Arsip Blog

Jumat, 12 Desember 2008

Ahlussunnah dan Penghapusan Sunnah

Dalam pasal ini kami ingin menguraikan sesuatu yang terpenting yang bagi peneliti sangat perlu mencermatinya, agar terungkap tanpa kepalsuan bahwa orang-orang yang menamakan diri dengan Ahlussunnah, hakikatnya tidak memiliki layak disebut dari sunah Nabi saww. Dikarenakan mereka atau tepatnya, para pendahulu mereka dari kalangan sahabat dan Khulafah ar-Rasyidin menurut yang mereka ikuti, dan bertaqarrub pada Allah Swt, dengan jalan mencintai dan berwalikan pada mereka, telah mengambil peran sebagai perampas sunah Nabi saww, hingga pada tingkat pembakaran dan pencegahan terhadap penulisannya dan periwayatannya.

Sebagai tambahan dari uraian yang lalu, perlu dibuka tabir penutup persekongkolan tercela tersebut, yang bersikap angkuh melawan sunah Nabi saww, yang suci dalam mencegah tersebarnya dan memusnahkannya di masa itu serta menggantikannya dengan bid’ah-bid’ah para penguasa dan ijtihad mereka serta pendapat-pendapat para sahabat dan penakwilan mereka.

Para penguasa periode pertama telah berusaha :

Pertama. Membuat hadis-hadis dusta (palsu) yang menguatkan mazhab mereka dalam pencegahan terhadap penulisan seluruh sunah Nabi saww, dan hadis-hadis yang mulia. Inilah Imam Muslim telah meriwayatkan dalam shahihnya berasal dari Haddad bin Khalid al-Azdi, dari Hammam dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saww bersabda :

“Janganlah kalian menulis apa yang dariku, dan barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur’an, maka hendaklah menghapusnya, dan riwayatkanlah, hal itu tidak mengapa.”1

Maksud pembuatan hadis tersebut adalah sebagai pembelaan terhadap apa yang telah diperbuat oleh Abu Bakar dan Umar atas hadis-hadis Nabi saww, yang telah ditulis oleh sebagian sahabat dan mereka telah mengumpulkannya. Dan hadis itu dibuat di zaman terakhir dari masa Khulafa ar-Rasyidin, dan para pembuat hadis palsu itu lengah dari beberapa perkara berikut ini :

1. Seandainya shahih ar-Risalah Rasulullah saww, telah mengatakan hadis tersebut niscaya para sahabat yang menulis dari beliau pasti mentaati perintah beliau dan mereka telah menghapusnya sebelum Abu Bakar dan Umar memerintahkan pembakarannya setelah beberapa tahun setelah wafat Nabi Muhammad saww.

2. Seandainya hadis tersebut shahih, niscaya Abu Bakar pada tahap pertama, pasti menjadikannya dalil, kemudian Umar pada tahap kedua, untuk menguatkan pencegahan keduanya terhadap penulis hadis-hadis dan penghapusannya, dan pasti para sahabat yang telah terlanjur menulisnya akan mengemukakan alasan tidak tahu atau lupa.

3. Seandainya hadis tersebut shahih, maka wajib atas Abu Bakar dan Umar untuk memerintahkan agar mereka menghapus hadis-hadis bukan membakarnya.

4. Seandainya hadis tersebut shahih, maka kaum Muslimin semenjak masa Umar bin Abdul Aziz sampai masa kita sekarang ini, semuanya berdosa karena mereka telah melanggar larangan Rasulullah saww, dan paling pokoknya adalah Umar bin Abdul Aziz yang telah memerintahkan para Ulama di masanya untuk mengumpulkan hadis-hadis dan penulisannya, begitu juga Bukhari Muslim yang telah mengesahkan hadis tersebut, kemudian mendurhakainya dan menulis beribu-ribu hadis dari Nabi Muhammad saww.

5. Akhirnya, seandainya hadis tersebut shahih, pasti ia tidak akan terlapaskan dari pintu kota ilmu,

-----------------------------

1. Muslim, VIII, hal.229.

yakni ‘Ali bin Abi Thalib yang telah mengumpulkan hadis-hadis Nabi saww, Dalam lembarannya yang panjangnya 70 hasta, dan dia menamakannya al-Jami’ah. (Pembicaraan ini akan datang pada gilirannya).

Kedua. Para penguasa Muawiyah telah berusaha menguatkan anggapan bahwa Rasulullah saww, itu tidak maksum dari kesalahan, dan beliau sebagaimana manusia biasa yang kadang salah dan kadang benar. Mereka telah meriwayatkan dalam perkara ini hadis-hadis yang banyak. Sedang tujuan pembuatan hadis-hadis tersebut ialah untuk pengukuhan terhadap paham bahwa Nabi saww, itu melakukan ijtihad dengan pendapatnya, dan beliau sering keliru yang sebagian beliau serukan pada sebagian sahabat untuk meluruskan pendapat beliau. Sebagaimana hal itu telah diriwayatkan dalam hal pengcangkokan kurma, turunnya ayat hijab memintakan ampun buat orang Munafiqin, penerimaan fidyah tawanan Badar dan lain-lainnya yang telah didakwahkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dalam shahih mereka dan yang mereka jadikan keyakinan terhadap shahib ar-Risalah (saww).

Kami katakan kepada Ahlussunnah wal Jama’ah, “Jika demikian itu agama dan aqidah kalian terhadap Rasulullah saww, maka bagaimana kalian menyeruhkan untuk berpegang pada sunahnya, sedang sunahnya menurut kalian dan menurut para pendahulu kalian tidaklah maksum, bahkan tidak dikenal dan tidak tertulis...! *1. Sudah tentu kami akan meolak tuduhan-tuduhan dan kedustaan-kedustaan tersebut dan membatalkannya berdasarkan dari kitab-kitab kalian sendiri da shahih kalian. *2

Bukhari telah meriwayatkan dalam shahih-nya dari kitab ilmu, bab penulis ilmu

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi saww, yang telah banyak meriwayatkan hadis dari padaku, selain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, sesungguhnya dia dapat menulis sedang aku tidak.” *3

Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa dari kalangan sahabat Nabi saww ada yang menulis hadis-hadisnya. Apabila Abu Hurairah meriwayatkan lebih banyak dari 600 hadis dari Nabi saww secara lisan, maka sesungguhnya Abdullah bin Amr lebih banyak meriwayatkan hadis Nabi saww daripada dirinya karena dia dapat menulis, dan tidak dapat diragukan bahwa di kalangan para sahabat banyak yang menulis hadis-hadis dari Nabi saww, sedangkan Abu Hurairah tidak menyebutkan mereka, karena mereka tidak terkenal dengan periwayatan yang banyak dari Nabi saww. Apabila kita tambahkan mereka itu dengan Imam ‘Ali bin Abi Thalib yang telah membentangkan dari atas mimbar satu lembaran yang dia namakan al-Jami’ah (kumpulan), yang telah terkumpul di dalamnya semua yang dibutuhkan umat manusia dari hadis Nabi saww, dan telah diwariskan kepada para Imam Ahlulbait (salam atas mereka) dan yang banyak diriwayatkan oleh mereka. Imam Ja’far ash-Shadiq telah berkata, “Sesungguhnya pada kami satu lembaran yang panjangnya 70 hasta, yang merupakan pendekatan Rasulullah saww, dan tulisan ‘Ali dengan tangannya, yang tidak ada hal yang halal dan haram, dan tidak ada sesuatu yang dibutuhkan manusia dan tidak ada satu ketentuan kecuali semuanya telah tercantum di dalamnya sehingga perkara kecurangan terhadap lalat.”1

------------------------------------------------------------

*1. Karena pengumpulan sunah Nabi tertunda sampai zaman Umar bin Abdul Aziz atau setelahnya, adapun khalifah sebelumnya telah membakarnya dan mencegah penulisan dan periwayatannya.

*2. Yang anehnya, bahwa Ahlussunnah banyak meriwayatkan hadis dan juga membatalkannya dalam kitab itu sendiri, dan yang lebih aneh dari itu ialah mereka mengamalkan yang dusta dan meninggalkan yang shahih.

*3. Shahih Bukhari, I, hal, 36, bab Kitab Ilmu.

1. Ushul Kafi, I, hal. 239.

Bukhari sendiri telah mengisyaratkan dalam shahih-nya kepada lembaran yang ada pada ‘Ali itu dalam banyak bab dari kitabnya. Tetapi sebagaimana kebiasaan Bukhari bahwa ia telah memotong banyak keistimewaan dan kandungannya. Dan bab kitabatul-Ilmi, Bukhari mengatakan, “Dari Syi’bi dari dari Abu Junafah dia berkata’ Saya bertanya pada ‘Ali, apakah pada kalian ada kitab?’ Dia menjawab, Tidak, kecuali Kitab Allah Swt, atau pengertian yang saya berikan pada seorang Muslim atau apa yang ada pada lembaran ini. ‘Saya bertanya, ‘Aapa yang di dalam lembaran itu? Dia menjawab. ‘Akal dan pemecahan masalah tawanan dan tidak boleh orang Muslim dibunuh lantaran orang kafir.”1

Sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahih Bukhari di bagian lain:

Dari al-A’mas dari Ibrahim at-Taimy dari bapaknya dari ‘Ali, dia berkata, “Tidak ada pada kita sesuatu pun selain hanyalah Kitab Allah Swt, dan lembaran dari Nabi saww ini.”2

Juga dibagian lain shahih Bukhari telah diriwayatkan :

Dari Ibrahim at-Taimy dari bapaknya, dia berkata,”Tidak ada pada kami yang dibaca selain kitab Allah Swt dan apa yang ada dalam lembaran ini.”3

Bukhari telah meriwayatkan dalam bab lain dari shahih-nya yakni :

Dari ‘Ali ra, dia berkata, “Kami tidak menulis dari Rasulullah saww selain Al-Qur’an dan apa yang ada dalam lembaran ini.” 4

Sebagaimana telah diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam bab yang lain:

Dari Ibrahim at-Taimy dari bapaknya, dia berkata, Imam ‘Ali as pernah berkotbah di atas satu mimbar yang terbuat dari tanah dan dia memegang pedang yang terkait padanya suatu lembaran lalu dia berkata, “Demi Allah Swt, tidak ada pada kita satu kitab yang dapat dibaca selain kitab Allah Swt dan apa yang ada dalam lembaran ini.” *1

Dan Bukhari tidak pernah meriwayatkan apa yang disampaikan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq bahwa lembaran tersebut dinamakan al-Jami’ah (kumpulan), sebab telah tekumpul di dalamnya seluruh keterangan yang halal dan haram, dan terkandung di dalamnya segala yang dibutuhkan oleh manusia sehingga perkara kecurangan terhadap seekor lalat, dengan pendekatan dari Rasulullah saww dan tulisan ‘Ali bin Abi Thalib. Bukhari hanyalah meringkas dengan kata-kata bahwa di dalamnya akal dan penyelesaian tawanan serta tidak boleh orang Muslim dibunuh lantaran orang kafir. Dalam kesempatan lain, dia menyatakan , ‘Ali telah menentangnya, maka di dalamnya ada gigi Unta, dan di dalamnya kota Madinah haram.... dan di dalamnya jaminal orang-orang Muslimin satu dan di dalamnya barangsiapa memerintah suatu umat tanpa seizin penguasanya....”

Sesungguhnya itu adalah merupakan pemalsuan kata-kata dan penyembunyian kebenaran, kalau tidak demikian, apakah masuk akal kalau ‘Ali menuliskan keempat bentuk kata-kata tersebut dalam lembarannya dan mengaitkannya pada pedangnya dan membiasakannya ketika berkotbah di atas mimbar dan menjadikannya sebagai rujukan kedua serelah kitab Allah Swt, dan dia berkata pada manusia,”Kami tidak menulis dari Nabi saww, selain Al-Qur’an dan apa yang ada di dalam lembaran ini...?”

-----------------------------------------

1. Shahih Bukhari, I, hal. 36.

2. Shahih Bukhari, II, hal. 221.

3. Shahih Bukhari, IV, hal. 67. dan Shahih Muslim, IV, hal. 115.

4. Shahih Bukhari, IV, hal. 69.

*1. Shahih Bukhari, VIII, hal. 144.

Apakah akal Abu Hurairah itu lebih besar dari akal ‘Ali bin Aabi Thalib, yang mana ia dapat menghafal dari Rasulullah seratus ribu hadis tanpa tulisan ...? Sungguh mengherankan, demi Allah Swt, perihal mereka itu yang mau menerima seratus ribu hadis dari Abu Hurairah yang tidak menyertai Nabi kecuali hanyalah tiga tahun, sedangkan dia dapat membaca dan menulis, dan mereka menganggap ‘Ali sebagai pintu kotanya ilmu, yang darinya para sahabat mendapatkan bermacam-macam ilmu dan pengetahuan, kemudian dia membawa lembaran yang hanya berisi empat hadis itu, yang senantiasa menyertainya dari semasa hidup Rasulullah saww sampai masa kekhalifahannya, lalu ia membawanya naik mimbar dan dikaitkan pada pedangnya...? Sungguh besar kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak berkata kecuali hanyalah kedustaan.

Atas apa yang diriwayatkan Bukhari itu, cukuplah bagi para peneliti dan cendekiawan, yaitu ketika dia menyebutkan bahwa di dalamnya akal. Ini adalah merupakan suatu dalil bahwa di dalam lembaran itu termuat banyak perkara yang mengistimewakan manusia dan pemikiran Islam. Kami tidak akan menunjukkan dalil bagi apa yang ada dalam lembaran tersebut, penduduk Mekkah itu lebih tahu terhadap kandungan garis besarnya dan Ahlulbait itu lebih tahu terhadap kandungan garis besarnya dan Ahlulbait itu lebih tahu terhadap apa yan terkandung di dalamnya, dan mereka telah mengatakan bahwa di dalamnya terkandung semua apa yang dibutuhkan umat manusia dari hal halal dan haram sampai perkara kecurangan terhadap lalat.

Tetapi yang kami menghendaki pembahasan para sahabat itu, mereka telah menulis hadis-hadis Nabi saww. Ucapan Abu Hurairah bahwa Abdullah bin Amr menulis hadis-hadis Nabi saww, dan perkataan ‘Ali bin Abi Thalib, “Kami tidak menulis dari Rasulullah selain Al-Qur’an dan apa yang ada di dalam lembaran ini, adalah merupakan dalil yang pasti, bahwa Rasulullah saww, tidak pernah melarang penulisan hadis-hadisnya selama-lamanya, bahkan sebaliknya yang benar.” Hadis yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya, “Jangan kalian menulis dariku, dan siapa yang menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah menghapusnya,” ini adalah hadis dusta yang telah dibuat oleh para pendukung Khulafa ar-Rasyidin untuk mengkokohkan dan membenarkan apa yang telah dilakukan Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam pembakaran hadis-hadis Nabi saww, dan pencegahan terhadap tersiarnya sunah. Perkara yang menambah kemantapan terhadap keyakinan bahwa Nabi saww, tidak pernah melarang penulisan hadis-hadisnya bahkan beliau memerintahkannya, ialah apa yang telah diucapkan oleh Imam “Ali, yakni orang yang terdekat dengan Nabi Saww, yaitu “Kami tidak menulis dari beliau selain Al-Qur’an dan apa yang ada dalam lembaran ini,” Dan juga hadis yang telah dishahihkan oleh Bukhari.

Dan bila ini ditambah dengan ucapan Imam Ja’far ash-Shadiq bahwa lembaran al-Jami’ah itu adalah merupakan pendekatan Rasulullah dan tulisan ‘Ali, maka berarti bahwa Nabi saww telah memerintah ‘Ali untuk penulisan itu. Agar tidak ada keraguan yang tersisa dalam diri Anda, wahai para pembaca yang mulia! Saya tambah dengan riwayat berikut ini : Al-Hakim telah meriwayatkan dalam Mustadrak-nya, dan Abu Daud dalam Shahih-nya, dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan Daramy dalam sunah-nya, mereka semuanya telah meriwayatkan satu hadis penting sekali tentang kekhususan Abdullah bin Amr yang disebut oleh Abu Hurairah bahwa ia adalah menulis dari Nabi Saww sebagai berikut :

Abdullah bin Amr berkata, “Aaku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah saww, maka orang Quraisy mencegahku dan mereka berkata, ‘Apakah engkau menulis segala sesuatu yang engkau dapat dari Rasulullah padahal dia adalah seorang manusia yang berbicara dalam situasi marah dan senang (rela). ‘Abdullah berkata, ”Aku pun menahan diri dari penulis, lalu aku adukan hal itu kepada Rasulullah saww. Maka beliau mengisyaratkan ke mulut beliau sambil berkata, ‘Tulislah, demi zat yang diriku berada dalam tangan-Nya, tidaklah keluar darinya yakni mulut Nabi saww selain hanyalah kebenaran.”*1

Kita perhatikan dari kandungan hadis tersebut bahwa Abdullah bin Amr adalah penulis segala yang didengar dari Nabi saww, dan Nabi saww pun tidak melarangnya, dan sesungguhnya pelarangan itu hanya darang dari orang-orang Quraisy, sedang Abdullah bin Amr tidak menjelaskan nama-nama orang yang telah melarang penulis itu, sebab dalam pelarangan tersebut mengandung pencelaan terhadap Rasulullah saww, sebagaimana yang tak dapat disembunyikan lagi, maka dia pun mengarahkan ucapannya bahwa mereka adalah orang-orang Quraisy. Yang dimaksud dengan Quraisy. Yang dimaksud dengan Quraisy tersebut adalah para pemukanya dari kelompok Muhajirin, yang menjadi tokohnya Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah, Thalhah dan Zubeir serta orang-orang yang mengikuti pandangan mereka.

Sebagaimana yang dapat kita perhatikan bahwa pelarangan penulisan terhadap Abdullah adalah di masa hidup Nabi Saww. Ini adalah hal yang menguatkan dalam persekongkolan buruk tesebut dan kejahatannya. Kalau tidak begitu, mengapa mereka sengaja melarang Abdullah dari penulisan tanpa merujuk kepada Nabi saww sendiri? Seperti apa yang dapat dipahami juga dari ucapan mereka, “Sesungguhnya Rasulullah itu seorang manusia yang berbicara dalam situasi marah dan senang, “ menunjukkan akidah mereka terhadap Nabi saww, sangatlah tercela sampai pada tingkat mereka meragukan beliau dengan anggapan bahwa beliau itu berkata salah dan menetapkan hukum secara zalim khususnya ketika marah. Apa yang diucapkan Nabi saww ketika Abdullah bin Amr mengadukan pada beliau tentang pribadi beliau, lalu beliau bersabda, Tulislah, demi zat yang diriku pada tangan-Nya, tidaklah keluar darinya selain hanyalah kebenaran”-- beliau sambil mengisyaratkan pada mulut beliau, ini adalah merupakan satu bukti yang lain bagi pengetahuan Rasul terhadap keraguan mereka tentang keadilan beliau dan bahwa mereka memungkinkan bagi beliau untuk berbuat salah dan berkata batil. Maka beliau pun bersumpah dengan atas nama Allah SWT, bahwa tidak pernah keluar dari mulut beliau kecuali hanyalah kebenaran. Ini adalah merupakan penafsiran yang shahih dari yang telah dinyatakan dalam firman Allah SWT, Dan dia tidak berbicara karena hawa nafsu, Kecuali wahyu yang telah diwahyukan.” (QS. Najm:3-4)

Sesungguhnya beliau Saww, adalah maksum dari segala kesalahan dan perkataan yang batil. Dengan ini maka kami menetapkan bahwa seluruh hadis dan riwayat yang telah dibuat di zaman Umawiyin dan yang menyimpulkan bahwa beliau tidak maksum adalah tidak shahih sama sekali. Sebagaimna hadis yang disebutkan, menunjukkan pada kita bahwa pengaruh mereka terhadap diri Abdullah bin Amr sangat besar sehingga dia menahan diri dari penulisan seperti yang dia nyatakan sendiri tatkala dia berkata, “Maka aku menahan diri dari penulisan.”

Dan dia tetapkan begitu sehingga datang kesempatan baginya untuk menghadap Rasul sendiri dalam rangka menghilangkan keraguan yang menyangkut sekitar kemaksuman dan keadilan beliau, dan telah banyak menjangkit sehingga di hadapan beliau, seperti ucapan mereka kepada Nabi saww secara terang-terangan, “Apakah engkau Nabi saww yang sebenarnya...?’1 Atau ucapan,”Engkaulah yang mengaku Nabi ?”2 Atau kata-kata, “Demi Allah, dia tidak karena Allah Swt, dalam pembagian ini.”3 Atau seperti ucapan ‘Aisyah pada Nabi,” Sesungguhnya Tuhanmu menguatkan hawa nafsumu.”4

-------------------------------------

*1. Mustadak Hakim, I, hal. 105, Sunan Abu Daud, II, hal.126, Sunan Daramy, I, hal.125, dan Musnad Ahmad, II, hal.162.

Saya menggolongkan yang lainnya itu termasuk ungkapan kata-kata yang tidak layak, yang menyatakan tentang keraguan terhadap kemaksuman beliau dan tentang akidah mereka bahwa beliau berbuat durhaka, Zalim, salah dan dusta. Na’udzu billah.

Beliau adalah pemilik budi pekerti mulia yang sangat kasih sayang, yang seringkali menghapuskan perkara yang meragukan itu dengan sabdanya, “Aku ini hanyalah hamba yang diperintah.” dan di saat lain beliau bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling taat pada Allah dan paling takwa,” dan dalam kesempatan lain beliau bersabda .”Demi zat yang diriku pada tangan-Nya, tidaklah keluar darinya--yakni mulut beliau--selain hanyalah kebenaran ,” dan kebanyakan yang beliau ucapkan adalah “Semoga Allah Swt, menghasihi saudaraku Musa, dia telah disakiti lebih banyak dari ini, tetapi ia tetap tabah.

Kalimat-kalimat yang tidak layak itu, yang menodai kemaksuman beliau dan meragukan kenabian beliau adalah bukan keluar dari orang-orang yang remeh dari orang-orang munafik, tapi justru sangat disayangkan, ia keluar dari para pemuka sahabat dan dari Ummul Mukminin dan orang-orang yang menurut Ahlussunnah wal Jama’ah berkedudukan sebagai pemimpin dan contoh teladan yang baik. La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyil azhim.

Sebagain yang dapat menguatkan keyakinan kita, bahwa hadis, “Janganlah kalian menulis dariku...,” adalah hadis palsu atau dusta, yang tidak memiliki asas-asas keshahihannya dan tidak pernah diucapkan Rasulullah secara mutlak, yakni bahwa Abu Bakar sendiri telah menulis dari Rasulullah saww sebagaian hadis-hadis, yang telah ia kumpulkan di masa Nabi kemudian setelah dia memegang kekhalifahan, segera dia membakarnya demi satu kepentingan yang tidak dapat disembunyikan lagi bagi para peneliti, Inilah putrinya ‘Aisyah telah berkata,”Bapakku telah mengumpulkan hadis Rasulullah, jumlahnya 500 hadis, kemudian dia dalam kegelisahaan, lalu saya berkata, dia gelisah karena suatu pengaduan atau karena sesuatu telah sampai padanya. Maka ketika pagi hari dia berkata, ‘Hai putriku, bawalah ke sini hadis-hadis yang ada padamu, lalu sayapun datang membawanya, kemudian dia membakarnya.”*1 Dan juga inilah Umar bin Khathab di masa kekhalifahannya, dia berkhotbah pada suatu di hadapan umat manusia, dia mengatakan , “Tidak boleh seorang pun yang masih tinggal padanya kitab kecuali harus membawanya kepadaku, aku akan memeriksanya dengan penilaianku.” Tidak boleh seorang pun yang masih tinggal padanya kitab kecuali harus membawanya kepadaku, aku akan memeriksanya dengan penilaianku.” Maka mereka --para sahabat-- mengira bahwa ia akan memeriksa kandungannya untuk diluruskan agar tidak ada di dalamnya perkara yang saling bertentangan, lalu mereka menyerahkan kitab-kitab mereka kepadanya, kemudian ia membakarnya dengan api.*2

Ia pun telah mengirim utusan ke kota-kota untuk memerintahkan siapa yang memiliki sesuatu tulisan, hendaklah menghapusnya.*3 Itu adalah merupakan bukti terbesar bahwa para sahabat umumnya memiliki kitab-kitab yang di dalamnya terkumpul hadis-hadis Nabi yang ditulis di masa Nabi, kemudian semuanya dibakar dengan perintah Abu Bakar pada periode pertama, lalu Umar pada periode kedua dan dihapus sisa kitab yang masih ada di kota-kota lain dengan perintah Umar di masa kekhalifahannya.

---------------------------------------------

1. Ucapan Umar ketika perdamaian Hudaibiyah, riwayat Bukhari, II, hal.122.

2. Ucapan ‘Aisyah bin Abu Bakar dalam Ihya’ul Ulum, al-Ghazali, II, hal.29

3. Ucapan seorang sahabat Anshar, riwayat Bukhari, IV, hal. 47.

4. Shahih Bukhari, VI, hal. 24.

*1. Kanzul Umal, V, hal. 237, dan Ibnu Katsir dalam Bidayah.

*2. Thabaqat al-Kubra, Ibnu Sa’id, V, hal. 188

*3. Jami’ul Bayan al-Ilmi, Ibnu Abd al-Bar.

Atas dasar ini, maka tidak mungkin bagi kita atau bagi siapa saja yang berakal untuk membenarkan bahwa Rasulullah telah melarang penulisan hadis setelah kita katahui bahwa kebanyakan sahabat memiliki kitab-kitab hadis, khususnya lembaran yang senantiasa bersama Imam ‘Ali yang panjangnya 70 hasta dan dia namakan al-Jami’ah, sebab ia mengumpulkan seluruhnya. Karena penguasa yang memerintah dan politik yang berjalan, kemaslahatannya menghendaki penghapusan sunah Nabi saww dan pembakarannya serta meniadakan periwayatannya, maka para sahabat yang menjadi pendukung kekhalifahan tersebut, mereka mematuhi segala perintah itu dan menjalankannya, sehingga tidak ada yang tersisa pada mereka dan tidak pula pada pengikut mereka selain hanyalah ijtihad dengan pendapat atau mengikuti sunah Abu Bakar, sunah Umar, sunah Utsman, Muawiyah, Yazid, Marwan bin Hakam, Abdul Malik bin Marwan, al-Walid bin Abdul Malik, dan sunah Sulaiman bin Abdul Malik, sampai datangnya masa Umar bin Abdul Aziz. Lalu ia meminta kepada Abu Bakar al-Huzami untuk menulis baginya apa yang dari hadis Rasulullah atau sunahnya atau sunah Umar bin khathab.1

Demikian itu nyata bagi kita bahwa penulisan sunah itu tertunda sampai pada situasi yang memungkinkan dan setelah berlalunya ratusan tahun dalam penghapusan dan pelarangannya, baru kita dapat melihat penguasa Umawiy yang dianggap adil dan yang digolongkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah ke dalam Khulafa ar-Rasyidin, memerintahkan pengumpulan sunah Rasulullah saww, dan sunah Umar bin Khathab, sepertinya Umar bin Khathab itu dianggap sebagai pasangan Muhammad dalam kerasulan dan kenabiannya. Mengapa Umar bin Abdul Aziz itu tidak mau meminta kepada para Imam Ahlulbait yang hidup di zamannya untuk memeberikan padanya tulisan dari lembaran al-Jami’ah, dan mengapa dia tidak menginginkan mereka untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi saww, padahal mereka adalah orang-orang yang paling tahu tentang hadis datuk mereka daripada selain mereka...? Para pengamat dan peneliti tentunya mengetahui rahasia itu semua.

Bisakah kemantapan di dapat pada hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dari Umayyah dan para pendukungnya itu, yang mereka adalah merupakan penguasa Quraisy, sedang kita telah ketahui hakikat Quraisy dan akidahnya terhadap Rasulullah saww, dan sunah beliau yang suci...? Setelah ini, menjadi jelaslah bahwa penguasa yang memerintah dalam masa-masa pemerintahannya itu telah melakukan ijtihad dan qias serta musyawarah antara sebagaian mereka. Dan karena penguasa telah memojokkan Imam ‘Ali dari kebebasan hidup dan telah mengabaikannya, maka penguasa tidak mempunyai kemampuan memerintah atas dirinya untuk membakar apa yang telah dia tulis di masa kerasulan dengan pendektean dari Nabi saww, sendiri. ‘Ali bin Abi Thalib tetap masih memelihara lembaran tersebut yang tekumpul di dalamnya segala yang dibutuhkan manusia sehingga perkara lalat, dan tatkala ia memegang tampuk kekhalifahan, ia mengaitkannya pada pedangnya dan ia naik ke atas mimbar untuk berkotbah di hadapan umat manusia dan memperkenalkan pentingnya lembaran tersebut.

Riwayat tersebut sudah mutawatir (terkenal) dari para Imam Ahlulbait alaihimussalam, bahwa mereka saling mewarisi lembaran itu, bapak dari datuk, yang besar dari yang terbesar dan mereka memberi fatwa dalam masalah-masalah yang dibutuhkan oleh umat di masanya dengannya, dari kalangan orang yang mengikuti bimbingan mereka. Oleh sebab itu Imam Ja’far ash-Shadiq dan Imam ar-Ridha serta lainnya dari para Imam, mereka selalu menyebut-nyebut kata-kata tersebut dengan keistimewaannya dan mereka berkata, “Sungguh kami tidak memberi fatwa pada manusia dengan pendapat kami, seandainya kami berfatwa pada manusia dengan pendapat kami dan keinginan nafsu kami niscaya kami termasuk orang-orang yang binasa, tetapi itu adalah peninggalan dari Rasulullah saww.

--------------------------------------------

1. Al-Muathak, Imam Malik, I, hal. 5

Pemilik ilmu kami saling mewarisi yang besar dari yang terbesar, dan kami menjaganya sebagaimana manusia menjaga emas dan perak mereka.”1

Pada kali ini Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Hadisku adalah hadis bapakku, hadis bapakku adalah hadis datukku, hadis datukku adalah hadis Husein, hadis Husein adalah hadis al-Hasan, hadis al-Hasan adalah hadis Amirul Mukminin, hadis Amirul Mukminin adalah hadis Rasulullah saww, dan hadis Rasulullah adalah firman Allah Azza wajalla.”2 Dengan ini semua, maka hadis Tsaqalain yang telah Mutawatir yakni, “Aku tinggalkan pada kalian dua beban berharga yaitu Kitabullah dan keturunanku, selama kalian berpegang pada keduanya niscaya tidak akan sesat selama-lamanya setelahku,”3 Ini kebenaran yang tidak ada selainnya kecuali kesesatan, dan itu sunah Nabi saww, yang shahih tidak ada penjaga dan pemelihara serta penegak selain para Imam yang suci dari Ahlulbait al-Musthafa al-Mukhtar.

Seperti yang dapat disimpulkan dari sini, bahwa Syi’ah Ahlulbait yang berpegang pada Ahlulbait yang suci tersebut, mereka itu adalah Ahlussunnah Nabi saww yang sesungguhnya, dan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendakwahkan sesuatu yang tidak layak bagi mereka dan dakwaan mereka itu tidak berdasarkan hujah dan dalil.

--------------------------------------------------------------------------

1. Maalim al-Madrasatain, al-Allamah al-Askari, II, hal. 302.

2. Ushul al-Kafi, I, hal. 53

3. Shahih Muslim, V, hal. 122, dan Turmudzi, V, hal. 637.

Tidak ada komentar: