Arsip Blog

Jumat, 12 Desember 2008

Bukti Lemahnya Pengharaman Mut’ah





BUKTI PERTAMA

Ketika riwayat waktu pengharamannya dikatakan simpang siur, maka riwayat pengharamannya menjadi meragukan. Karena tidak ada kepastian waktu pengharamannya. Sehingga masing-masing riwayat bermuatan "khabar wahid" bukan "mutawattir". Sekarang bandingkan dengan banyaknya riwayat yang mengatakan bahwa Rasul SAWW menghalalkannya, dan yang mengharamkannya adalah Umar, seperti yang telah saya postingkan.

Ref.: Ibnu Rusyd, dalam "Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid", Jilid 2, hal 43-44.

BUKTI KEDUA

Adanya pernyataan dari para ulama, seperti :

1. Al-Suhaili, yang mengatakan bahwa :

"Kebenaran dalil mengenai haramnya nikah mut'ah pada saat perang Khaibar tidak pernah diakui oleh seorangpun dari ahli sejarah maupun dari kalangan perawi hadits"

Lihat :

a. Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam "Fathul Bari'", juz 9, hal. 145.

b. Suhaili, dalam "Raudh Al-Anf", juz 4, hal. 59.

c. Siroh Al-Halabiyah, juz 3, hal. 45.

2. Abu Uyanah dalam kitab Shohih-nya mengatakan :

"Yang saya dengar dari kalangan ulama bahwa yang dilarang dalam hadits Ali adalah hanya memakan daging keledai jinak, bukan tentang mut'ah".

Ref. :

a. Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari, juz 9, hal. 145.

b. Muhammad Asy-Syaukani, dalam Nailul Authar, juz 6, hal. 146.

3. Dan dalam hadits yang menyatakan bahwa Imam Ali (AS) melarang nikah mut'ah, terdapat peraai-perawi yang pelupa, juga terdapat perawai-perawi yang memang membenci Imam Ali dan keluarga beliau (AS). Hal ini dapat dibaca di kitab sejarah para perawi, seperti :

a. "Tahdzib At-Tahdzib", oleh Ibn Hajar Al-Asqolani.

b. "Lisanul Mizan", oleh Ibn Hajar Al-Asqolani.

4. Pernyataan Imam Ali (AS) sendiri yang menyatakan bahwa Umar yang melarang nikah mut'ah. Hal ini akan saya singgung di bawah.

5. Al-Suhaili, mengatakan :

"Memang benar telah terjadi perbedaan pendapat kapan nikah mut'ah diharamkan, akan tetapi yang paling saya anggap ANEH tentang hal itu ialah adanya orang yang mengatakan bahwa nikah mut'ah diharamkan saat terjadinya perang Tabuk atau riwayat yang mengatakan saat Rasul melakukan Umratul Qadla'"

Lihat :

a. Suhaili, dalam "Raudh Al-Anf", juz 4, hal. 59.

b. Ibnu Hajar, dalam "Fathul Bari'", juz 9, hal. 145.

BUKTI KETIGA

Ibnu Baththal mengatakan :

"Kebanyakan riwayat yang disandarkan pada Ibnu Abbas tentang haramnya nikah mut'ah, sebenarnya adalah hadits-hadits yang lemah sanadnya"

Ref : Ibnu Hajar, dalam "Fathul Bari'", juz 9, hal. 150.

Atha' mengatakan :

"Ibnu Abbas tidak lagi mengharamkan nikah mut'ah bahkan sebaliknya"

Ref :

a. Abdurrozzaq, dalam "Al-Mushannaf", juz 7, hal. 498.

b. Suyuthi, dalam "Durr Al-Mantsur", juz 2, hal. 141.

Kalimat-kalimat Ibnu Abbas pada riwayat-riwayat lain, justru menunjukkan bahwa Ibnu Abbas tidak pernah membatasi pelaksanaan nikah mut'ah.

