Hadith "Al-Qur’an wa-Ithrati atau Sunna-ti?"
(Dipetik dari buku “Sunnah Syi’ah Dalam Dialog” oleh al-Marhum Ustadz Husein al-Habsyi,
Yayasan Ats-Tsaqalain, 1991, hlm. 37-49)
Mahasiswa: Kami pernah mendengar satu Hadits tetapi ada dua pengakuan terhadap hadits ini, dan hadith tersebut tersebut adalah Hadits Tsaqalain yang menyebutkan tentang Kitabullah wa Sunnah- ti mohon penjelasan?
Ustadz Husein: Sebenarnya hal itu ada dua Hadits yang satu menurut jalur Ahiul Bait atau lmamiyah yang berbunyi sebagai berikut:
“Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, Al-Qur’an dan Ithrah Ahli Baiiku, kalau kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan sesat."
Menurut Syi ‘ah lmamiyah hadits tersebut hampir dikatakan mutawatir, bukan hanya shahih saja. Kalau hadits ini kita tinjau dan kitab-kitab standard kita Ahlus sunnah (Muslim, Kitab Fadhoilus Sohabah Bab Fadhail Ali, Turmudzy Juz 2, ha. 308, Mustadrak al-Hakim Juz 4, ha. 48, 109, Musnad Ahmad Juz 3, hal. 17, Nasa’i Kitab Khosois Imam Ali) maka kita menganggap hadits ini yang menyebutkan “Ithrati”, kita Ahlussunnah menganggapnya shahih. Hampir semua kitab hadits meriwayãtkan hadits Ithrah ini kecuali Bukhari. Imam Muslim meriwayatkannya dalam Kitab Fadhoil Ahiul Bait; Imam Turmudzy, An-Nasa’i dalam kitabnya Al-Khoshois, dan Ahmad dalam Musnadnya, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Kanzul Ummal, Ath-Thobakot dll. Dan juga di dalam tafsir-tafsir: Ibnu Katsir, Jama ‘ul Ushul dan lain-lain.
Jadi kita Ahius Sunnah sendiri menganggap hadits ini shahih. Sedangkan hadits serupa tetapi menyatakan kitabullah wa sunnati dan itu pun hanya terdapat pada dua jalur saja. Kita Ahlus Sunnah membenarkannya dan tidak mahu mengambil yang lain yakni kitabullah wa ithrati padahal hadits itu lebih kuat dan lebih banyak,[19] tetapi hanya “kitabullah wa sunnati” yang dipakai.
Hadits kitabulah wa sunnati rasulihi maksudnya ialah “Kami meninggalkan dua hal bagimu, Kitab Allah dan Sunnahku, Hadits ini menurut kita Ahlussunnah shahih dan bahkan kita berpegang dengannya.
Namun bagi Imamiyah yang saya anggap mereka itu teliti sekali, mengatakan bahwa justru hadits wa sunnati ini tidak tepat dan tidak sesuai dengan keadaan serta kenyataan di saat itu (Lihat Kitab: Li akuna ma ‘ashodiqin oleh Muhammad At-Tijani As-Samawi).
Menurut kenyataan sejarah, Nabi melarang sahabat menulis hadits Beliau. Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman pun melarang menulisnya sehingga sunnah Nabi yang merupakan ucapan Beliau, pengakuan suatu tindakan yang dilakukan sahabat atau ikrarnya, kemudian perbuatan Beliau sendiri. Ketiga-tiganya itu tidak pernah terbukukan sebab ada larangan.[20]
Walaupun larangan itu oleh sebagian golongan sebagai sesuatu yang naif sebab dikatakan khawatir bercampur aduk dengan Al-Qur’an. Hal ini saya kira mustahil sebab Allah telah berjanji akan memelihara Al-Qur’an itu dari segala gangguan dan juga bahasa Al-Qur’an itu dan sastranya demikian indah dan jauh berbeda dengan hadits.
Kalau orang Arab apalagi yang hadir di zaman Nabi khususnya yang muslim, tidak mungkin keliru atau salah membedakan antara hadits Rasulullah Saww dan Al-Qur’an.
Oleh karena itu konon diriwayatkan bahwa Nabi tidak pernah mengajarkan sunnahnya.[21] Jadi bila Nabi bertindak atau bersabda maka sahabat mencatatnya. [22] Tetapi kadangkala tidak Semua sahabat hadir pada waktu itu sehingga kadang-kadang satu sunnah Nabi hanya disaksikan oleh seorang sahabat saja. Sehingga banyak sahabat misalnya tidak faham tentang cara tayammum. [23] Ada sahabat yang tidak tahu bagaiman cara mengusap sepatu dalam berwudhu, sebab mereka tidak melihat Rasulullah SAW berbuat demikian. Jadi praktis yang terbukukan waktu itu yang berwujud kitab hanyalah Al-Qur’an. [24]
Oleh kerana itu Nabi bersabda: “Aku tinggalkan padamu Kitab Allah dan Itrahku.” Kalau sunnah Beliau benar-benar tidak tercatat, tidak mungkin orang berpegangan dengan sesuatu yang tidak ada (belum berwujud saat itu).
Ketika Nabi sedang sakit keras dan beliau minta kerta dan tinta sebagaimana yang telah diriwayatkan Bukhari [25]. Untuk menuliskan wasiat. Namun Saidina Umar menjawab: “Ya Rasulullah: Cukup bagi kami Al-Qur’an. Dengan susunan kalimat Saidina Umar ini – “yakfina Kitabullah” – dan sama sekali tidak menyebut Sunnah, bererti - kalau kita mahu jujur dan berprasangka baik – Saidina Umar tidak akan berpegang dengan Sunnah yang memang waktu itu belum tercatat dan belum terbukukan.
Jadi Saidina Umar bukan menolak Sunnah – walaupun ada orang Syi’ah yang radikal mengatakan Umar menolak Sunnah, jadi termasuk ingkar sunnah – tetapi sebahagian lain ,mengatakan tidak demikian, sebab Umar pada waktu itu belum melihat adanya sunnah sehingga dia bilang “cukup al-Qur’an”, kemudian sunnahnya bagaimana?
Sunnahnya tentunya apa-apa yang ada di dada mereka, yang mereka ingat. Dan ini relatif tidak bisa lagi yang memimpin tidak “allround”(menguasai sepenuhnya) dalam menghafal semua sunnah. Kerana itu dengan prasangka yang baik kita harus menganggap bahawa – waktu itu sunnah belum terbukukan - Jika umpama sunnah waktu itu sudah (terbukukan) maka kita bisa menghukum Saidina Umar kafir, kerana dia menolak sunnah.Oleh kerana sunnah belum ada maka Umar berpegangan dengan apa yang sudah ada yakni al-Qur’an.
Alasan ialah ialah ketika Nabi SAW masih hidup, Beliau tidak pernah mengajarkan sunnahnya pada ummatnya tetapi Beliau hanya mengajarkan al-Qur’an. [26].
Jadi yang dikatakan sunnah adalah ucapan Beliau dan lain-lainnya itu belum ada yang mencatat (membukukan)nya dan belum terdaftar oleh semua sahabat. Kadangkala sebagaimana yang telah saya katakan tadi sunnah itu hanya didengar oleh seorang sahabat saja. Jadi Nabi tidak mengajarkan sunnah itu.
Sunnah baru dibukukan dan ingatan para sahabat kira-kira satu abad setelah Nabi Saww wafat. Tepatnya di zaman bani Abbas.
Perbedaan pendapat antara sahabat tentang memerangi kaum murtad di zaman khalifah Abu Bakar adalah salah satu bukti bahwa sebagian sahabat lupa akan sunnah Nabi yang belum terbukukan saat itu.
Peristiwa peperangan dengan kaum Riddah atau kaum murtad yang terjadi pada bulan-bulan pertama masa pemerintahan Abu Bakar yaltu menghadapi orang-orang yang menolak mengeluarkan zakat. Abu Bakar memutuskan untuk memerangi mereka dan Umar sedianya menolak dengan alasan mereka itu tetap mengucapkan syahadat, tetapi akhirnya Umar setuju. Pada awalnya Umar berdalil untuk menentang tindakan Abu Bakar, akhirnya karena kuat dan kerasnya pendirian Abu Bakar maka Umar tertarik dengan pendirian Abu Bakar dan diserbulah Ahli Riddah (yang tidak mau membayar zakat) itu
Andaikata sunnah Nabi pada waktu itu sudah dibukukan tentu kedua sahabat besar ini ti dak akan lupa akan peristiwa yang disaksikan oleh kedua beliau itu sendiri dan mereka tahu bahwa kejadian itu sampai turun ayat Al-Qur‘an: “Yaitu peristiwa Tsa ‘labah.”
Tsa’labah adalah salah seorang sahabat yang tidak mau mengeluarkan zakat di zaman Nabi dan dihadapi oleh Nabi sendiri sampai ada ayat yang turun karena peristiwa itu, namun terhadap Tsa’labah ini Nabi tidak membunuhnya. Jadi membunuh orang yang tidak mengeluarkan zakat tidak cocok dengan sunnah Nabi pada waktu itu. Tidak ada sahabat yang tidak tahu tentang masalah Tsa’Iabah ini, termasuk sahabat Abu Bakar dan Umar. Hal ini, menunjukkan bahwa sunnah Nabi tidak terbukukan, kalau memang terbukukan tentunya mereka akan merujuk ke sunnah itu.
OIeh karena itu hadits yang menyebut “wa sunnati” itu nienurut mereka tidak bisa dipastikan benar. Selain itu ada beberapa alasan yang terbaca oleh kita dalam hadits-hadits baik dari amalan-amalan sahabat yang bertentangan dengan sunnah Nabi andaikata mereka tahu, niscaya tidak akan mereka lakukan dan kita tidak berani mengatakan bahwa mereka sengaja bertindak dengan ijtihad sedangkan nash ada tetapi mungkin saja mereka ijtihad karena sunnah tidak ada atau tidak terdaftar, sedang yang bersangkutan tidak ingat sunnah itu. Jika mereka benar-benar tidak tahu tentang sunnah beliau dalam beberapa masalah maka bagaimana Nabi memesankan agar berpegangan dengan sunnah yang belum ada itu?
Setelah lama Rasulullah Saww wafat baru sunnah Nabi itu terbukukan. Orang yang pertama membukukannya adalah Imam Malik dan pembukuan tersebut dilaksanakan setelah teijadinya peperangan Jamal, perang Siffin dan perang Nahrawan dan juga setelah peristiwa Al-Harra di mana ketika itu Madinah Rasulullah Saww dibuka bagi kaum angkara murka. Banyak sahabat yang terbunuh dalam peperangan-peperangan dan peristiwa itu. Ummat Islam saat itu terpecah menjadi dua kelompok:
Kubu Ali dan keluarga Nabi Saww dan kubu sahabat-sahabat pada umumnya. Yang lebih parah lagi adalah perpecahan antara kubu Ali dan Muawiyah. Para perawi yang ada mendekati Muawiyah, dan oleh Imamiyah hadits-hadits mereka tidak dipakai.
Jadi hadits “Wa sunnati” menurut Imainiyah tidak ada, yang ada hanya hadits “Wa ithrati, hal ini bisa dipertanggungjawabkan oleh kita Ahlussunnah maupun oleh mereka kaum Syi ‘ah.
Dalam hadits “Wa itrati” Nabi Saww seakanakan menyatakan, “Qur’an itu kutinggalkan atau kitabullah itu saja yang aku tinggalkan padamu, adapun mengenai pelaksanaannya yaitu mandatorisnya adalah Ahlul Bait dalam arti keseluruhan.”
Oleh karena itu, Ali oleh Imamiyah dianggap sebagai sahabat yang paling alim dan hal ini sudah diaksiomakan di zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ketiga sahabat ini kalau menghadapi suatu masalah pasti pergi menjumpai Ali dan bertanya kepadanya. Nabi bersabda:
“Aku kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya. “[27]
Karena itu menurut Syi’ah, lebih aman berpegang teguh kepada Itrati. Ahlussunnah juga meriwayatkan “Wa itrati” dan Syi'ah Imainiyah juga meriwayatkan hadits “wa itrati”, jadi kita menemukan titik temu dengan Syi 'ah dalam masalah ini walaupun antara kita dan mereka mempunyai jalur masing-masing. Adapun “wa sun-nati!" hanya ada pada jalur kita dan itupun hanya dua atau tiga jalur. Karena itu Syi 'ah menolaknya dengan alasan-alasan sebagaimana yang teIah saya paparkan yakni pada waktu itu sebelum dibukukan atau belum ada.
Mahasiswa: Sebenarnya jawaban Ustadz tadi cukup jelas dan gamblang. Secara pribadi, saya bisa menjawab mana yang lebih shahih dan yang lebih bisa diterima antara hadits “Sunnati” dan “Itrati”. Namun saya ingin mendapat penjelasan yang lebih pasti dari Ustadz. Yakni mana yang lebih shahih, hadits “Sunnati” atau “Itrati”?
Ustadz Husein: Saya sendiri menganggap bahwa kedua pendapat Sunnah dan Syi 'ah itu sudah cukup jelas. Kalau pendapat Imamiyah “Wa sunnati” tidak mungkin diucapkan oleh Nabi Sebab Nabi tidak akan mungkin meninggatkan sesuatu yang tidak berwujud (konkrit) atau lengkap.
Nabi hanya meninggalkan sesuatu yang konkrit yaitu A1-Qur’an. Jadi para sahabat walaupun yang buta huruf tidak bisa baca A1-Qur’an, kemudian mereka memerlukan satu ayat, mereka bisa bertanya kepada orang-orang yang hafal (huffadz), tetapi masalah sunnah mereka memerlukan keterangan dan waktu itu tidak ada satu pun kitab yang bisa dijadikan rujukan oleh mereka, sedangkan mereka memerlukan sunnah itu. Karena, pada waktu itu sunnah terpencar-pencar di dada para sahabat dan tidak semua sahabat hadir ketika Nabi mengucapkan sesuatu, maka sulit kita percaya bahwa Nabi meninggalkan sesuatu yang belum konkrlt, masih abstrak, yang masih diingat oleh satu orang sedang orang lain tidak ingat. Nabi tidak meninggalkan barang seperti itu tetapi Beliau meninggalkan Al-Qur’an.[28]
Bahkan kalau saya tidak salah, Bukhari sendiri menyatakan ketika ditanya apakah Nabi meninggalkan wasiat atau tidak, Nabi hanya mewasiatkan Kitabullah (tanpa wa sunnati)! Saya kira riwayat Bukhari ini lebih tepat dipegangi oleh Ahlussunnah.
Nota kaki:
19)Jalur (sanad) hadits kitabullah wa ithrati -- mencapai 60 jalur ebih dan sudah disepakati keshahihannya oleh Ulama-ulama AhIi Sunnah wal Jamaah. Jbnu Hajar berkata dalam buku Showaiq Al-Muhriqah:“Ketahuilah, bahwa hadits tsaqalain memiliki banyak Jalur yang dating dari 20 sahabat. Sekali Beliau SAWW mengucapkan di Padang Arafah juga pernah di Ghadir Khum, di kamar Beliau ketika sedang sakit yang membawanya wafat, ketika pulang dan Thaif semuanya tidak ada pertentangan saW sama lainnya, pengulangan itu menunjukkan betapa perhatian Beliau kepada Al-Qur’an dan A!-lthrah. Adapun Hadits wa sunnati hanya diriwayatkan oleh dua atau tiga Ulama di antaranya Imam Malik dalam Muwa:hanya, Ath-Thabari dalam Musnad Kabirnya dari Ibnu Hisyam dalam buku Sirahnya. Untuk lebih jelasnya lihat buku Hadits Tsaqalain yang diterbitkan oleh kelompok pendekatan antar Madzhab “Dar At Taqrib”.
20)Nabi bersabda: “Janganlah kalian menulis apa-apa kuucapkan selain Al-Quran, maka a harus menghapusnya. (Sunan AdDarimy Muslim — Ahmad - Turmudzy - dan Nasa’i - dan Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri.
21)Kitab Li Akuna Ma’ashshodiqin oleh: Muhammad At-Tijani As-Samawi.
22)Larangan penuliaan itu dianggap oleh sementara golongan sebagai suatu hal yang tidak tepat, mereka meragukan keshahihan hadits larangan Itu, sebab telah diriwayatkan bahwa Nabi justeru memerintahkan penulisan hadits-haditsnya dan sahabat-sahabat pun mencatat semua yang beliau ucapkan. Bukhari meriwayatkan maka datang seorang diri penduduk Yaman dan berkata: Tuliskan buatku ya Rasulullah! Nabi bersabda: "(Wahai sahabatku) tuliskan buat si Pulan itu (Kitabu Ilm bab Kitabatul Ilm Juz J hal. 23). Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata, saya berkata: “Wahai Nabi apakah semua yang kau ucapkan perlu saya tulis? Nabi menjawab: “Ya”. Saya berkata, dalam keadaan ridha dan marah? Nabi menjawab: “Ya”, karena sesungguhnya aku tidak rnengucapkan kecuali yang benar.” (Sunan Turrnudzy Juz 5 hal. 39 kitabul urn bab Maja’afi arrukhsoh fihi).
23)Bukhan Kitabut Tayammum Juz 1 hal. 70, Al-Muhalla, Ibnu Hazm Juz 1 hal 339 cet. Matba’ul Imam (Mesir).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar