Ahlussunnah wal Jama’ah telah memusatkan segala perhatiannya pada ke-empat Imam pemilik mazhab-mazhab yang terkenal, yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Para Imam yang Empat itu adalah bukan dari kalangan sahabat Rasul saww dan bukan pula dari kalangan tabi’in. Maka mereka itu tidak dikenal oleh Rasulullah dan mereka pun tidak mengenal beliau serta tidak melihat mereka dan mereka pun tidak meliaht beliau. Orang yang tertua (terdahulu) di antara mereka ialah Abu Hanifah, jarak masa antara dia dengan Nabi saww adalah lebih dari seratus tahun, sebab kelahirannya pada tahun 80 H dan wafatnya tahun 150 H. Adapun orang yang termuda (terakhir) ialah Ahmad bin Hanbal, dia dilahirkan tahun 165 H, dan wafat tahun 241 H. Ini adalah dalam bidang Furu’uddin (cabang agama).
Adapun dalam bidang ushuluddin (pokok agama), maka Ahlussunnah wal Jama’ah itu merujuk (bersandarkan) kepada Imam Abu al-Hasan ‘Aali bin Isma’il al-Asy’ari yang dilahirkan tahun 270 H dan wafat tahun 335 H. Mereka itu semua adalah para Imam Ahlussunnah wal Jama’ah yang dijadikan rujukan mereka dalam bidang ushuluddin dan furu’uddin.
Adalah Anda lihat di antara mereka salah seorang dari kalangan para imam Ahlulbait, atau dari kalangan sahabat Rasul saww, atau salah seorang yang telah disebut-sebut oleh Rasul saww, dan beliau arahkan umat kepadanya? Tidak, sama sekali tidak ada. Dan jika Ahlussunnah wal Jama’ah telah menyeru untuk berperang pada sunah Nabi saww, mengapa mazhab-mazhab tersebut terlambat munculnya sampai zaman itu ? Di manakah Ahlussannah wal Jama’ah sebelum munculnya mazhab tersebut? Dengan mazhab apa mereka beribadah dan kepada siapa mereka bersandar...?
Kemudian bagimana mereka itu bersandar kepada orang-orang yang tidak mengalami hidup Nabi saww, dan tidak pula menenalnya dan mereka baru dilahirkan setelah terjadi fitnah dan setelah pertikaian di kalangan sahabat dan sebagian membunuh sebagiannya dan sebagian mengkafirkan yang lainnya, serta setelah berpalingnya para khulafa dari Al-Qur’an dan sunah dan mereka berijtihad dengan pendapat mereka dalam menentang keduanya. Dan setelah Yazid bin Muawiyah menguasai kekhalifahan lalu ia membebaskan bala tentaranya di Madinah al-Munawarah untuk berbuat semau hatinya, sehingga tentaranya itu melakukan kerusakan di dalamnya dan membunuh para sahabat yang terbaik yang tidak mau membaiatnya dan kehormatan wanita dirusakkan serta pemerkosaan merajalela.
Bagaimana seorang yang berakal mau condong kepada para Imam itu dari kelompok orang-orang yang dilumpuri kekotoran fitnah dan minum air susunya yang tercampur dengan bermacam-macam kejahatan sehingga tumbuh dan berkembang dalam pembentukannya yang penuh kelicukan dan kedustaan serta telah diikuti oleh sebaik-baik pengetahuan yang penuh kepalsuan, maka sebagian mereka tidak dapat muncul kecuali orang-orang yang diridhai oleh penguasa dan mereka meridhainya.
Bagaimana orang yang mendakwahkan berpegang pada sunah bisa meninggalkan Imam ‘Ali as, dan Imam Hasan as, dan Imam Husein as, yang merupakan kedua pemuda ahlisurga serta meninggalkan para imam yang suci dari putra keturunan Nabi saww yang mewarisi seluruh ilmu datuk mereka yaitu Rasulullah saww, lalu mengikuti para imam yang mereka tidak memiliki ilmu tentang sunah Nabi saww bahkan mereka adalah merupakan hasil pembentukan politik Muawiyah. Adakah seorang Muslim masih meragukan, berdasarkan sejarah Islam dan Al-Qur’an serta sunah, bahwa Ahlulssunnah wal Jama’ah itu adalah para pengikut Muawiyah dan Abasiyin? Adakah seorang Muslim masih meragukan, berdasaekan Al-Qur’an dan sunah serta sejarah Islam, bahwa Syi’ah yang mengikuti putra keturunan Nabi saww dan berpimpinan pada mereka, adalah merupakan pengikut sunah Nabi saww dan tidak ada seorang pun selain mereka yang layak mendakwahkan?
Wahai pembaca yang mulia, bukankah Anda telah melihat bagaimana politik telah membalikkan perkara dan menjadikan yang batil dianggap benar dan yang benar dianggap batil! Maka bila orang-orang akan kepimpinan pada Nabi saww dan keturunannya mereka disebut dengan Rawafidh (pembangkang) dan ahli bid’ah. Dan ahli bid’ah yang membuang sunah Nabi saww dan keluarganya dan mereka mengikuti ijtihad para penguasa yang durhaka, mereka disebut dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, sungguh ini adalah aneh...! Adapun saya pribadi meyakini dengan kuat bahwa suku Quraisy adalah di belakang pemberian nama tersebut dan itu merupakan salah satu dari rahasianya dan merupakan tipu-dayanya.
Sebagaimana kita telah ketahui di muka bahwa orang Quraisy itulah yang telah melarang Abdullah bin Amr dari penulisan sunah Nabi saww dengan anggapan bahwa Nabi saww itu tidak maksum. Maka Quraisy itulah sebenarnya yang merupakan orang-orang yang mengarahkan kedurhakaan dan ke-ashabiyah-an serta kekuatan yang dituju/dimaksud di tengah-tengah suku-suku Arab, dan mereka dinamakan oleh sebagian sejarahwan dengan para pakar Arab. Karena mereka terkenal dengan kelicikan dan keuletan serta penguasaan dalam pengaturan urusan, dan sebagian sejarawan menyebut mereka dengan Ahl al-Halli wa al-Aqdi. Sebagian mereka ialah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Abu Sofyan, Muawiyah, Amr bin Ash, Mughirah bin Syu’bah, Marwan bin Hakam, Thalhah bin Ubaidillah, Abudurrahman bin Auf dan Abu Ubaidah Amir bin Jarrah, serta lainnya.
Dan mereka itu sering berkumpul untuk bermusyawarah dan menentukan suatu perkara yang mereka sepakati lalu mereka memutuskan perkara mereka itu dan menyebarkannya di kalangan umat agar nantinya menjadi keputusan yang nyata dan benar-benar diikuti tanpa diketahui oleh seluruh manusia rahasianya yang tersembunyi. Sebagian dari kelicikan yang telah mereka lakukan ialah ucapan mereka bahwa Muhammad saww itu tidak maksum dan beliau seperti kebanyakan manusia yang memungkinkan berbuat salah, sehingga mereka berani meremehkan dan menentangnya dalam kebenaran padahal mereka mengetahui. Sebagian celaan mereka terhadap ‘Ali bin Abi Thalib dan kutukan mereka terhadapnya dengan sebutan Abu Turab dan penggambaran dirinya di hadapan manusia bahwa ia sebagai musuh Aallah dan Rasul-Nya. Dan sebagian celaan dan kutukan mereka terhadap sahabat yang mulia Ammar bin Yasir dengan nama hinaan, mereka menyebutnya dengan Abdullah bin Saba’ atau dengan sebutan anak si hitam, hal itu dikarenakan ia menentang para khalifah dan menyeru manusia untuk berimamkan ‘Ali bin Abi Thalib.
Termasuk juga penambahan Syi’ah yang berkepimpinan Imam ‘Aali as, dengan nama Rawafidh (pembangkang), agar dapat mengesankan pada orang-orang bahwa mereka telah membangkang terhadap Nabi Muhammad saww dengan mengikuti Imam ‘Ali as. Dan juga penamaan diri mereka sendiri dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, sehingga dapat mengesankan pada orang-orang mukmin yang tulus ikhlas bahwa mereka itu berpegang pada sunah Nabi saww sebagai penentang para pembangkang yang membangkang terhadapnya. Padahal sebenarnya mereka memaksudkan dengan sunah itu ialah bid’ah yang sesat, yang mereka ciptakan demi mencela dan mengutuk Amirul Mukminin dan Ahlulbait Nabi saww di atas mimbar-mimbar di setiap mesjid kaum Muslimin dan di seluruh negeri dan kota-kota serta kampung, dan berlangsung bid’ah tersebut selama 80 tahun, sehingga apabila khatib mereka turun untuk shalat sebelum mengutuk Imam ‘Ali bin Abi Thalib maka yang ada di dalam mesjid berteriak, “Engkau telah meninggalkan sunah.”
Dan ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz hendak merubah sunah itu dengan firman Allah swt, “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat baik serta memberi kaum kerabat...,” (QS. an-Nahl:90) maka mereka menentang dan membunuhnya karena ia telah mematikan sunah mereka dan dengan itu ia telah memotong ucapan-ucapan para pendahulunya yang telah menghantarkan dirinya para kekhalifahan, maka mereka pun berusaha membunuhnya dengan racun, kala itu ia baru berusia 28 tahun dan kekhalifahannya tidak lebih dari dua tahun, maka dia meninggal sebagai korban dalam usaha pelurusan , karena keturunan paman-pamannya yakni Umawiyin tidak menerima-sunah mereka dimatikan (dihapuskan) yang dengan itu akan terangkat kedudukan Abu turab dan para Imam dari anak keturunannya.
Setelah jatuhnya kekuasaan Muawiyah, datanglah Abasiyin, maka mereka pada gilirannya telah mendapat pengalaman dalam bertindak terhadap para Imam Ahlulbait as, dan Syi’ah, sehingga ketika datang periode Khalifah Ja’far bin Manshur yang berjulukan al-Mutawakkil, ia adalah orang yang paling memusuhi Imam ‘Ali as, dan anak-anaknya, kebencian dan kedengkiannya itu sampai memuncak sehingga berani membongkar kuburan Imam Hasan as dan Imam Husein as di karbala dan melarang manusia dari menziarahinya dan ia tidak mau memberi suatu pemberian dan tidak pula mau membelanjakan harta kecuali kepada orang yang mau mencela Imam ‘Ali as dan anak-anaknya.
Kisah al-Mutawakkil beserta Ibnu sikkit seorang alim nahwu yang terkenal itu adalah telah diketahui, dan ia telah membunuhnya dengan cara yang sangat keji. Ia telah memerintah memotong lidahnya dari mulutnya ketika diketahui bahwa dia menjadi Syi’ah Imam ‘Ali as dan Ahlulbaitnya yang mana ketika itu dia menjadi guru bagi anak-anaknya. Kedengkian al-Mutawakkil dan permusuhannya telah memuncak sampai memerintahkan pembunuhan terhadap setiap anak yang diberi nama oleh bapaknya dengan nama ‘Ali, karena nama tersebut adalah yang sangat dibencinya. Sehingga ‘Ali bin Jahm seorang penyair tatkala berhadapan dengan al-Mutawakkil, dia berkata, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya keluargaku telah menghinaku,” al-Mutawakkil berkata, Mengapa?” Dia menjawab, “Karena mereka menamakanku ‘Ali, sedangkan aku tidak menyukai nama itu dan aku tidak menyukai orang yang bernama dengannya.” Maka al-Mutawakkil terawa dan memberikan hadiah baginya.
Dalam majelisnya ia memunculkan seorang lelaki yang menyerupai ‘Ali bin Abi Thalib, lalu dia ditertawakan oleh orang-orang sambil berucap mengejek, ‘Si botak yang gendut telah hadir,” maka ahli majelis itu semuanya mengejeknya dan dengan itu al-Mutawakkil merasa gembira.
Di sini jangan sampai terlewatkan dari perhatian kita, bahwa al-Mutawakkil ini dan yang menunjukkan kebenciannya terhadap ‘Ali karena kemunafikkan dan kefasikannya adalah yang disukai oleh ahli hadis dan mereka telah menjulukinya dengan penghidup sunah. Dikarenakan ahli hadis itu sendiri adalah Ahlussunnah wal Jama’ah, maka telah ditetapkan dengan dalil yang tak diragukan bahwa sunah yang dimaksudkan menurut mereka ialah membenci Imam ‘Ali bin Abi Thalib dan mengutuknya serta berlepas diri darinya, itulah puncak tujuannya. Sebagian yang dapat menambah kejelasan bagi kita dalam perkara tersebut ialah bahwa al-Khawarizmi menyatakan dalam kitabnya, “Sesungguhnya Harun bin al-Khaizarah dan Ja’far al-Mutawakkil adalah dalam genggaman setan bukan pada Tuhan Yang Rahman, keduanya tidak mau memberi suatu pemberian tidak mau mengeluarkan hadiah kecuali bagi orang yang mencela keluarga Abu Thalib dan membela mazhab Nawashib (penentang Ahlulbait).”
Sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnu Hajar dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, ia berkata,’Lantaran Nashr bin ‘Ali bin Shahban telah meriwayatkan hadis bahwa Rasulullah saww memegang tangan Hasan dan Husein dan beliau bersabda, ‘Siapa mencintai aku dan mencintai kedua anak ini beserta bapak dan ibunya niscaya ia berada dalam kekududkanku pada hari kiamat,’ lalu al-Mutawakkil memerintah untuk memukulnya dengan cambuk 1000 kali sehingga ia hampir binasa, lalu Ja’far bin Abdul Wahid mengatakan tentang dirinya dan ia berkata, ‘Hai Amirul Mukminin, orang ini adalah dari golongan Ahlussunnah, ia pun tetap menyiksanya sampai ia meninggalkannya.”[1]
Orang berakal akan dapat memahami dari ucapan Ja’far bin Abdul Wahid kepada al-Mutawakkil bahwa Nashr itu adalah dari golongan Ahlussunnah, hal itu untuk menyelamatkannya dari pembunuhan, ini merupakan bukti yang lain bahwa Ahlussunnah itu adalah musuh Ahlulbait yang dibenci oleh al-Mutawakkil dan dia berusaha untuk membunuh setiap orang yang menyebutkan keutamaan mereka betapa pun ia tidak mengikuti mereka.
Inilah Ibnu Hajar telah menyebutkan dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Idris al-Azdi, seorang Ahlussunnah wal Jama’ah dan ia bersikap keras di dalam sunah secara-rela sedangkan ia adalah orang Utsmani. Dan juga Ibnu Hajar telah mengatakan tentang Abdullah bin Aun al-Bashari, “Sesungguhnya ia adalah orang yang terpercaya, ahli ibadah dan keras dalam sunah dan bersikap keras terhadap ahli bid’ah,” Ibnu Mas’ud telah mengatakan, “Ia adalah seorang Utsmani.” Ia telah menyebutkan pula bahwa Ibrahim bin Ya’kub al-Jauzjani adalah seorang pengikut mazhab Hariz bin Utsman ad-Damsiqi yang dikenal dengan penentang Ahlulbait, Ibu Hayyan menyatakan bahwa ia adalah orang keras dalam sunah.
Dengan ini tahulah kita bahwa penentang dan kebencian terhadap Imam ‘Ali as dan anak-anaknya, serta pencelaan keluarga Abu Thalib dan kutukkan terhadap Ahlulbait menurut mereka dianggap kekerasan/keteguhan dalam sunnah, dan kita telah mengetahui bahwa orang-orang Utsmani adalah golongan penentang dan musuh Ahlulbait dan mereka orang-orang yang bersikap keras terhadap orang yang berpimpinan pada Imam ‘Ali as, dan keturunannya. Dan mereka memaksudkan dengan Ahlu bid’ah itu adalah golongan Syi’ah yang menyatakan keimamahan Imam ‘Ali as, karena menurut mereka itu adalah merupakan suatu bid’ah, yang mana hal itu bertentangan dengan yang dianut oleh para sahabat, dan Khulafa’ ar-Rasyiddin serta para pendahulu orang shaleh yang mereka itu telah mengucilkannya dan tidak mengakui keimamahannya serta ke-washiat-annya.
3 komentar:
berpihak kemana anda?
salam,anta telah tersilap ni... kami ahlussunnah bukan ada 4 imam, bahkan be ribu2 imam, kami bukan macam kalian... imam kami itu hanyalah para ulama, bukan maksum, kami mencintai ahlul bait n para sahabat..
imam assyafi'ie ada juga berkongsi nasab dgn rasul sallallahu alaihi wa sallam, kalau antum rasa semua ahlulbait mesti diikut, kenapa antum mengusir aga khan yg juga ahlulbait rasulullah... kami mengasihi ahlul bait yang mengikuti rasulullah sahaja, kalau semua ahlulbait ok, kenapa antum x berimamkan abu lahab si paman rasulullah?
Posting Komentar