Riwayat pembatasan nikah mut'ah sebenarnya diucapkan oleh Abu Umarah Al-Anshori, yang oleh sebagian orang kemudian disandarkan pada Ibnu Abbas. Namun riwayat yang menyandarkan pada diri Ibnu Abbas itu dibantah sendiri oleh Abu Umarah, dengan mengatakan bahwa Ibnu Abbas menghalalkan nikah mut'ah secara mutlak, sementara Abu Umarah menghalalkan nikah mut'ah dalam kondisi darurat.

Lihat :

Abdurrozaq, dalam "Mushannaf", juz 7, hal. 502.

BUKTI KEEMPAT

Bukti dlo'if-nya riwayat Rabi' bin Sabirah Al-Juhani tentang keharaman nikah mut'ah pada saat Fathul Mekkah , yaitu :

Riwayat Rabi' bin Sabirah berasal dari ayahnya, Sabirah bin Ma'bad. Dikatakan dalam riwayat tersebut bahwa :

".....Pada saat itu tiba-tiba Rasulullah muncul dan bersabda :'Siapa yang mengawini wanita secara mut'ah harus meninggalkan isteri-isteri mereka'".

Ini adalah salah satu hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shohih-nya. Hadits ini dikatakan dlo'if, dengan alasan :

1. Hadits ini bermuatan khabar wahid, karena hanya diriwayatkan oleh Rabi' dari ayahnya. Sementara banyak riwayat lainnya yang mengatakan bahwa pelarangannya pada peristiwa yang lain (bukan saat Fath Mekkah).

2. Hadits ini diucapkan pada saat Fath Mekkah di depan khalayak ramai. Tetapi anehnya tidak ada sahabat lain yang meriwayatkan hadits ini, padahal di situ ada orang-orang seperti Ibnu Mas'ud, Jabir bin Abdullah, dll. Yang meriwayatkan hadits ini hanya anak Sabirah bin Ma'bad, yaitu Rabi' bin Sabirah dan juga cucu Sabirah, yang bernama Abdul Malik bin Rabi' bin Sabirah.

3. Belum didapat keterangan dalam kitab sejarah bahwa Sabirah bin Ma'bad atau Rabi' (anaknya) adalah orang yang dapat dipercaya. Bahkan cucunya Sabirah, yang bernama Abdul Malik justru tergolong orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Ref : Ibnu hajar, dalam "Tahdzib At-Tahdzib", .

4. Ada kontradiksi pada riwayat Sabirah yang lain :

a. Dalam Muslim disebutkan oleh Sabirah bahwa pelarangan nikah mut'ah saat Fath Mekkah. Tetapi pada riwayat Ibnu Majah disebutkan oleh Sabirah bahwa pelarangannya pada saat Haji Wada'. Hal tersebut juga dapat dilihat pada Musnad Ahmad dan Baihaqi.

b. Di satu riwayat diriwayatkan bahwa orang yang bersama Sabirah saat itu adalah sepupunya dari kaumnya (dari Bani yang sama dengan Sabirah). Sabirah berasal dari Bani Juhainah dari Bani Qudha'ah. Sementara di riwayat lainnya, dikatakan bahwa orang yang bersama Sabirah adalah dari Bani Sulaim, yang merupakan keturunan Bani Adnan atau Bani Qahthan.

Ref. : Ibnu Hazm, dalam "Jamhar Al-Ansabil Al-A'rab", hal. 261,379,408,444.

c. Di riwayat "Shohih Muslim", Sabirah mengatakan bahwa ia yang menikahi wanita tersebut, bukan sepupunya yang saat itu bersamanya, karena Sabirah lebih muda dan ganteng walaupun selendangnya jelek. Sementara pada riwayat "Musnad Ahmad (juz 3, hal. 405)", Sabirah mengatakan bahwa yang menikahi wanita tersebut adalah sepupunya yang saat itu bersamanya, karena sepupunya lebih muda dan ganteng walaupun selendangnya jelek.

BUKTI KELIMA

Umar bin Khattab yang melarang nikah mut'ah.

1. Perkataan Imam Ali (AS) sendiri dari Al-Hakam, Ibnu Juraij, dll :

"Kalau Umar tidak melarang nikah mut'ah, maka tidak ada orang yang berzina, kecuali orang yang benar-benar celaka".

Atau dengan kalimat yang berbeda, tetapi muatannya sama.

Ref.:

a. Muntakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad juz 6, hal. 405.

b. Suyuthi, dalam "Durr Al-Mantsur", juz 2, hal. 140.

c. Tafsir Thabari, juz 5, hal. 9.

d. Muttaqi Al-Hindi, dalam "Kanzul Ummal", juz 8, hal. 294.

e. dll.

2. Dari Jabir :

"Kami melakukan nikah mut'ah di zaman Nabi dan di zaman Abubakar dengan segenggam kurma dan tepung sebagai mas kawinnya, kemudian Umar melarangnya pada peristiwa Amr bin Harits"

Ref. :

a. Shohih Muslim, Jilid 1, hal. 390.

b. Ibnu Qoyyim, dalam "Zaadul Ma'ad", jilid 1, hal. 444.

c. Ibn Hajar, dalam "Fathul Bari'", jilid 9, hal 141. dll.

3. Riwayat dari Ibnu Abbas :

"......Mut'ah adalah rahmat Allah bagi umat Muhammad. Bila Umar tidak melarangnya, maka tidak ada alasan bagi orang untuk berzina kecuali orang-orang yang celaka".

Ref. rujukan ahlusunnah :

a. Ibnu Rusyd, dalam "Bidayatul Mujtahid".

b. Ibnu Atsir, dalam "An-Nihayah".

c. Al-Qurthubi, dalam Tafsir-nya.

d. Zamakhsyari, dalam "Al-Fa'iq"

e. Suyuthi, dalam Tafsir-nya.

f. Jashshash, dalam "Ahkam Al-Qur'an"

g. Ibnu Mandzur, dalam "Lisanul 'Arab". dll.

4. Umar bin Khattab berkata :

"Dua jenis Mut'ah yang dihalalkan di zaman Rasul dan sekarang aku haramkan keduanya, yaitu Mut'ah Haji dan Nikah Mut'ah".

Di saat lain, ketika ia mengetahui bahwa Rabi'ah bin Ummayah telah menikah mut'ah, maka ia berkata :

"Nikah Mut'ah ini, kalau saja aku temui setelah aku melarangnya, maka akan aku rajam dia"

Di saat yang lain, ia juga berkata :

"Barangsiapa berani melakukan nikah mut'ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu' "

Juga riwayat-riwayat lainnya, yang isinya pelarangan terhadap Nikah Mut'ah oleh Umar. Dan riwayat-riwayat tersebut berasal dari sahabat dan dikutip dari rujukan ahlusunnah sebagai berikut.

Sanad : Jabir bin Abdullah, Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ibnu Jarih, Umar bin Khattab, Sulaiman bin Yasar, Abu Sa'id Al-Khudri, Urwah bin Zubair, dll.

Ref. rujukan ahlusunnah :

a. Dr. Ruway'l Ar-Ruhaily, dalam "Fikih Umar 1", penerbit Pustaka Al-Kautsar.

b. Muhammad Abdul Aziz Al-Halawi, dalam "Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab", penerbit Risalah Gusti.

c. Imam Malik, dalam "Al-Muwaththo'".

d. Al-Baihaqi, dalam Sunan.

e. Mutakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad, jilid 6, hal. 404.

f. Muttaqi Al-Hindi, dalam "Kanzul Ummal".

g. Muslim, dalam Shohih, juz 1, sub bab "Masalah kawin Mut'ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh".

h. Ar-Razi, dalam Tafsir-nya.

i. Suyuthi, dalam "Dur Al-Mantsur".

j. Al-Jahidz, dalam "Al-Bayan Wa Al-Thibyan".

k. Thabari, dalam Tafsir-nya.

l. Ibnu Asakir, dalam Tarikh-nya.

m. Dan masih banyak lagi.

Tidak ada komentar: