Arsip Blog

Jumat, 12 Desember 2008

Penyempurnaan Diri di Balik Ritual Haji





Salah satu ritual terbesar umat Islam yang disatukan dalam satu titik pusara adalah ibadah haji. Berbeda dengan ibadah lainnya, haji mempunyai banyak dimensi yang mesti digali oleh para pelakunya. Selain mengandung dimensi ibadah, haji mempunyai dimensi sosial, ekonomi, dan politik tidak dapat dipisahkan dari seluruh rangkaian haji. Kalaulah makna-makna tersebut belum menjadi kesadaran kolektif para jamaah haji, kesadaran itu setidaknya disadari oleh individu jamaah haji. Kesadaran individual akan mendorong terbentuknya kesadaran kolektif jamaah haji, yang selanjutnya berimbas kepada kesadara kolektif umat.

Miqat adalah titik awal seorang yang melakukan ibadah haji. Di sini para jamaah menanggalkan seluruh pakaiannya seraya menggantikannya dengan kain putih yang tidak dijahit sama sekali. Pakaian yang melambangkan kebanggaan kelas sosial, status, yang menjadi pembatas palsu, diskriminasi, perpecahan, ras, yang dipertuan dan yang diperhamba dan sebagainya ditanggalkan. Pada saat itulah seluruh jamaah dipaksa untuk mengakui bahwasanya manusia itu sama dari manapun kelas status sosialnya.

Kini lepaskanlah pakaianmu dan tinggalkanlah di Miqat! Kenakanlah kain kafan, sehelai kain putih yang sederhana. Yang engkau kenakan adalah sama dengan yang lainnya. Saksikan, betapa keseragaman terjadi. Jadilah partikel dan ikutlah massa. Laksana setetes air, masuklah engkau ke samudera.

Janganlah tinggi hati! Engkau di sini bukan untuk mengunjungi seorang manusia, tetapi hendaklah engkau berendah hati karena engkau hendak mengunjungi Allah. Hendaklah engkau menjadi seorang manusia yang menyadari kefanaannya atau menjadi manusia yang fana yang menyadari eksistensinya.

Ketika berada di Miqat, engkau menyadari apa yang harus engkau lakukan dan mengapa hal itu harus dilakukan. Dengan memakia pakaian ihram engkau melakukan shalat, seraya berdoa: Ya Allah, aku menghadap Engkau sebagai Ibrahim, tidak sebagai penindas, tidak sebagai penipu, tidak sebagai penimbun harta, tidak sebagai pemimpin dengan jubah agama membodohi dan licik terhadap rakyat, tidak sebagai koruptor yang mengisap darah rakyat. Tidak! Aku menghadap Engkau sebagai seorang manusia dengan mengenakan pakain yang sama seperti yang akan kukenakan ketika menghadap Engkau di akhirat nanti.

Mengelilingi Ka’bah (thawaf) oleh lautan manusia bagaikan air sungai dan pusarannya. Ia bagaikan matahari sebagai tata surya dan manusia bak bintang-bintang yang beredar di dalam orbitnya. Dengan Ka’bah di tengah-tengah manusia mengelilinginya dalam sebuah gerakan sirkular. Ka’bah melambangkan ketetapan (konsistensi) dan keabadian Allah, sedang manusia-manusia berbondong-bondong mengelilinginya, melambangkan aktivitas dan transisi makhluk-makhluk ciptaannya, aktivitas transisi yang terjadi terus menerus.

Inilah contoh dari sebuah sistem yang monoteisme (tawhîd) yang mencakup sebuah orientasi partikel manusia. Allah adalah pusat eksistensi. Dia adalah titik fokus dari dunia yang fana ini. Sebaliknya engkau adalah sebuah partikel yang bergerak dengan mengubah posisimu sebagai manusia dengan posisi yang seharusnya .

Jabatlah tangan Allah (yang dilambangkan dengan mencium/menyentuh Hajar Aswad) . Dia lebih kuat pada semua pihak yang memikat tanganmu di dalam sumpah setia yang engkau ikrarkan di masa sebelumnya. Dengan ini ikrarkan dengan sepenuhnya untuk hanya kembali kepada tangan Allah yang telah mendidikmu, menyayangi dan menemanimu di kala engkau sedang sendirian.

Sa’y adalah sebuah pencarian. Dia adalah gerakan yang mempunyai tujuan yang digambarkan dengan gerakan berlari-lari serta bergegas-gegas. Apapun yang terjadi bergerak secara-terus menerus –humanitas dan spiritualitas dan di antara keduanya yang ada hanyalah disiplin. Inilah yang dikatakan sebagai ibadah haji, tekad untuk melakukan gerak abadi ke suatu arah tertentu. Demikian pulalah pergerakan seluruh alam semesta ini.

Inilah yang dilakukan Hajar sendirian, yang berlarian ke puncak-puncak bukit untuk mencari air, sumber kehidupan dan tidak duduk termangu serta menangis putus asa. Sa’y adalah perjuangan fisik yakni menggerakkan seluruh tenaga di dalam pencarian air dan roti untuk menghilangkan lapar dan dahaga anak-anakmu. Inilah cara untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik. Sa’y adalah perjuangan mencari hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhanmu dari alam. Sa’y bersifat material, kebutuhan material dan tujuan material dan aksi material, dengan akal yang mutlak dan berdiri sendiri berdasar hal-hal yang nyata.

Thawaf dan sa’y adalah perpaduan antara cinta yang mutlak dan akal yang mutlak, yang menghilangkan kontradiksi-kontradiksi, yang selalu membingungkan umat manusia di sepanjang zaman. Yang manakah yang harus dipilih, materialisme atau idealisme, rasionalisme atau petunjuk Ilahi, dunia atau akhirat, kehendak Allah atau manusia, bersandar kepada Allah atau diri sendiri.

Wahai manusia! Setelah letih melakukan sa’y, bersandarlah engkau kepada cinta, dan mencintai Sang Pemilik cinta. Percayalah bahwasanya cinta dan harapan akan membuat keajaiban. Dari padang pasir eksistensimu yang gersang dari lubuk dirimu yang dilupakan dengarlah gemuruh air itu. Dengarkanlah hatimu, gemuruh itu akan terdengar oleh hatimu.

Perjalanan selanjutnya adalah perjalanan kembali kepada Allah yang terbagi dalam tiga tahap (Arafah, Mahsyar dan Mina) yang kesemuanya harus dilalui. Sesungguhnya Allah sendiri telah memberikan nama mulia kepada ketiganya: Arafah berarti pengetahuan dan sains, Mahsyar berarti kesadaran dan pengertian dan Mina berarti cinta dan keyakinan.

Ketika melakukan ibadah haji gerakan yang pertama di Arafah. Wukuf di Arafah bermula pada siang hari 9 Zulhijjah, ketika matahari sedang terik-teriknya. Ketetapan ini dimaksudkan agar engkau memperoleh kesadaran, wawasan, kemerdekaan, pengetahuan, dan cinta di siang hari. Begitu matahari terbenam maka wukuf di Arafah itu berakhirlah. Kemudian bergeraklah sampai ke padang Mahsyar atau negeri kesadaran. Di sini lalu berhenti. Sesudah tahap pengetahuan (Arafah) adalah tahap kesadaran (Mahsyar). Hal ini mengisyaratkan bahwa perjalanan manusia yang harus dilalui adalah dari tahap pengetahuan menuju tahap kesadaran, bukan sebaliknya. Kemudian setelah itu itu menuju cinta (Mina) dan keyakinan.

Apabila objektivitas dan hubungan di antara sesuatu ide dengan dunia eksternal berdasarkan realitas maka timbullah kearifan, semakin baiklah pengertian dan berkembanglah kekuatan spiritual manusia.

Sesungguhnya yang kita bicarakan ini adalah gerakan yang berupa gerakan pergi dan gerakan kembali. Baik gerakan pergi maupun kembali ini selalu “menuju” sesuatu. Itulah sebabnya gerakan haji adalah gerakan yang mutlak. Haji adalah tujuan mutlak dan sebuah gerakan eksternal menuju tujuan tersebut. Tujuan haji bukanlah tujuan yang dapat kita capai, akan tetapi yang harus kita hampiri. Di dalam perjalanan ini engkau tidak akan sampai kepada Allah. Dia hanyalah arah yang engkau tuju. Bagi manusia, segala sesuatu bersifat sementara, berubah, mengalami kebinasaan dan kemusnahan. Tetapi gerakan abadi ini terjadi terus-menerus dan senantiasa menuju ke arah tersebut. “Setiap sesuatu akan binasa kecuali Wajah Dia” (QS. 28:88). Dalam ayat lain Allah menyebutkan: “Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kita akan kembali” (QS. 2:56).

Setelah itu engkau akan diuji dengan mengorbankan apa yang kamu cintai. Dengan berkorban ini engkau akan belajar dari Ibrahim. Inilah ujian Ibrahim. Ia harus memilih untuk mengikuti perasaannya atau menaati perintah Allah dengan mengorbankan Ismail. Cinta dan kebenaran berperang di dalam batinnya. Seandainya yang diperintahkan oleh Allah adalah mengorbankan dirinya, bagi Ibrahim itu lebih mudah. Tetapi perasaan yang seperti itulah yang merupakan sikap mementingkan diri sendiri dan kelemahan dirinya. Akan tetapi Ibrahim dapat melalui ujian yang berat dan drama yang maha dahsyat ini, dengan menuruti perintah Allah. “Ketahuilah bahwasanya harta kekayaan dan anak-anakmu adalah sebagai ujian.” (QS. 8:28)

Menjadi insan kamil, yaitu manusia yang menyadari ketidaksempurnannya, merupakan tujuan yang tidak berakhir dan menuju kepada lautan yang tidak terbatas. Yaitu penghampiran manusia yang terbatas kepada yang Mutlak.

Tidak ada komentar: