Rabu, 10 Juni 2009

Perbedaan Fatwa Imam Khomeini qs dan Ayatullah Ali Khamenei hf



BAB TAQLID

1. Imam Khumaini (qs): Wajib bertaqlid kepada seorang Mujtahid lelaki, baligh, berakal, syiah 12 imam (dari kalangan para maksum Ahlul-Bait Nabi besar Muhammad saw), dan dari keturunan pernikahan yang halal (bukan anak penzina), masih hidup dan adil serta Ihtiat wajib hendaklah bertaqlid kepada seorang mujtahid yang tidak tamak kepada duniawi dan lebih berilmu (A’lam) dari para mujtahid yang ada sezaman dengannya.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Sekiranya terdapat beberapa orang faqih yang memiliki semua persyaratan (wajidu-syara’it), dan mereka berbeda dalam fatwa, maka berdasarkan Ihtiat wajib, mukallaf harus mengikuti fatwa faqih yang A’lam, kecuali jika didapati kejelasan bahwa fatwanya bertentangan dengan ihtiat, sedang fatwa yang tidak a’lam justru sesuai dengan ihtiat, di keadaan demikian tidak wajib bertaklid kepada A’lam.

2. Imam Khumaini (qs): Mujtahid yang lebih berilmu dari para mujtahid yang lain adalah seorang yang lebih mengetahui kaidah-kaidah dan dalil-dalil permasalahan syar’i dan mempunyai pengetahuan yang luas terhadap segala pendapat mengenai peristiwa dan berita masalah itu, kesimpulannya beliau lebih mahir dan pakar dalam beristinbat (penyimpulan/mengeluarkan hukum syar’i suatu perkara dari sumber-sumbernya).
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Sekiranya terdapat beberapa orang faqih yang memiliki semua persyaratan (wajidu-syara’it), dan mereka berbeda dalam fatwa, maka berdasarkan Ihtiat wajib, mukallaf harus mengikuti fatwa faqih yang A’lam, kecuali jika didapati kejelasan bahwa fatwanya bertentangan dengan ihtiat, sedang fatwa yang tidak a’lam justru sesuai dengan ihtiat, di keadaan demikian tidak wajib bertaklid kepada A’lam.

3. Imam Khumaini (qs): Tidak dibenarkan memulai taqlid kepada seorang mujtahid yang telah meninggal dunia.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Pada taqlid permulaan, Ihtiatnya bertaqlid kepada mujtahid yang hidup dan A’lam hendaknya tidak boleh ditinggalkan .

BAB TAHARAH/ PENYUCIAN

1. Imam Khumaini (qs): Ukuran air kur berdasarkan satuan kilo-gram yang dikenal paling dekat seukuran 377/419 kilogram.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf) : Ukuran air kur paling dekat seukuran 384 liter.

2. Soal: Bagaimana cara berhubungan dengan ahli kitab dari segi taharat?.
Imam Khumaini (qs Jawab: Orang bukan Islam dari kalangan agama dan aliran apapun, dihukumi najis.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf) : Najis secara zatinya ahli kitab tidak pasti adanya dari itu menurut pandangan kami, mereka dihukumi suci secara zati. Yang dimaksud Ahli kitab yaitu penganut Agama yahudi, kristen, Zoroaster dan shaabi’in.

3. Imam Khumaini (qs): Tai burung yang dagingnya haram dimakan adalah najis.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf) : Tai burung yang dagingnya haram dimakan adalah tidak najis.

4. Imam Khumaini (qs Darah yang terlihat di dalam telur adalah tidak najis, tetapi berdasarkan ihtiat wajib hendaklah menghindari dari memakannya, dan jika darah itu dikocok dengan kuning telur sehingga menghilang dalam campurannya, maka tiada halangan memakan kuning telur itu.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf) : Darah yang terlihat di dalam telur dihukumi suci namun haram dimakan.
5. -Soal: Apakah suci atau najiskah kulit-kulit binatang yang diimport dari luar Negri dan digunakan untuk membuat sepatu dan sebagainya?
Imam Khumaini (qs Jawab: Kulit yang dibawa masuk dari negara-negara Islam dianggap suci kecuali terbukti bahwa penyembelihannya tidak dilakukan berdasarkan hukum syar’i, dan kulit-kulit yang di datangkan dari Negara-negara non muslim maka dihukumi najis kecuali telah didapat kejelasannya bahwa binatang itu disembelih secara syar’i.

- Soal: Kulit haiwan ataupun bahagian badan haiwan yang dihasilkan dan disediakan daripada negara bukan Islam pada pendapat anda, apakah hukumnya?
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Jawab: Jika kalian memberi kemungkinan haiwan tersebut disembelih secara syariat Islam, hukumnya suci tetapi jika kalian yakin penyembelihan tidak secara syariah Islam maka hukumnya najis.

6. Imam Khumaini (qs : Arak dan apa saja yang memabukan manusia, jika mencair adalah najis.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Semua minuman yang memabukan, berdasarkan hukum ihtiat dihitung najis .

7. Imam Khumaini (qs : Sesuatu terkena benda najis sehingga ia menjadi najis, jika sesuatu yang terkena najis itu mengenai sesuatu benda suci yang lain, maka benda itupun menjadi najis, hingga tiga benda menengarai sentuh-menyentuh ini menyebabkan benda-benda itu menjadi najis, tetapi lebih dari itu tidak menyebakan najis lagi.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf):: Benda yang terkena ainun-najis sehingga ia menjadi najis (mutanajis pertama), jika terkena pada benda suci lain yang salah satu dari keduanya lembab maka benda suci itu juga menjadi najis, dan benda kedua ini (mutanajis kedua) juga jika terkena benda suci ketiga, maka berdasarkan ihtiat wajib juga dihitung menjadi najis, tetapi mutanajis yang ketiga jika bersentuh dengan benda suci berikut, maka tidak menajiskannya.

8. Imam Khumaini (qs : Perabot dapur/ alat-alat seperti priuk, pinggan, ember dll yang terkena jilatan Anjing atau Anjing meminum benda cair dari dalamnya, maka pertama disucikan dengan menggosokan tanah keatasnya, kemudian berdasarkan ihtiat wajib dua kali dicuci dalam air kur atau air yang sedang mengalir atau dengan air kurang dari satu kur( air qalil/sedikit), demikian juga tempat-tempat yang terkena tetesan air liur Anjing, berdasarkan ihtiat wajib sebelum di cuci dengan air hendaknya digosok dahulu dengan tanah.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Perabot dapur/ alat-alat seperti priuk, pinggan, ember dll yang Anjing meminum air atau benda cair dari dalamnya, atau Anjing menjilatinya, hendaknya pertama; dicuci dengan menggosokan tanah keatasnya, kemudian disiram dengan air, jika menggunakan air qalil maka disiram dua kali setelah menggosokannya dengan tanah.

9. Imam Khumaini (qs : Perabot dapur/ alat-alat seperti priuk, pinggan, ember dll yang Babi meminum benda cair dari dalamnya, maka hendaknya dicuci dengan air qalil sebanyak tujuh kali, berdasarkan ihtiat wajib dengan air kur tujuh kali, atau dengan air mengalir sebanyak tujuh kali, dan tidak perlu digosok dengan tanah, sekalipun ihtiat mustahab menggosokannya terlebih dahulu dengan tanah, demikian berdasarkan ihtiat wajib jilatan babi terkategori juga sebagai bekas ia meminum air darinya.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Perabot dapur/ alat-alat seperti priuk, pinggan, ember dll yang Babi memakan makanan berbentuk cairan atau meminum air dari dalamnya, maka hendaknya dicuci sebanyak tujuh kali, dan tidak perlu digosok dengan tanah.

10. Imam Khumaini (qs : Untuk menyucikan tapak kaki atau tapak sepatu lebih baik berjalan di atas tanah sebanyak 15 tapak atau melangkah lebih dari itu, walaupun kurang dari 15 langkah atau dengan menggosokannya ke atas tanah sudah bisa menghilangkan najis.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Seseorang yang disebabkan berjalan di atas tanah, tapak kaki atau tapak sepatu terkena benda najis, sehingga menjadi najis, maka ketika ia melangkah kira-kira 10 langkah keatas tanah yang kering dan suci maka tapak kaki atau sepatunya yang terkena najis tadi menjadi suci, namun dengan syarat ainun najisnya sudah hilang terlebih dahulu.

11. Imam Khumaini (qs : Sinar matahari dapat menyucikan lantai tanah, bangunan dan segala sesuatu yang digunakan dalam pembangunan seperti: pintu, jendela, demikian juga paku yang tertancap di dinding dan dihitung sebagai bagian dari bangunan, dengan memiliki enam syarat yaitu:
- pertama, Benda yang terkena najis harus berada dalam keadaan lembab/berair yang sekiranya benda lain menyentuhinya maka benda lain itu pun akan menjadi lembab, jika benda najis itu kering maka terlebih dahulu dilembabkan supaya sinar matahari dapat mengeringkannya. Kedua, jika ain/benda najis berada di atas perangkat bangunan, maka sebelum sinar matahari menembusinya hendaknya mesti dihilangkan terlebih dahulu ainun-najisnya. Ketiga, Hendaknya diatas benda-benda bangunan yang terkena najis tidak ada penghalang tertembusnya sinar Matahari ke atasnya, jika sinar Matahari dibalik tirai mengeringkan benda-benda najis tsb, maka itu belum dapat menyucikannya, namun jika awan seukuran tipis tidak menghalangi tembusan sinar matahari maka tidak apa-apa. Keempat, hendaknya sinar Matahari saja yang menyebabkan keringnya benda mutanajis tesebut, jadi jika sesuatu yang terkena najis dengan perantaraan angin bersama sinar Matahari, maka itu tidak dianggap telah menyucikannya, tetapi jika angin seukuran kecil yang tidak dikatakan membantu dalam pengeringan benda mutanajis, maka tidak apa-apa. Kelima, Sinar Matahari hendaknya dalam satu kali telah dapat mengeringkan benda mutanajis tsb, jika pancaran sinar Matahari satu kali telah dapat mengeringkan bagian atas benda mutanajis itu, sedang pada kali kedua bagian bawah yang dikeringkannya maka, hanya bagian atas saja yang sudah tersucikan sedangkan bagian bawah tetap dalam keadaan najis. Ke-enam, bagian tengah antara atas tanah atau atas bangunan yang dikenai oleh pancaran sinar Matahari dengan bagian dalamnya hendaknya tidak ada benda suci yang menengahinya.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Sinar matahari dapat menyucikan lantai tanah dan bangunan, demikian juga segala sesuatu yang dihitung menjadi bagian suatu bangunan seperti: pintu, jendela, tembok, tiang-tiang, dan yang serupa dengannya, demikian juga pohon dan tetumbuhan. Syarat tersucikannya oleh sinar matahari benda-benda yang disebutkan adalah hendaknya ainun-najis yang ada pada benda-benda tersebut dihilangkan terlebih dahulu, benda yang terkena najis harus berada dalam keadaan lembab/berair, sinar matahari memancar kepadanya, dan dengan perantaraan sinar mataharilah benda itu menjadi kering.

12. Imam Khumaini (qs : Jika badan hewan berlumuran ainun-najis seperti darah, atau benda yang menyebakan ia bernajis seperti air najis, sekiranya najis tersebut dihilangkan maka badan hewan menjadi suci, demikian juga bagian dalam badan manusia seperti dalam mulut dan hidung, misalnya darah keluar dari sela-sela gigi lalu darah menghilang di dalam mulut, maka menyiramkan air kedalam mulut tidak perlu tetapi jika gigi palsu terkena najis dalam mulut, maka berdasarkan ihtiat wajib hendaknya disiramkan air kepadanya.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Jika badan hewan berlumuran ainun-najis, dengan terhilangnya ainun-najis, maka badan hewan menjadi suci tidak perlu menyiramnya dengan air, demikian juga bagian dalam badan manusia seperti dalam mulut dan hidung dengan syarat sesuatu najis dari luar tidak mengenainya, maka darah yang keluar dari gigi, jika darah itu bercampur dengan air liur menyebabkan terhilangnya maka mulut menjadi suci.

13. Imam Khumaini (qs : Menghilangnya seseorang dapat menyebabkan dianggap sucinya sesuatu yang terkena najis yang digunakan olehnya, seperti kesucian badan dirinya atau orang lain, pakain, permadani, tempat yang digunakanya untuk bermuamalah, kecuali kita tau pasti masih bernajisnya benda-benda itu setelah kepergiannya, namun ada kemungkinan tidak ada syarat yang dapat menguatkan hal itu, dari itu hukum kesuciannya tetap bisa diterapkan, baik ia seorang yang tidak menyadari adanya najis atau tidak, berkepercayaan terkenanya benda itu dengan najis atau tidak, ia sebagai orang tidak peduli terhadap agama atau berpeduli. Namun walau demikian dalam segala bentuk apapun berihtiat adalah sikap terpuji.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Setiap kali ada rasa yakin terhadap badan, pakaian atau salah satu dari benda-benda milik pribadi seorang muslim terkena najis, dan orang muslim itu dalam beberapa masa tidak kelihatan lagi, lalu kemudian ia dilihat kembali dengan memberlakukan benda-benda yang terkena najis itu sebagaimana benda suci adanya, maka benda-benda yang diyakini terkena najis itu dihukumi suci, namun dengan syarat pemilik benda itu mengetahui benda-benda itu sebelumnya telah bernajis dan juga ia mengetahui ahkam bersuci dan kenajisan.

14. Imam Khumaini (qs : Jika benda yang terkena najis setelah dihilangkan ainun-najisnya, dicelupkan kedalam air yang berukuran kur atau air mengalir dengan satu celupan telah dapat menyampaikan air keseluruh bagian benda terkena najis itu maka benda itu menjadi suci. Dan ihtiat wajib ketika mencelupkan permadani, pakain dan yang serupa dengan itu hendaknya memeras atau menggerakannya sehingga air yang diserapnya dapat terkeluar
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Benda yang terkena najis, jika setelah dihilangkan ainun-najisnya, dicelupkan satu kali kedalam air yang berukuran kur atau air mengalir atau meletakannya dibawah kran air yang bersambung dengan air yang berukuran kur dalam bentuk dimana air mengenai keseluruh bagian yang terkena najis maka benda itu menjadi suci. Dan untuk permadani, pakain dan yang serupa dengan itu berdasarkan ihtiat hendaknya setelah dicelupkan kedalam air diperas atau digoncang-goncangkan.

15. Imam Khumaini (qs : Tempat keluarnya kencing/Qubul selain air tidak dapat mensucikannya, bagi laki-laki dengan menyiramkan air satu kali sudah cukup, tetapi bagi perempuan dan bagi mereka yang terkeluar kencingnya bukan dari tempat kebiasaan alamiahnya, ihtiat wajib untuk menyiramnya dua kali.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Untuk membersihkan tempat keluar air kecil/ Qubul berdasarkan ihtiat perlu dua kali dicuci dengan air qalil, dan untuk mebersihkan tempat keluarnya air besar/tai mesti dibasuh sehingga ainun-najis dan bekas-bekasnya menghilang.

16. Imam Khumaini (qs : Di setiap waktu menggunakan satu batu atau gumpalan tanah keras, telah dapat menghilangkan air besar dari tempat keluarnya/dubur, sekalipun kesuciannya masih diragukan, namun tetap tidak menghalangi untuk dapat melakukan salat, bahkan sekiranya disentuhi oleh sesuatu yang lainpun tidak akan menajiskannya, walaupun tempat itu masih bercak-bercak dan sangat lekat-plikat, jadi tidak perlu dengan tiga batu atau dengan tiga kain pengusap untuk mensucikannya, tetapi jika dengan satu kali saja telah dapat menghilangkannya maka mencukupinya.
Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (hf): Tempat keluar air besar/dubur dapat disucikan dengan dua cara:
Pertama: Mencucinya dengan air mutlaq sehingga najis menghilang, dan setelah hilangnya ainun-najis maka tidak perlu meyiramnya dengan air untuk kedua kalinya.
Kedua: Menghilangkan ain-nun-najisnya dengan menggunakan tiga butir batu atau tiga helai kain suci atau yang serupa dengannya, dan jika dengan tiga batu tidak dapat menghilangkan ainun-najisnya maka disucikan secara sempurna dengan beberapa butir yang lain dan dapat menggantikan tiga butir batu dengan menggunakan tiga sudut dari satu batu atau tiga bagian dari satu helai kain.