankan jiwanya, jiwa orang-orang tercintanya, jiwa Ali Ashghar-nya; jiwa Ali Akbar-nya; jiwa Abbas-nya, dan beliau memetik hasilnya.

[Dalam Sabda Nabi SAW], "Dan aku dari Husain", yakni agama Nabi SAW adalah hidupnya Imam Husain bin Ali. Ini satu sisi dari lembaran itu. Satu sisi lembaran itu ialah peristiwa besar, semangat juang yang begitu mendidih dan pengalaman cinta di Asyura sehingga kejadian-kejadian di Karbala benar-benar tidak bisa dipahami kecuali dengan logika cinta dan dengan mata cinta. Kita harus melihat dengan mata cinta hingga dapat memahami apa yang telah dilakukan [Imam] Husain bin Ali dalam - kurang lebih - satu malam dan setengah hari atau kira-kira sehari semalam - dari waktu ashar hari Tasu'a (hari kesembilan Muharram) sampai waktu ashar 'Asyura (hari kesepuluh Muharram) - dan betapa beliau telah menciptakannya sedemikian agungnya. Oleh karena itu, beliau tetap hidup di dunia dan akan tetap hidup selama-lamanya. Banyak pihak yang berusaha mengubur tragedi Asyura hingga dilupakan orang, namun mereka tidak mampu.

(Pidato shalat Jumat di Tehran, 8 Mei 1998)